Tilawah Jawi dan Yang Arab di Jawa

07 Agustus 2015
|
1895

Ada banyak tanggapan terhadap pada tilawah jawi atau pembacaan al-Quran langgam Jawa sejak ia menghebohkan masyarakat dunia beberapa waktu lalu. Di antaranya berbunyi tuduhan bahwa tilawah jawi merupakan penolakan pada “yang Arab”. Dalam beberapa pertemuan, beberapa pihak telah menanyakan hal itu pada saya.

Mereka dilanda kekhawatiran tentang adanya upaya untuk membuang dan membenci “yang Arab” dari al-Quran, dan dengan demikian, lahir pula ketakutan pada muslihat untuk mengenyahkan “yang Arab” dari Islam. Bahkan, di youtube, seorang habib populer di Jawa—entah telah bertabayyun dengan siapa—menyebut tilawah jawi sebagai kelakuan bervolume kebencian pada “yang Arab”. Sungguh saya sangat menyesalkannya.

Terus terang, tuduhan-tuduhan tersebut membuat saya harus membeberkan fakta sejarah tentang perlakuan apik kawula jawi pada “yang Arab”. Tapi, sebelum itu, perlu kiranya dipertanyakan: apakah Arab itu Islam, dan dengan demikian, Bahasa Arab berarti bahasa Islam? Tentu saja tidak. Islam ya Islam. Bahasa Islam ya bahasa apa saja yang mencirikan rahmat bagi semesta alam. Arab adalah bangsa. Sama seperti Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, dan semisalnya. Hanya saja, memang, Bahasa Arab identik dengan Islam. Soalnya Islam memang diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab.

Keidentikan ini sulit dibantah. Kata guru saya, Pak Damami Zein, Arab dan Islam itu bagaikan fonem dan morfem. Fonem adalah suara yang muncul saat mengucapkan huruf/morfem. Huruf “K”, kalau diucapkan, begitulah bunyinya. Memang pengandaian itu jauh dari ketepatan. Tapi boleh juga ia dikelola untuk mendekatkan pemahaman. Kiranya dari keidentikan itu pula, banyak manusia dari suatu suku-bangsa, terutama dalam guliran peradaban modern di Indonesia, yang melisankan kata-istilah dari Bahasa Arab ke dalam mode percakapan sehari-hari, terutama yang sepotong-sepotong seperti ana, antum, akhi, ukhti, ‘afwan, syukron, jazakallah, umi, abi, ustadz, syekh, mu’allim, dan sebagainya.

Akan tetapi, karena “yang Arab” belum tentu “yang Islam” sekaligus belum tentu “yang Jawa”, maka penerimaan pada Islam di Jawa tidak serta-merta penerimaan pada “yang Arab”. Benar bahwa dalam banyak hal, “yang Arab” betul-betul diterima di Jawa. Akan tetapi, yang diterima itu bukan semata-mata “yang Arab”, melainkan “yang Arab” sebagai percikan Islam. Di bawah ini akan saya paparkan bagaimana “yang Arab” itu diterima di Jawa dengan berbagai macam cara dalam berbahasa, bersimbol, dan berkonsep. Intinya, saya hanya hendak mengatakan kurang Arab apa Jawa itu?

***

Ya! Kurang Arab apa Jawa itu? Ada banyak kata-kata Bahasa Arab yang diserap oleh Jawa. Itu menandakan bahwa alam pikiran Jawa juga sejak jauh malam telah bersekepala dengan “yang Arab” dari Islam.  Beko”, kata yang biasa dipakai untuk pekerjaan “menangis” bagi anak-anak/bayi, itu dari Bahasa Arab “baka-yabki-buka’”. “Kayu”, juga dari Bahasa Arab “hayyu”, artinya sesuatu yang hidup.

Ungkapan minta maaf, “ngapunten”, itupun dari Bahasa Arab “’afwun/’afwan”. Hanya karena ada intensi penghalusan, maka ditambahlah akhiran “nten”, dan hanya karena ada gambaran “perbuatan meminta”, maka ditambah pula awalan “nga”. Boleh dibilang, gejala mendadak Arab yang biasanya tercermin dari kata-kata “’afwan, akhi, ukhti” sebenarnya bukan hal baru. Kalau kata-kata itu diucapkan lantaran anggapan bahwa bahasa setempat tidak islami, semoga itu bukan isyarat bahwa pengucapnya menderita wabah kelumpuhan pengetahuan mengenai asal-usul diri.

Untuk menyebut seorang guru ilmu kehidupan yang juga dapat disebut “guru ma’rifat”, orang Arab memakai istilah “as-Syaikh al-Akbar”, seperti gelar Ibnu Arabi, sufi besar dari Spanyol. Nah, orang-orang bertipe guru ma’rifat tersebut, di Jawa juga bergelar sama. Akan tetapi gelar “as-Syaikh al-Akbar” itu diterjemahkan menjadi “kyai/ki ageng”. Misalnya Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Giring, Ki Ageng Selo.

Jika orang Jawa menanyakan kabar “pripun kabare? (bagaimana kabarnya?)”, biasanya orang yang ditanya akan menjawab “sahe/sae (baik)”. Sahe/sae itu dari Bahasa Arab “sahih/soheh”. Pohon-pohon peneduh di pinggiran jalan, oleh orang Jawa disebut pohon “gayam”.  Asalnya dari kata “khayyam/Qayyam”, yang artinya “sesuatu yang menaungi”. Dalam kosakata sufisme Jawa, nanti istilah tasawuf semacam “Ruh Idlofi”, akan dieja menjadi “Ruh Ilafi”. Sebagaimana “fadhilah” akan diucapkan menjadi “palilah”, “mudharat” diucapkan menjadi “melarat”, “alhamdulillah” untuk menyebut sesuatu yang dianggap kebetulan akan dieja menjadi “ndilalah”.

Pada tahun 2012, saya meneliti hal ini di daerah Yogyakarta-Jawa Tengah. Saya menemukan satu contoh mengenai perlakuan pada “yang Arab” ini dalam tradisi penyuguhan kopi atau teh tubruk untuk setiap tamu. Bila ditelisik, kata “tubruk” merupakan pengalih-bahasaan kata Arab “tabarruk”. Tabarruk artinya upaya mendapatkan banyak berkah. Dalam Islam, sebagaimana tercermin dalam berbagai sabda Nabi Muhammad SAW, tamu diakidahi sebagai penggendong berkah. Karena itu keinginan untuk mengalap berkah sang tamu, oleh sang tuan rumah disimbolkan dalam bentuk suguhan teh atau kopi tabarruk, yang pengucapannya telah dialih-ubah menjadi teh atau kopi tubruk.

Contoh lainnya adalah kue ketan, kolak, apem. Di Jawa, tritunggal materi goyang lidah itu biasa disuguhkan di acara slametan atau disaling-tukarkan pada saat acara nyadran, yaitu semacam acara berkirim doa untuk arwah para pendahulu yang biasanya dihelat di bulan Ruwah (Sya’ban). Istilah ketan, kolak, apem sendiri diambil dari kosakata Islam yang juga bersumber dari Bahasa Arab.

Ketan dari kata khothoan, yang artinya kesalahan. Kolak dari kata qola/qowlan yang berarti berkata/perkataan. Apem dari kata’afwun, yang berarti permohonan maaf. Ketika dihidangkan atau disaling-tukarkan, ketan, kolak, apem sebenarnya sedang ditunjuk untuk menjadi juru bicara permohonan maaf atas kekhilafan dan kesalahan masing-masing pihak.

Pernah mendengar istilah “kebogiro”? Itu adalah sebutan dentang musik yang dimainkan untuk mengiringi pertemuan sepasang pengantin. Asalnya dari kata “hubbu” dan “ghirah”. Kebogiro merupakan pelisanan atas kata hubb dan ghirah, yang artinya cinta dan hasrat. Dengan mengadakan ritual pemertemuan pengantin lelaki dan perempuan, orang Jawa ingin menegaskan bahwa sebenarnya yang dipertemukan di sana adalah cinta dan gairah. Nantinya, pernikahan dan proses pasca-nikah seperti pertunggalan fisik (jima’/persetubuhan) lelaki dan perempuan yang telah resmi menjadi suami-istri, di Jawa disebut “lakirabi”Lakirabi pun, berasal dari Bahasa Arab “liqoi robbi” (berjumpa dengan Tuhan).

***

Tentu masih banyak contoh-contoh lain tentang bagaimana “yang Arab” dipergauli oleh orang Jawa di sini. Bila disebutkan satu-persatu, jumlahnya akan mencapai jutaan. Ini belum terhitung nama-nama tempat berciri arabik seperti ngaliyan, paliyan, sodo, bolawen, laweyan, sayidan, kamdanen, dan masih banyak lagi. Lha itu, kitab primbon saja, oleh orang Jawa disebut “Betal Jemur”, yang merupakan pengucapan Jawa dari istilah “bait al-jumhur”, yang berarti bahwa Kitab Primbon adalah kitab karya bersama yang dihasilkan dari laku permusyawaratan para ulama (jumhurul ‘ulama) di Jawa.

Terus, kurang Arab apa Jawa itu? Gini kok katanya anti Arab atau penuh kebencian pada Arab. Mikiro sitik! Wallahu a’lam.

*Buletin Jum’at Masjid Jendral Sudirman, Jum’at 7 Agustus 2015


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Yaser Arafat

Peneliti kebudayaan, aktif di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.