Wayang Timplong dan Masyarakat Nganjuk
Sebagai masyarakat awam yang tinggal dalam kemajemukan bangsa Indonesia, sudah semestinya kita mengetahui banyak kebudayaan dan kesenian yang hadir di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Salah satu dari banyaknya kebudayaan dan kesenian adalah wayang. Wayang diperkirakan telah menjadi pertunjukkan bagi masyarakat Indonesia semenjak zaman kerajaan Hindu-Buddha, periode Mataram Kuno, hingga saat ini.
Dari era kerajaan Hindu-Buddha hingga Islam, wayang telah mengalami banyak transformasi. Dari yang hanya digunakan untuk ritual khusus kerajaan sampai akhirnya menjadi hiburan bagi masyarakat luas. Transformasi terjadi mulai dari bentuk fisik hingga ceritanya, hal ini membuktikan bahwa eksistensi wayang masih begitu kuat di tengah-tengah gempuran era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nganjuk sebagai salah satu kabupaten dari Provinsi Jawa Timur tak luput dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, eksistensi wayang sebagai jati diri bangsa dan kebudayaan masih hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur umumnya, khususnya Nganjuk. Sebagai daerah yang menjadi bekas kekuasan dari Mataram Hindu hingga Islam, Kabupaten Nganjuk sedikit banyak mendapat pengaruh kebudayaan yang kuat dari Mataram. Hal ini dibuktikan dengan sedikit kesamaan bahasa yang digunakan, peninggalan bangunan-bangunan kuno dari masa kerajaan Hindu-Buddha hingga Islam, serta peninggalan dalam bentuk tradisi budaya.
Sebagai masyarakat yang mendapatkan pengaruh kuat dari Mataram, wayang yang masih hidup di tengah-tengah era modern, yakni wayang timplong. Dari banyakanya jenis wayang, wayang timplong termasuk ke dalam jenis wayang kayu (wayang yang terbuat dari kayu). Wayang timplong yang diciptakan oleh Mbah Bancol sudah eksis sejak 1910 hingga saat ini. Eksistensi wayang timplong tidak lepas dari dukungan masyarakat Nganjuk, karenanya wayang timplong masih bertahan hingga saat ini.
Setiap acara bersih desa (ruwatan) di beberapa tempat di Nganjuk, masyarakat tidak lupa mengadakan pertunjukkan wayang timplong. Pertunjukkan wayang timplong sebagai simbol rasa syukur dan doa, dapat juga sebagai wujud melepas nadzar. Pada intinya, mereka ingin menunjukkan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa dengan cara selametan bersama, esok harinya baru mengadakan pertunjukkan wayang timplong.
Selain simbol rasa syukur dan doa, pertunjukkan wayang timplong juga menunjukkan rasa menghargai pada peninggalan leluhur masa lalu. Di samping selalu menjalankan kewajiban kepada Allah SWT sebagai pemeluk agama Islam, masyarakat juga tidak melupakan begitu saja nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh para leluhur. Hal ini sejalan seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat, bahwa budaya sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun temurun.
Wayang timplong sebagai warisan leluhur tidak selalu mempertunjukkan kisah-kisah dari era kerajaan Hindu-Buddha, namun juga mempertunjukkan kisah dari masa Islam. Seperti kisah pembangunan Masjid Demak hingga masuknya Islam di Nusantara. Sebagai salah satu masyarakat Nganjuk yang pernah langsung menonton pertunjukkan wayang timplong, penulis merasakan interaksi yang begitu mesra dengan adanya pertunjukan wayang timplong.
Kekusyukan para pemain gamelan, peran dalang, serta masyarakat yang menyaksikan membuat penulis takjub, bahagia dan bangga rasanya masih dapat menyaksikan pertunjukkan wayang timplong yang berumur lebih dari 1000 tahun. Penulis merasa terhubung dengan masa lalu, dengan menonton pertunjukkan ini. Di sekitaran tempat pertunjukkan wayang timplong, berlangsung interaksi antar penjual dan pembeli, berjejer lapak makanan, pakaian, mainan, sampai wahana bermain yang sederhana. Suara anak-anak yang bermain berlarian menambah riuh suasana.
Sebagai masyarakat biasa yang jauh dari riuh nuansa politik maupun pemerintahan pusat, penulis optimis bahwa kelak anak-anak ini akan menjadi generasi penerus bangsa yang menjaga nilai-nilai luhur kebudayaan serta jati diri bangsa Indonesia. Setidaknya dari mereka yang hidup di tengah-tengah pertunjukkan kebudayaan para leluhur, menyaksikan pertunjukkan wayang yang nantinya akan menjadi kenangan di waktu kecil.
Pertunjukkan wayang timplong yang menyertai terjadinya interaksi sosial, kebudayaan, dan keseniaan, akhirnya akan menghasilkan sebuah harmoni dalam kehidupan. Sebagai seni widya, wayang timplong akan menghasilkan sebuah falsafah maupun pendidikan, sebagai seni drama akan menghasilkan pentas, gatra menghasilkan pahat, ripta menghasilkan kesustraan, cipta menghasilkan konsepsi maupun ciptaan baru.
Sebagai produk dari kebudayaan masa lalu yang sudah cukup banyak mengalami perubahan, banyak fungsi-fungsi yang dapat diambil dari pertunjukkan kesenian wayang timplong. Di antaranya yakni fungsi ritual, sosial, pelestarian tradisi, dan edukasi. Untuk mengetahui lebih dalam lagi mari kita bahas satu-persatu.
Pertama, fungsi ritual, yakni bahwasanya pagelaran wayang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga saat ini. Pada awalnya orang-orang dahulu mempergunakan wayang untuk kepentingan ritual. Masyarakat sangat menghormati alam beserta isinya, untuk selalu mewujudkan rasa syukur dari nikmat yang didapatkan yakni dengan ritual pertunjukkan wayang. Terkadang wayang juga digunakan untuk menghilangkan sial pada waktu-waktu tertentu. Begitupun juga dengan Wayang Timplong, untuk menunjukkan rasa syukur yang amat mendalam.
Kedua, fungsi sosial. Wayang dapat digunakan untuk menyampaikan aspirasi, baik melalui cerita maupun penuturan langsung dari dalang. Pada masa situasi politik dan sosial di Indonesia, fungsi sosial wayang dapat digunakan sebagai bentuk kritik. Dalam keterbatasan komunikasi maupun informasi, wayang hadir di tengah-tengah masa dengan caranya yang elegan: mengkritik tanpa menjatuhkan, serta menjadi sarana aspirasi dari kenyataan sosial masyarakat terhadap pemerintah. Begitupun juga dengan wayang timplong, dalang yang sering menyisipkan cerita-cerita atau sindiran yang berasal dari fakta-fakta sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagai dalang tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan wayang, namun juga peka terhadap kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Ketiga, fungsi pelestarian tradisi. Keberadaan wayang erat berkaitan dengan kehidupan sosial, kultural, dan religius masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Sebagai bagian dari kesenian dan tradisi, wayang termasuk hasil dari produk kebudayaan asli masyarakat Indonesia yang semestinya terus dikelestarikan. Begitupun dengan wayang timplong, eksistesinya harus benar-benar terus dijaga.
Keempat, fungsi edukasi. Wayang hadir di tengah-tengah masyarakat dapat berfungsi sebagai cara untuk mendidik. Dari berbagai kisah-kisah yang ditampilkan dan disajikan oleh dalang dengan perantara wayang, terdapat banyak pelajaran. Begitu juga dengan wayang timplong, kisah-kisah yang dipertontonkan untuk masayarakat tidak lepas dari muatan edukasi.
Kelima, fungsi hiburan. Pada masa lalu ketika komunikasi dan hiburan masih terbatas, masyarakat menggunakan wayang sebagai tontonan hiburan, bahkan menjadi barang tontonan yang mahal. Maksudnya, tidak semua orang secara pribadi mampu menggelar pertunjukkan wayang.
Sebagai kesenian maupun produk budaya masyarakat masa lalu, tentunya Wayang timplong memiliki keterikatan dengan masyarakat Nganjuk. Antara dalang, para pemain gamelan, dan masyarakat, menghasilkan sebuah interaksi. Hal ini memperlihatkan hubungan yang saling berkaitan satu sama lain. Wayang timplong tidak serta merta hadir sebagai pertunjukkan, namun memiliki keterhubungan dengan kepentingan masyarakat sekitar. Wayang timplong bukan hanya menyajikan sebuah tontonan hiburan belaka, namun lebih dari itu, yakni untuk mengedukasi masyarakat melalui kisah-kisah yang ditampilkan.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST