Wejangan dari Imam Al-Ghazali
Perkembangan arus informasi dan tekhnologi (internet) yang semakin pesat, tak hanya dapat membuat kita semakin pintar, namun juga dapat membuat kita menjadi kurang cerdas. Alasannya sederhana, karena internet bukan hanya magnet bagi orang penasaran. Internet juga merupakan jebakan bagi orang lugu. Bagi Tom Nichols, internet dapat mengubah seseorang menjadi ahli secara instan tapi tidak tahan lama.
Persoalan baru pun muncul, orang-orang yang dulu meminta nasihat dari spesialis di semua bidang, sekarang menuliskan istilah yang dicari ke dalam mesin pencari dan mendapatkan jawaban dalam hitungan detik. Mungkin saja, hal itu bagi kita merupakan aktivitas yang lazim untuk dilakukan. Tapi coba kita renungi dampak yang ditimbulkan. Internet dapat memungkinkan kita berpura-pura memiliki prestasi intelektual dan mengalami ilusi memiliki kepakaran, lantaran ada sumber fakta tanpa batas di tangan kita.
Adanya sumber fakta dan data tanpa batas tersebut, tentunya berdampak pada masyarakat awam yang tidak selalu salah, dan pakar yang tidak selalu benar. Pakar memang penting, tapi orang awam tetap bisa menjalani keseharian hidup mereka tanpa nasihat dari profesor, tokoh intelektual, atau orang berpengetahuan lainnya. Internet, jika digunakan dengan tepat, dapat membantu orang awam saling menjangkau satu sama lain untuk mencari informasi dasar, yang mungkin terlalu mahal atau sulit untuk diperoleh dari pakar atau ahli.
Terlepas dari fenomena arus informasi dan teknologi yang berkembang begitu pesat, kiranya menjadi pribadi bijak sebelum tersibukkan, atau bahkan tersesatkan di mesin pencarian, merupakan pilihan yang masuk akal. Sahabat Umar bin Khatab pernah memberikan wejangan, “Tafaqqahu qabla an tusawwadu”, belajarlah hingga alim sebelum kalian tersibukkan.
Melihat Kembali Al-Ghazali
Salah satu filosof Muslim, yakni Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Syafi’i Al-Asy’ari, atau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali (445 H/1058 M – 505 H/1111M) merupakan filosof Muslim yang memiliki gelar Sang Hujjat Al-Islam (Al-Ghazali, 1994: 7). Gelar kehormatan tersebut diterima Al-Ghazali karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum filosof.
Salah satu karya Al-Ghazali yang memiliki hubungan tidak langsung dengan menjadi manusia bijak, berjudul Al-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al-Muluk. Dalam karyanya tersebut, Al-Ghazali menyebutkan beberapa sifat santun orang-orang bijak. Di antaranya yaitu; orang yang tahu (mengerti), dan tahu bahwa ia tahu; orang yang tahu, tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu; orang yang tidak tahu dan tahu bahwa ia tidak tahu; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Manusia Terbagi Menjadi Empat Macam Menurut Al-Ghazali
Seperti yang telah disebutkan di atas, empat macam manusia itu ialah, pertama orang yang tahu (mengerti), dan tahu bahwa ia tahu. Menurut Al-Ghazali, dialah orang alim, maka ikutilah dia. Kedua, orang yang tahu, tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu. Dialah orang lalai, maka ingatkanlah dia. Ketiga, orang yang tidak tahu dan tahu bahwa ia tidak tahu. Dialah orang yang perlu bimbingan, maka bimbinglah dia. Keempat, orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Dialah orang bodoh, waspadailah dia.
Pandangan Al-Ghazali tentang empat macam manusia tersebut, dapat kita gunakan untuk menyaring arus informasi yang mungkin dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Selain itu, pemahaman seorang pembaca atau pendengar di kalangan masyarakat awam, tidak dapat diisolasi begitu saja dari opini-opini yang disebarkan lewat media massa.
Sementara di dalam media massa itu sendiri beroperasi berbagai jaringan kekuasaan terorganisasi, seperti: pasar, birokrasi, dan kelompok-kelompok penekan yang mengarahkan, membentuk atau bahkan membengkokkan interpretasi dan–karenanya juga–pemahaman. Lalu apakah yang dimaksud dengan paham? Al-Ghazali menuliskannya dengan “berpikir dan menemukan segala sesuatu sesuai hakikat dan kenyataanya”.
Empat Hal Yang Harus Dijauhi Menurut Al-Ghazali
Al-Hakim sebagaimana yang ditulis Al-Ghazali berkata, “Jika anda menjauhi empat hal, maka anda akan terbebas dari empat hal lainnya: Pertama, jauhilah dengki, maka anda akan selamat dari derita. Kedua, jauhilah perbuatan buruk, maka anda akan selamat dari ancaman. Ketiga, jauhilah perbuatan maksiat, maka anda akan selamat dari api neraka. Dan keempat, janganlah anda menumpuk harta kekayaan, maka anda terlepas dari permusuhan”.
Jika kita kaitkan menjadi bijak sekarang ini, maka seharusnya internet menjadi alat bagi masyarakat untuk meminimalisir permusuhan dan perpecahan karena, fakta dan kebenarannya dapat diakses oleh semua kalangan. Sebab, orang bijak seyogyanya bersifat tenang. Dan tidak selayaknya ia seronok dan tergesa-gesa ketika mendapatkan berita yang kebenarannya masih dipertanyakan.
Cara Bijak Membaca Informasi
Menurut Tom Nichols, kehadiran situs web abal-abal, unggahan di Facebook, dan juga meme-meme yang memenuhi internet, tren pencarian jawaban secara cepat juga mendorong tumbuhnya industri penjualan ide-ide buruk ke publik, dengan harga berupa hak istimewa untuk mendapatkan informasi yang salah.
Situs-situs web juga dapat menyesatkan orang-orang yang kurang kritis, melalui siasat-siasat tertentu. Situs-situs web “menyesatkan” kerap menggunakan tanda-tanda visual yang menegaskan bahwa, kabar yang diangkat itu asli dan dapat dipercaya. Ini dilakukan agar para pembaca yang kurang memiliki informasi terpancing untuk menyebarkan berita bohong, lebih cepat dari yang dapat dibayangkan oleh pemilik koran kuning mana pun.
Akibatnya, para ahli dan profesional lain yang bersikeras untuk mengedepankan ketelitian logika dan keakuratan fakta, pada akhirnya tidak dapat berkompetisi dengan mesin yang akan selalu memberikan pembaca mereka jawaban yang diinginkan dalam enam belas juta warna. Bahkan mereka menawarkan nasihat untuk mengambil alih pengetahuan yang sudah mapan dari para pakar.
Al-Ghazali berkata, “Jika Anda telah menulis (surat), maka hendaklah Anda membacanya kembali sebelum Anda melipatnya. Apabila Anda menemui kesalahan di dalamnya, maka segeralah diadakan perbaikan. Seorang penulis hendaklah ia berusaha agar menulis dengan bahasa yang singkat dan pendek, tetapi mengandung pengertian yang dalam dan luas”.
Al-Ghazali melanjutkan bahwa hendaknya penulis menghindari pengulangan kata, dan menjauhi kata yang berat dan rancu, agar penulisnya terpuji. Demikianlah nasihat Imam Al-Ghazali terkait dengan menjadi pribadi yang memiliki sifat bijak. Terutama bijak dalam menerima dan menyebarkan segala macam informasi atau pengetahuan.
Hal itu dapat dimulai dengan membagi manusia menjadi empat macam seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali. Kita juga akan dapat mengetahui mana yang harus kita ikuti, dan mana yang harus kita waspadai agar kita tidak tersesatkan oleh arus informasi yang tidak benar.
Category : buletin
SHARE THIS POST