Tiga Ulama Perintis Gerakan Intelektual di Nusantara

slider
18 Februari 2022
|
2171

Bagi para intelektual muslim, posisi al-Haramayn (Makkah dan Madinah) sebagai pusat pengetahuan memiliki posisi yang sangat penting. Selain sebagai pusat peribadatan, Haramayn juga menjadi episentrum pengetahuan yang membuat banyak intelektual dari berbagai negeri muslim ingin belajar di sana. Di dua kota tersebut, para intelektual dari berbagai cabang keilmuan berkumpul, di antaranya para intelektual yang fokus pada bidang tasawuf, hadis, Al-Quran, fikih, syariah, kalam, sejarah, dan bidang keilmuan lainnya. Tak heran, Haramayn menjadi “kota impian” bagi banyak intelektual.

Salah satu wilayah yang memiliki koneksi intelektual dengan Haramayn ialah Nusantara atau yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan Jawi. Sejak dahulu, para intelektual asal Nusantara sudah banyak yang menimba ilmu di Haramayn. Hal ini terbukti dari bahasa Jawi (Melayu), menjadi bahasa kedua yang banyak dituturkan di sana. Dengan bukti tersebut, kita semakin mengetahui bagaimana kuatnya koneksi para intelektual dari kedua wilayah ini.

Salah satu tulisan yang fokus membahas konektifitas antara para intelektual muslim Haramayn dengan Nusantara ialah karya dari Prof. Azyumardi Azra. Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah ini menulis buku berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah & Nusantara Abad XVII & XVIII. Buku ini sangat jelas dan gamblang menjelaskan bagaimana konektifitas ini menghasilkan jaringan intelektual (ulama) yang sangat erat antara Haramayn dan Nusantara. Jaringan ini kebanyakan terjadi antara guru-murid, yang kemudian tersebar menjadi sebuah jaringan yang luas dan membawa dampak perubahan yang nyata.

Dalam buku tersebut, juga disebutkan tiga intelektual muslim asal Nusantara yang menjadi perintis awal dalam memunculkan jaringan intelektual ini. Dua perintis awal dari jaringan intelektual di wilayah Nusantara berasal dari Kesultanan Aceh, yaitu: Nuruddin al-Raniri dan Abdurauf as-Singkili. Sementara perintis yang satunya lagi berasal dari Sulawesi, namun mulai meniti karir di Kesultanan Banten, Yusuf al-Maqassari. Mereka bertiga dianggap sebagai intelektual yang paling menonjol pada masanya.

Berawal dari Nuruddin al-Raniri

Nuruddin al-Raniri menjadi pionir awal yang mewujudkan hadirnya jaringan intelektual antara Haramayn dengan Nusantara. Ia lahir di sebuah kota pelabuhan tua sekitar Gujarat bernama Ranir. Tanah kelahirannya tersebut kemudian menjadi penanda asal-usul dalam namanya. Al-Raniri lahir dari keluarga imigran Hadrami yang memiliki kultur keagamaan yang kuat. Ayahnya berasal dari Ranir (Gujarat), sementara ibunya seorang Melayu. Sebagai anak seorang ulama terkenal di kampung halamannya, al-Raniri mendapat pendidikan dasar agama langsung dari orang tuanya.

Memasuki usia remaja, al-Raniri berangkat menuju Haramayn untuk mengikuti jejak para leluhurnya dan menimba ilmu. Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban al-Hadrami merupakan sosok guru utamanya. Darinya juga al-Raniri diinisiasikan ke dalam tarekat rifa’iyah dan ditunjuk menjadi mursyidnya. Setelah memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni, al-Raniri mencoba kariernya sebagai intelektual berpengaruh di Nusantara.

Titik terbaik dalam kehidupannya ialah ketika ia diangkat menjadi Syaikhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani. Kedudukannya ini ia manfaatkan untuk memerangi paham wujudiyah yang dipelopori Syamsuddin al-Sumatrani, yang pada masa sebelumnya merebak luas di Kesultanan Aceh. Namun karena gerakannya yang lumayan ekstem tersebut, kariernya yang cemerlang tidak berlangsung lama.

Al-Raniri dianggap sebagai intelektual yang berhasil membawa tradisi besar Islam ke Nusantara. “Kita dapat mengatakan al-Raniri merupakan suatu mata rantai yang sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. Jelas dia merupakan seorang intelektual terpenting pembaruan Islam di Nusantara”, tulis Azra.

Al-Raniri juga merupakan intelektual yang produktif. Beberapa karyanya di antaranya: Al-Shirath al-Mustaqim, Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah, Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib, Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin, dan Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi. Kitab Bustanus al-Shalathin merupakan salah satu karya terbesarnya. Lewat karya tersebut, al-Raniri berhasil menulis sejarah awal Islam di Nusantara yang selama ini banyak didominasi oleh intelektual Barat. Peran penting al-Raniri lainnya menurut Azra ialah, ia berhasil mendorong penggunaan bahasa Melayu menjadi lingua franca di wilayah Nusantara.

Kemudian Abdurauf as-Singkili

Intelektual yang kedua bernama Abdurauf as-Singkili. Seorang intelektual yang dilahirkan di wilayah Fansur/Singkel, Aceh. As-Singkili juga terlahir dari keluarga yang memiliki kultur kegamaan yang kuat. Menurut Hasjmi, nenek moyang as-Singkili berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13 M (Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah). Biarpun sebelumnya al-Raniri berhasil memiliki koneksi dengan inti jaringan intelektual di Haramayn, tetapi as-Singkili berhasil melampaui al-Raniri dan mempunyai banyak mata rantai langsung dan kuat dengan para tokoh utama dari jaringan intelektual.

Setelah mendapat pendidikan awal di desa kelahirannya, Singkel, as-Singkili bertolak menuju Haramayn pada sekitar pertengahan abad ke-17 M. “Kelebihan as-Singkili ialah, dia memiliki daftar 19 orang guru tempatnya menimba ilmu, serta 27 orang guru lainnya yang dia berhasil temui”, jelas Azra dalam bukunya. Dari sini kita melihat bagaimana as-Singkili memiliki jaringan keilmuan yang jauh lebih kompleks. Namun secara intelektual, as-Singkili memiliki utang terbesar kepada gurunya Ibrahim al-Kurani yang sangat banyak mempengaruhi pemikirannya.

Setelah melewatkan 19 tahun mengembara di Timur Tengah, akhirnya as-Singkili kembali ke Aceh. Ia memulai karier ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin Tajul ’Alam dan tiga sultanah lainnya. Pada masa ini terjadi banyak kekisruhan di Kesultanan Aceh, terutama terkait kepemimpinan seorang wanita. Kehadiran dan jawaban-jawaban yang as-Singkili buat tidak berhasil meredam polemik ini.

As-Singkili juga merupakan intelektual yang sangat produktif. Ia merupakan intelektual pertama di Nusantara yang menulis sebuah kitab tentang mu’amalat berjudul Mir’at al-Thullab. Dalam bidang tafsir ia menulis kitab berjudul Tarjuman al-Mustafid yang diakui sebagai kitab tafsir pertama yang paling lengkap dalam bahasa Melayu. Selain dua kitab tersebut, ia juga banyak menulis kitab lainnya.

As-Singkili memiliki peran besar dalam memperkuat tradisi intelektual Islam di Nusantara. Namun ada satu hal penting terkait dirinya, “as-Singkili merupakan mujadid bergaya evolusioner, bukan radikal seperti al-Raniri. Seperti gurunya, as-Singkili suka mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya”, tulis Azra.

Dengan kompleksnya jaringan yang dimilikinya, di Nusantara as-Singkili juga memiliki murid yang berperan dalam memperluas jaringannya. Murid pertamanya yang paling menonjol ialah Burhanuddin Ulakan yang mendirikan sebuah surau Syathariyah, sebagai sebuah lembaga pendidikan sejenis ribath, di Ulakan, Minangkabau. Adalagi muridnya bernama Abdul Muhyi yang mendirikan dan mengajarkan tarekat Syatariyah di wilayah Sunda. Sementara di semenanjung Melayu, ia memiki murid bernama Abdul Malik bin Abdullah, atau yang lebih terkenal dengan nama Tok Pulau Manis, dari Trengganu.

As-Singkili wafat pada sekitar tahun 1693 M dan dikuburkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya dan para muridnya yang lain. Karena tempat dia dikuburkan itulah, maka as-Singkili di kemudian dikenal sebagai syekh di Kuala (Syiah Kuala). Pusara as-Singkili menjadi tempat ziarah keagamaan terpenting di Aceh sampai hari ini.

Terakhir Yusuf al-Maqassari

Intelektual ketiga yang berasal dari Gowa (Sulawesi) ini cukup berbeda. Namanya Yusuf al-Maqassari atau di Sulawesi dikenal sebagai Tuanta Salamaka ri Gowa (Guru Kami yang Agung dari Gowa). Al-Maqassari juga terlahir dari keluarga yang memiliki kultur keagamaan yang kuat. Ia mendapat pendidikan dasar keagamaan di kampung halamannya. Ambisinya untuk menimba ilmu ke Haramayn dipengaruhi oleh banyak gurunya yang menceritakan tentang kemajuan pengetahuan Islam di sana. Itu sebabnya, hasratnya untuk pergi ke Haramayn semakin menguat.

Memanfaatkan posisi Makassar sebagai salah satu pelabuhan terpenting di bagian timur Nusantara, al-Maqassari memulai perjalanannya untuk menimba ilmu ke Haramayn. Pertama ia singgah di Banten. Pada masa itu wilayah ini juga dikenal sebagai salah satu pusat Islam terpenting di Nusantara. Ketika berada di Banten ini, al-Maqassari menjalin hubungan yang erat dengan Pangeran Abu al-Mufakkir atau yang kelak dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Kedekatan ini nantinya yang menghantarkan al-Maqassari mendapat kedudukan penting di Kesultanan Banten.

Dari Banten ia melanjutkan perjalanannya ke Aceh. Persinggahannya di Aceh ini bermaksud untuk menimba ilmu kepada al-Raniri. Namun ketika sampai di Aceh, al-Raniri sudah pergi menuju India. Tak berselang lama ia melanjutkan perjalanannya lagi menuju Yaman, sebelum nantinya melanjutkannya lagi ke Haramayn.

Ketika berada di Haramayn, al-Maqassari menimba ilmu dengan banyak guru di sana. Salah satu gurunya yang utama ialah Ibrahim al-Kurani. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa, al-Maqassari menimba ilmu kepada guru yang sama dengan as-Singkili. Terkait ini, Azra juga menuliskan bahwa, “masa studi al-Maqassari di Haramayn juga bersamaan dengan masa studi as-Singkili di sana. Kuat alasan untuk menyatakan bahwa al-Maqassari juga belajar kepada para ulama yang menjadi guru as-Singkili.” Namun yang berbeda dari mereka berdua ialah, al-Maqassari tidak menyebutkan ilmu keagamaan yang dipelajari dan siapa saja nama-nama gurunya.

Berbeda juga dengan dua intelektual sebelumnya, al-Maqassari tidak langsung kembali ke Nusantara. Ia melanjutkan studinya lagi ke Damaskus, bahkan beberapa sumber juga menyatakan ia sampai ke Istanbul. Pasca mengunjungi banyak negeri, akhirnya al-Maqassari memutuskan untuk kembali ke Nusantara. Tempat yang menjadi tujuan kembalinya ialah Banten.

Seperti al-Raniri dan as-Singkili, al-Maqassari juga memainkan peranan politik yang penting di wilayah ini. Hubungan erat sebelumnya antara dirinya dan Sultan Ageng Tirtayasa, membuat dirinya dapat menduduki posisi sebagai mufti di Kesultanan Banteng.

Apalagi pasca Kesultanan Banten berkonflik dengan kolonial Belanda, al-Maqassari terlibat aktif dalam konflik tersebut. Setelah Sultan Ageng ditangkap pihak Belanda, al-Maqassari muncul sebagai figur terdepan dalam melawan kolonial Belanda.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, setelah menggunakan siasat yang cerdik, akhirnya Belanda berhasil menangkapnya. Ia kemudian dibuang ke Sri Lanka. Tapi karena masih memiliki pengaruh yang kuat, akhirnya ia dibuang kembali ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan modern) sampai wafat di sana.

Ia juga termasuk intelektual yang produktif, di antara karya-karyanya ialah: Safinat al-Najah, Zubdah Al-Asrar fi Tahqiq Masyarib Al-Akhyar, Kaifiyyat Al-Nafy wa Al-Isbat Bi Al-Hadis Al-Qudsi, Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyarib al-‘Arifin, dan Bidayat Al-Mubtadi’. Karyanya tersebut sampai saat ini masih tetap digunakan sebagai buku rujukan, terutama dalam bidang tasawuf. Meski ajaran-ajaran al-Maqassari hanya terbatas pada bidang tasawuf saja, namun ini tidak mengurangi kebesaran namanya dan pembaruan yang dilakukan bagi kaum muslim yang ada di Nusantara.

Wallahul’alam


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taslim Batubara

Mahasiswa Magister Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Sunan Kalijaga