Warraq: Abdi Kerajaan, Juru Penyalin Buku

slider
23 Februari 2020
|
1294

Peradaban salah satunya ditandai dengan adanya geliat tulis-menulis, termasuk dalam peradaban Islam. Khazanah keilmuan yang berarti seluruh dunia pemikiran menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Islam bahkan setelahnya. Para pembesar dan orang-orang kaya pada saat itu sudah terbiasa bahkan lazim mengumpulkan para ilmuan dan sastrawan untuk mendiskusikan suatu discourse seperti filsafat, kedokteran, matematika, falak, ekonomi, dan lain sebagainya.

Kegiatan semacam itu setidaknya berlangsung pada masa Daulah Abbasiyah yang memprakarsai sebuah peradaban baru Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan dalam tubuh Islam tidak serta merta langsung maju, tetapi mengalami proses panjang dengan kajian, dialog, perdebatan, dan pengkajian. Termasuk menyesuaikan dengan nilai-nila yang terkandung dalam Islam, iklim dalam masyarakat sekitar, terlebih-lebih dengan masyarakat jazirah Arab dengan sifat kesukuannya dan kehidupannya yang nomaden.

Pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) telah memulai melakukan pengkajian ilmu pengetahuan bagi peradaban Islam. Ia memerintahkan beberapa pegawai kerajaan untuk mencari naskah-naskah kuno, baik dari dunia Barat (Eropa) maupun dari Timur (Alexsandria), untuk disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses penerjemahan membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan mereka diberi tempat khsusus di dalam kerajaan supaya fokus dalam pekerjaannya sebagai penyalin. Seperti contohnya Al-Syaubi yang tinggal di Baghdad pada abad ke-9 masa Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Ia adalah penulis berbagai macam buku, dan untuk sementara waktu pernah menjadi penyalin pada lembaga sastra dan ilmu pengetahuan Bayt al-Hikmah (Zaprulkhan, 2019: 29-30).

Para penyalin itu disebut warraq yang berasal dari kata warraq, waraqa (salinan). Pekerjaan penyalin buku yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim ini telah berlangsung pada masa klasik (Agus Rifai, 2013: 174). Keberadaan para warraq tentunya memainkan peranan penting dalam peradaban Islam. Jelasnya sumbangsih para warraq menjadikan ilmu pengetahuan dapat dipelajari oleh umat Islam yang tidak tahu-menahu dalam soal tata bahasa. Banyak warraq yang berjasa dalam soal penerjemahan buku-buku yang diperintahkan pada zaman kekhalifahan Abbasiyah. Di antara salah satu penerjemah (penyalin) itu adalah Ibn An-Nadim (w. 385 H) penulis kitab al-Fihrist. Sebelum menjadi pejabat kerajaan, Ibn An-Nadim berkerja sebagai warraq guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Majid Fakhry, 1983: 12).

Banyak penyalin bekerja untuk kepentingan para pejabat tinggi kerajaan dan orang-orang kaya yang ingin membangun sebuah perpustakaan. Pekerjaan semacam itu dimulai pada masa awal-awal pemerintahan Abbasiyah, dan gerakan menulis dan penerjemahan memperoleh momentumnya. Pekerjaan ini dilakukan di perpustakaan Al-Ma’mun, Bait al-Hikmah, di Baghdad. Banyak penyalin yang dipekerjakan di sini, seperti halnya Abu Ubaydah, seorang ahli filologi, Yahya Ibn Adi (w. 974), seorang filosof Arab Kristen. Yahya Ibn Adi telah menyalin komentar dari At-Thabari atas Al-Qur’an sebanyak dua kali (terdiri dari tiga belas jilid) yang sekarang masih dapat kita lihat, baca, dan pelajari (Majid Fakhry, 1983: 13).

Warraq adalah penyalin pengetahuan dan penyambung bagi masyarakat umum. Tanpa adanya warraq kemungkinan kecil kegiatan intelektual bisa berjalan dengan baik dan kegiatan belajar mengajar yang ada di masyarakat umum akan terhenti tanpa adanya proses penyalinan dari kitab aslinya.

Sementara untuk mendapatkan kitab atau tulisan asli cukup begitu mahal, hanya orang-orang tertentu (keluarga kerajaan dan orang kaya) yang mampu mendapatkannya, warraq tak ubahnya seperti mesin fotokopi berwujud manusia yang mampu menyalin buku dengan cepat dan akurat (Putut Widjanarko, 2000: 217). Sebuah buku yang tebalnya beberapa ratus halaman dapat digandakan dalam waktu yang singkat. Bahkan tidak hanya kemampuan menyalin yang cepat dan akurat, para warraq harus memiliki pengetahuan yang banyak, daya hafal yang baik, serta kecapakan dalam menulis. Maka tidak heran ketika zaman dulu warraq tidak saja sebagai penyalin semata, tetapi ia juga sebagai intelektual.

Seorang warraq biasanya juga seorang sastrawan, tetapi kehidupan mereka bergantung pada pelipatgandaaan hasil karya-karya yang disalin. Selain sebagai seorang penyalin, para warraq ada juga sebagai penjual buku, dan mempunyai kios buku (hanut, dukhan) sendiri. Di kios buku tersebut juga sebagai tempat dan proses penyalinan dan penulisan berlangsung (Budhi Santoso, 2019: 66).

Keberadaan warraq tentunya sangat dibutuhkan, baik sebagai wakil dunia pendidikan dan sebagai pengusaha yang merdeka (J. Pedersen, 1996: 72). Mereka melakukan pekerjaan sebagai warraq itu di dalam kiosnya sendiri, hal yang lazim dan walaupun ia bekerja kepada orang lain untuk mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Buku-buku yang ditulis oleh para warraq kemudian diterbitkan, ada karena pesanan, atau dijual secara umum di pasar bebas.

Ketika seni mencetak buku merebah ke dunia Eropa pada pertengahan abad ke-15, kebudayaan Islam telah melewati puncaknya, dan tak ada kemajuan yang berarti dalam dunia literatur yang merangsang metode baru produksi buku. Tiga atau empat ratusan tahun kemudian baru dunia Islam melakukan apa yang dilakukan oleh Eropa dengan menggunakan media cetak dalam memproduksi buku. Melihat hal ini dunia Islam sangat jauh tertinggal dalam proses pencerahan keilmuan via produksi sebuah buku, dan baru tersadar akan pentingnya sebuah percetakan dalam pengembangan dunia literasi setelah sekian abad lamanya.

Pertukaran teknologi pun terjadi, Eropa dan Timur Islam akhirnya saling berkolaborasi dalam produksi buku. Eropa mencetak sejumlah buku berbahasa Arab pada abad ke-12 dan Timur Islam menggunakan mesin cetak untuk pencetakan suatu karya, juga mulai mencetak buku-buku dari Eropa. Kolaborasi ini bersifat saling melengkapi bukan saling mengungguli satu sama lain. Meskipun telah adanya mesin cetak, fungsi warraq tetap sama sebagai penulis, penyalin, dan sebagai pemilik kios buku.

Banyak tipe warraq yang ada pada masa dulu, ada yang bersifat sebagai abdi kerajaan, sebagai sekertaris penulis (asisten penulis), dan ada juga yang independen tidak terikat kepada siapa pun terutama kepada pemerintah.

Di zaman sekarang, keberadaan seperti warraq terkadang malahan melakukan tugas rangkap: sebagai penerbitan sekaligus sebagai pemilik percetakaan dan penjual buku. Penerbitan buku di era sekarang sangat banyak dan beragam bahkan hampir semua genre buku diterbitkan tanpa adanya penyortiran kualitas karya. Ada juga kawanan (sindikat) dan percetakan yang sengaja membuat salinan buku secara ilegal dan tidak layak baca kemudian diperjualbelikan. Kenyataan ini tentunya sangat merugikan para penulis, karena penulis untuk menghidupi dirinya—sekalipun tidak sepenuh dan semuanya—bergantung dari seberapa besar prosentasi penjualan karya mereka.

Kenyataan sejarah seringkali tidak mencatat orang-orang kecil yang berkontribusi besar dalam peradaban. Sejarah mencatat orang-orang besar seperti keluarga kerajaan dan orang-orang kaya yang berlimpah harta, namun melupakan orang-orang kecil seperti warraq yang berkontribusi real bagi peradaban: tanpa warraq, orang-orang kaya dan para pembesar seperti khalifah sekalipun tidak akan dikenal oleh generasi yang akan datang.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam