Tradisi Berbagi dan Lebaran Tahun Ini

slider
slider
27 Mei 2020
|
1434

Saya makin kerap melihat unggahan teman-teman saya yang saling berbagi antaran Lebaran. Saya pun termasuk yang menerima bingkisan dari teman-teman saya, dan tentunya menenangkan hati. Ini juga menandakan bahwa kepedulian di antara teman-teman saya masih terbangun baik. Bahwa keberadaan kita tidak dilupakan oleh orang sekeliling.

Saya tersenyum simpul sembari lega saat mendengar teman-teman saya berseloroh seperti ini di media sosial mereka, Alhamdulillah barusan dapat paket. Lumayan buat Lebaran”.

Atau seperti ini, “Ya ampun, senangnya terima bingkisan...”.

Mungkin juga mendengar model yang seperti ini, “Terima kasih ya buat hampersnya. Nanti aku buka dulu ya. Unboxing ala-ala selebgram”.

Ya, kini istilah hampers kerap digunakan untuk menyebut bingkisan yang dikirim seseorang untuk kita. Kata ini semakin populer semenjak para selebgram merekam aktivitas mereka membuka paket hampers. Entah itu bingkisan dari para pelapak daring dalam rangka mempromosikan dagangannya, atau bingkisan ucapan terima kasih, paket kado, sekadar antaran sebagai tanda silaturahmi. Kita juga jadi mengenal pula kegiatan unboxing.

Buat yang belum mengakrabi istilah tersebut, mungkin rasanya asing untuk mencerna kata hampers. Bahkan bisa-bisa mengira artinya adalah popok bayi. Memang hampir-hampir mirip pelafalannya.

Jadi, hampers itu merujuk pada antaran yang diserahkan, baik secara langsung atau melalui perantara jasa logistik atau pengantaran kepada sanak saudara, kerabat, atau teman. Ditujukan sebagai bentuk kepedulian dan kasih sayang. Bentuknya bisa berupa barang atau makanan.

Ada juga yang memberikan barang-barang favorit penerima, barang yang sudah lama diidamkan sang penerima, serta hasil karya, atau contoh sampel kreasi sang pengirim. Tujuannya semata-mata untuk berbagi kebahagiaan dan sukacita. Sebelum istilah hampers eksis, kita telah akrab mengenal parsel. Barang yang dibungkus dengan kertas, tas, ataupun keranjang yang nantinya diberikan kepada orang lain.

Linimasa media sosial pun ramai unggahan dan komentar tentang penggunaan kata hampers untuk menggantikan istilah parsel. Para netizen berdebat dengan sudut pandangnya masing-masing. Tentu tidak masalah karena masing-masing orang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Namun jangan sampai perdebatan ini justru memicu perselisihan lalu menghilangkan esensi utama dari hampers atau parsel itu. Kita harusnya fokus dengan nilai kebaikan dari pemberian hampers. Tidak usahlah juga menghabiskan waktu untuk mencari mana yang benar, antara hampers atau parsel. Tetapi lihatlah dimensi berbaginya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, kita begitu rentan dilanda depresi. Isolasi yang membuat kita merasa sendiri. Terkurung sepi. Sendiri. Rawan diliputi kesedihan. Antaran dari orang lain seolah hadir sebagai obat rindu yang memuncak.

Tradisi berbagi model hampers atau parsel ini dikenal masyarakat modern, tetapi jauh sebelumnya masyarakat kita telah mentradisi berbagi. Nilai-nilai berbagai ternyata telah tertanam secara turun-temurun. Sebelum orang-orang meributkan tentang hampers.

Saya ingat betul, kehidupan bertetangga di desa saya begitu akur dan penuh dengan rasa kepedulian. Setiap kali mendiang nenek saya memasak atau berkreasi membuat kudapan kue, ia tidak lupa untuk menyisihkan hasil olahannya ke dalam rantang besi (mangkok bersusun). Rantang itu lantas diantarkan menuju ke rumah Mak Ru, tetangga samping rumah. Mak Ru pun tak membiarkan nenek pulang dengan tangan kosong. Ia juga sibuk mengisi kembali rantang nenek dengan masakannya hari itu. Begitulah kenangan manis yang saya ingat tentang aktivitas berbagi dari lingkungan terdekat.

Ada pula aktivitas berbagi lainnya yang masih lekat di memori saya. Di lingkungan tempat tinggal saya dulu, tiap-tiap rumah menggantungkan semacam wadah (boleh dari apa pun). Nantinya wadah tersebut diisi dengan sejumput beras yang akan diambil oleh petugas ronda. Petugas lalu mengumpulkannya dalam satu wadah. Setelah dewasa saya baru tahu makna dari kebiasaan “jumputan” itu, aksi berbagi beras dari warga kampung yang bertujuan untuk memastikan warga yang kurang mampu tercukupi kebutuhan pangan pokoknya.

Aksi kepedulian rupanya juga telah diterapkan para penghuni di lingkungan kampung saya dulu. Tiap kali ada warga yang tertimpa musibah seperti kematian, para tetangga kanan-kiri menyumbang sebagai tanda uluran duka cita. Tidak melulu berupa uang, ada yang mengerahkan tenaga untuk membantu acara pengajian mengenang meninggalnya almarhum dalam rentang 1-7 harinya, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya. Ada pula yang meringankan logistik acara, membantu penyediaan barang seperti membagi beras, gula, dan teh. Acara berbagi ini juga tidak hanya berlaku saat acara lelayu.

Saat acara bahagia pun para tetangga tanpa diminta secara sukarela langsung menggalakkan aktivitas berbagai. Misalnya saat ada hajatan pernikahan, para tetangga tanpa sungkan memberikan pasokan makanan untuk mendukung kelangsungan acara. Si tuan rumah acara pun tidak ketinggalan memberikan berkat (umumnya berisi makanan yang diwadahi dalam besek, tempat dari anyaman bambu) karena para tamu dan tetangga yang hadir telah berkenan memberikan doa.

Kisah lainnya tentang tradisi berbagi yang saya kenal, datang dari kecamatan paling ujung timur dari Kabupaten Kendal. Tepatnya di Kecamatan Kaliwungu yang tersohor karena banyak pondok pesantrennya. Tiap kali menjelang Lebaran, warga melestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman dulu, namanya weh-wehan. Para tetangga saling berkunjung sambil menenteng aneka jajanan atau makanan. Makanan tersebut nantinya akan ditaruh di rumah tamu yang dikunjungi. Tamu yang menerima lantas membalasnya dengan memberikan makanan yang juga sudah dipersiapkan. Semua berlandas kerelaan, tanpa diiringi berat hati.

Saya sebagai anak kecil kala itu menanti momen tersebut tiap kali bertandang ke rumah teman saya yang ada di Kaliwungu. Saya memperhatikan bagaimana gurat kebahagiaan terpancar dari muka para orang tua dan anak kecil dalam menyambut tradisi weh-wehan. Benar-benar mempersiapkannya sematang mungkin. Segala masakan hasil olahan sendiri dari dapur sendiri, bukan beli dari toko. Agar dapat mempersembahkan yang spesial dan terbaik untuk orang terkasih.

Selain weh-wehan, tradisi berbagi juga dikenal masyarakat Jawa dengan istilah punjungan. Punjungan berarti memberikan antaran berupa nasi dan lauk-pauk kepada sanak-famili ketika kita akan menggelar hajatan pernikahan. Biasanya diberikan pada pagi hari, seminggu sebelum acara dilangsungkan, atau pada hari yang menjadi waktunya. Punjungan ini sekaligus menandakan sebagai undangan.

Begitulah, aktivitas berbagi terasa nyata dalam lingkup kehidupan kita sejak dari dulu. Berbagi membuat pertemanan, persaudaraan, pertetanggaan, maupun sebagai wujud silaturahim kita tetap terjaga dan kian semakin terawat.

Lebaran tahun ini

Diakui atau tidak, ada perasaan sentimental yang merayapi batin ketika pemerintah mengumumkan bahwa lebih baik menunda mudik dulu. Dinding pertahanan untuk tidak menjadi melankolis akhirnya runtuh juga. Berbagai rencana untuk merayakan momen Lebaran bersama keluarga terdekat terpaksa pupus.

Saya bukan orang yang menentang keras larangan mudik. Saya tahu, semua ini demi kebaikan bersama. Agar Indonesia bisa kembali pulih seperti sediakala, terbebas dari pandemi, hingga kasus positif melandai dan benar-benar nol tanpa kasus baru lagi.

Saya juga tahu, kebijakan tersebut diambil agar kita semua berperan memutus rantai penyebaran virus yang menular melalui percikan liur. Mungkin kita merasa sehat-sehat saja, namun kita tidak pernah tahu kalau ada virus yang bersemayam di tubuh kita dan berpotensi menjadikan kita sebagai agen penyebarnya. Karena itu, alangkah bijaknya kita menunda mudik. Seperti yang kita tahu, mudik merupakan perpindahan massal sekelompok orang dalam waktu yang hampir serentak. Umumnya dari kota menuju kampung halaman (udik).

Jadi bisa dibayangkan, betapa besarnya potensi munculnya kasus baru positif. Mudik ini menimbulkan peluang pertambahan zona merah baru. Wilayah yang semula aman dari pandemi rawan berubah menjadi zona merah semenjak kedatangan para pemudik. Menyedihkannya pula, para pemudik mudik ke kampung halaman untuk menemui orang tua dan kerabat yang bisa dibilang rentang usianya lebih tua. Padahal seperti yang kita tahu, mereka yang berusia lanjut dan telah memiliki penyakit bawaan lebih rentan terpapar. Untuk itu, kita tidak boleh egois dan ngotot tetap mudik.

Pasti ada kesedihan yang menggelanyut mendapati kondisi sekarang. Tradisi jelang Lebaran yang umumnya kita lakukan bersama keluarga di rumah di masa pandemi kini hanya menjadi kenang. Misalnya di Kabupaten Kendal, tempat tinggal saya, para warga umumnya telah berbenah rumah seminggu sebelum Idul Fitri tiba. Setiap sudut rumah dibersihkan agar nanti sedap dipandang para tetangga, kerabat, dan tamu yang bertandang silaturahim. Itu pulalah yang dilakukan ibu saya. Sejak kecil pasti saya dapat giliran untuk ikut membantu beres-beres rumah sebelum Lebaran. Beres-beres sekadar menyapu atau mengeluarkan toples kesayangan ibu saya dari rak lalu mengelapnya. Maklum, hanya dipakai setahun sekali untuk wadah jajanan Lebaran.

Teman-teman saya yang lainnya mungkin punya kenangan soal mempersiapkan kue Lebaran yang dibuat sendiri. Membeli tepung dan bahan lainnya, lalu menakarnya sesuai porsi kue yang akan dibikin. Memanggangnya ke dalam oven dan memastikan suhu dan durasi mengovennya tepat. Lalu menghiasnya. Tetapi saya tidak punya kenangan itu karena ibu saya tidak pandai membuat kue. Ia lebih memilih memesan aneka kue dan hidangan khas Lebaran ke teman kantornya yang kebetulan berbisnis kue Lebaran.

Meskipun ibu saya tidak membuat sendiri kuenya, tetapi saya tetap merindukan momen itu. Ibu yang selalu melebihkan porsi kue yang dibelinya. Karena ia begitu tahu, ketiga anaknya begitu lahap memakan kue-kue dan menghabiskannya bahkan sebelum Lebaran tiba. Ibu selalu hafal, varian kue kesukaan masing-masing anaknya.

Memori lain yang teringat soal Lebaran di kampung halaman adalah adanya tradisi pasar kembang cilik dan pasar kembang gede. Biasanya, kami para warga membeli bunga tabur di pasar dadakan yang memang sengaja buka dini hari jelang Lebaran. Bunga tabur tersebut nantinya akan dibawa saat berziarah ke kuburan para kerabat yang telah meninggalkan dunia lebih dulu. Bunga tersebut nantinya akan ditaburkan di makam. Menandai kedatangan kita.

Tradisi keakraban saat Lebaran seperti di atas mungkin tidak akan kita rasakan tahun ini. Merayakan Idul Fitri di tanah rantau seorang diri mungkin akan jadi pengalaman yang akan saya catat dalam sejarah kehidupan. Tulisan ini sebagai pengingat sekaligus penanda bahwa kita pernah mengalami pandemi berkepanjangan yang sampai memisahkan kita dengan orang-orang tersayang. Bahwa ada pengorbanan yang kita lakukan agar orang tersayang dan kampung halaman kita tidak aman dari pandemi.

Lebaran tahun ini juga semakin menyadarkan saya bahwa bahwa jarak bukan alasan kita untuk tidak mengungkapkan kasih sayang. Karena nyatanya, kita tetap saling bersilaturahim dengan dukungan teknologi. Kecanggihan teknologi telah memungkinkan kita menjalankan interaksi tatap muka lewat konferensi video. Menjangkau orang-orang terkasih yang untuk sementara waktu tidak bisa berkumpul pada Lebaran tahun ini. Kehadiran dan kepedulian kita juga bisa kita tunjukkan lewat kirim-kirim antaran makanan atau lainnya untuk orang terkasih. Kemudahan yang ditawarkan aplikasi belanja daring bisa kita manfaatkan. Silaturahim juga bisa ditunjukkan dengan mengirimkan kartu ucapan digital yang sekarang semakin keren-keren.

Benar, memang tetap ada rasa sesak yang tertahan di dada karena kita tidak bisa memeluk dan sungkem langsung ke orang terkasih. Tapi semua ini kita lakukan atas nama rasa sayang kita. Supaya mereka tetap terlindungi kesehatannya.

Tetap jaga kesehatan mental kita meski tidak bisa mudik dan harus merayakan Lebaran sendiri tanpa orang terkasih. Usahakan bertanya kabar ke orang tersayang agar kita tidak semakin merasa terasing dan diselimuti perasaan negatif. Hadirkan makanan atau tradisi-tradisi yang biasanya kita jalani dengan keluarga, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pokoknya jangan bersedih!

Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir batin.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Shela Kusumaningtyas

Seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, kumpulan puisi berjudul Racau dan kumpulan opini berjudul Gelisah Membuah.