Terpana oleh Kebetulan

slider
07 Maret 2022
|
1217

Judul: Terpana | Tahun: 2016 | Sutradara: Ricard Oh | Skenario: Ricard Oh | Produser: Ricard Oh | Pemain: Fachri Albar, Raline Shah, Reza Rahardian | Durasi: 73 menit

Sebuah truk melaju ke arah Rafian (diperankan oleh Fachri Albar) yang terpana melihat perempuan cantik bernama Ada (diperankan oleh Raline Shah) yang duduk di seberang jalan. Pria berjaket dengan earphone di kedua telinganya ini tidak mendengar deru truk yang melintas di jalan legang. Layaknya pemuda yang sedang terpana, perhatiannya tertuju sepenuhnya pada sesosok bidadari yang sedang tekun menggambar rancangan busana.

Rafian tiba-tiba berhenti tepat sekian detik sebelum truk yang disopiri seseorang yang asyik bermain ponsel itu menyambar tubuhnya. Sebuah kebetulan, keterpanaannya pada sesosok gadis cantik telah membuat garis takdirnya berubah. “You’ve just saved my life,” kata Rafian pada Ada. Baginya, keberadaan Ada di tepi jalan tepat pada saat ia hampir mengalami kecelakaan, bukan suatu kebetulan. Jika tidak terpana, bisa saja ia terus berjalan dan tertabrak truk.

Ada yang anggun, punya pendirian, dan sangat pandai menguasai diri ini menapik anggapan Rafian. “You were lucky,” kata gadis yang berprofesi sebagai fashion designer di New York tersebut. Ia merasa tak ada yang istimewa dari peristiwa itu. Secara kebetulan, dan hanya terjadi. Ia merasa ada di sana karena sedang pulang ke tanah kelahirannya di Medan untuk menghadiri pemakaman ayahnya.

Rafian lantas mempertanyakan probabilitas keberadaan Ada tepat di depan pandangannya, sementara truk berada di garis trajectory, melaju dengan kecepatan 70 km/jam dan berjarak 40 meter di depannya. “Plus-minus 2,1 detik dari titik konvergensi,” kata Rafian menggunakan argumen fisika. Jika tidak ada keterpanaan pada sosok Ada, ia yakin bahwa bisa saja terjadi kemungkinan lain berdasar analisis kuantum, lintasan, posisi, dan momentum.

Ada kemungkinan dua entitas bisa saling terkait, dalam sebuah mesin besar alam semesta. Kita familiar dengan istilah butterfly effect yang dikemukakan Edward Norton Lorenz. Fakta ilmiah membuktikan bahwa kepakan sayap kupu-kupu secara bersamaan di suatu wilayah bisa mengubah cuaca, arah angin, dan memicu tornado di wilayah lain. Dalam banyak hal di sistem yang tak linier ini, peristiwa kecil mampu membawa dampak besar.

Adegan itu membuka film Terpana (2016) yang disutradarai Richard Oh, yang sekaligus merangkap penulis naskah skenario, produser eksekutif, dan ilustrasi musik. Sastrawan yang ikut merintis perhelatan Kusala Sastra Khatulistiwa ini sebelumnya telah memproduksi film Koper (2016) dan Melancholy is a Movement (2015). Dalam dua film dengan genre unik ini, ia juga merangkap sebagai sutradara dan penulis skenario.

Film Terpana yang berdurasi 73 menit ini menampilkan genre yang tidak familiar bagi masyarakat pencinta film di Indonesia. Karya ini hanya mampu bertahan dua hari di layar bioskop dan hanya mampu mengundang 4500an penonton. Terlepas dari kurangnya apresiasi, kemunculan film dengan garapan cukup serius ini patut diperhitungkan. Harus diakui, film ini tidak bisa dinikmati semua kalangan.

Setelah mendengar penjelasan Rafian, Ada lantas beranjak dari kursinya. Ia berjalan ke arah pasar tradisional dan jejeran pedagang buah. Rafian mengikuti perempuan yang sedang rindu suasana Indonesia, termasuk kesemrautan pasar tradisionalnya yang punya magis. Adu argumen di antara mereka terjadi. Ada mengemukakan skenario lain yang mungkin terjadi atas peristiwa itu. Keduanya sepakat, “Jumlah semua probabilitas sama dengan satu.”

Mereka lantas berpindah tempat ke kawasan pegunungan, lalu danau, museum, gua, pasar. Hamparan objek wisata Tongging, Gua Kampret, Berastagi, Samosir, hingga Danau Toba. Semua latarnya sangat memanjakan mata. Di pinggir sebuah danau yang cukup indah, Ada berujar, “Keindahan ternyata tak abadi. Atau mungkin kita yang harus beradaptasi pada skala keindahan itu sendiri, yang berubah dari tahun ke tahun.”

Ada membalikkan argumen Rafian, bahwa segala sesuatu terjadi, tanpa perlu dipahami. Apa yang ada dan tidak bisa dibuktikan, biarkan itu menjadi apa adanya. Semua terjadi secara random. Menurut Ada, jika pun segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita punya arti, maka itu merupakan jejak kemungkinan yang terwujud. “Dan semuanya terkait, maka bisa diartikan.” Namun hal ini tidak berarti semua hal bisa direkayasa, diprediksi, atau dikaitkan.

Dialog penuh perenungan makna semisal itu menjadi latar film romantis ini. Mereka bahkan mempertanyakan apa kemungkinan mereka bisa bertemu dan menjalin relasi layaknya dua anak muda kasmaran hingga sejauh itu. Mengapa mereka dipertemukan, apa tujuannya, dan kemungkinan ada orang yang telah merekayasa pertemuan tersebut. Obrolan mereka merembes ke berbagai tema.

Mereka mempertanyakan tentang sebab akibat hingga kehidupan dan kematian yang konsisten berulang. Dengan alur yang datar tanpa melibatkan banyak tokoh, pembicaraan mereka cukup terfokus, mempertanyakan yang tidak lumrah diobrolkan dalam relasi romantis. Film ini menyisakan beberapa pertanyaan yang dibiarkan mengambang begitu saja. Semisal ucapan Rafian, “Apa yang terjadi setelah kita mati? Masih ada cinta gak ya?”

Tidak mungkin ada kebetulan, menurut Rafian. Pertemuan mereka berdua hingga obrolan yang terjadi di antara mereka hingga sejauh ini tak mungkin terjadi secara kebetulan. Beberapa pertanyaan tentang kebetulan terus bergelayut di benaknya. Jika tidak ada kebetulan, lalu apakah semua peristiwa punya makna? Ia tak percaya begitu saja pada alasan Ada bahwa, “Obrolan kita bisa sejauh ini karena kamu mengintil aku.”

Rafian membuka kemungkinan baru. Bagaimana jika pertemuan mereka dikontrol dan dikendalikan oleh seorang sutradara. Bagaimana jika seorang laki-laki misterius yang duduk tak jauh dari mereka (diperankan oleh Reza Rahadian) adalah dalang dari semua pertemuan ini. Mereka membuat simulasi tentang dua anak manusia di sebuah gua, yang tak punya kuasa apa-apa. Tanpa kehendak bebas, mereka sedang dikendalikan untuk memainkan lakon tertentu.

Dalam dunia simulasi itu, terjadi obrolan yang tak kalah menarik antara Ada dan Rafian dengan tokoh spekulatif itu. Tokoh misterius itu misalnya mempertanyakan kehidupan orang gua di masa lalu yang hidup dalam ketakutan dan penuh ancaman. Ada menimpali bahwa hidup itu, “lebih besar ancaman di luar, lebih kekal kehidupan di dalam.” Yang di luar merasa bebas dan yang di dalam merasa terbebaskan.

Mereka juga mempersoalkan tentang cinta di antara kebutuhan eksistensial dan ketakutan kehilangan diri sendiri. Bukankah manusia memiliki rasa takut akan kesendirian sehingga sebegitu membutuhkan cinta dari sekelilingnya?

Di lain kesempatan, Rafian mengemukakan pentingnya manusia memahami ragam cinta dari berbagai sudut pandang sehingga hidup lebih punya harapan. Harapan itu berbeda dengan kemungkinan, serupa dengan hasrat. Menurut Ada, harapan itu kebesaran cinta. “Setiap kali kamu mencintai seseorang, kamu mempunyai harapan. Kamu berharap orang yang kamu cintai itu berbeda dengan semua orang. Kamu menginginkan dia seperti semua yang kamu harapkan. Bayangin aja, betapa egoisnya itu,” tutur Ada.

Guna melihat kemungkinan lain dalam pertemuan mereka, di suatu pertigaan, Rafian meminta Ada berjalan kaki ke arah kiri dan ia mengambil jalan ke kanan. Rafian terus berjalan dan sangat yakin mereka berdua akan bertemu kembali. Ada sempat ragu, khawatir mereka tidak akan bertemu lagi. Ada berbalik arah, agar kemudian ditemukan oleh Rafian, dan membuktikan bahwa ia benar.

Adegan demi adegan dengan teknik pengambilan gambar dan komposisi sinematografinya yang unik ini membawa kita ikut terlibat dalam refleksi. Dialog di antara keduanya kadang perlu dipahami berulang kali. Misalnya tentang kenyataan dan keinginan, Ada berujar, “Di dunia sains, namanya background thinking. Pemikiran di latar belakang. Apa-apa yang berjalan secara wajar, bergerak dengan kehendaknya. Jadi, kita jangan main intervensi dengan keinginan, deh.”

Kalimatnya terkadang berisi metafora yang dibuat berdasar jangkauan pengalaman mereka. Semisal tentang gua. Kata Ada, “Di situlah manusia bebas memilih pandangan hidup yang ia inginkan. Melihat bayangan cahaya mentari di luar sebuah gua atau bayang-bayang dirinya dalam sebuah gua. Yang satu mengarungi dunia terbuka. Yang lain, ke labirin yang tertutup.”

Pada akhirnya, film ini mengingatkan tentang betapa terbatasnya manusia. Ada tangan tak terlihat yang telah menggerakkan kita hingga sejauh ini. “Jika di luar sana lebih banyak hal yang kita gak tahu dibanding yang kita tahu, di mana kepastian?” tanya Rafian. Jawab Ada, “Aku ingin mengetahui sebanyak-banyaknya supaya mengetahui betapa sedikit yang aku ketahui.”

Tema kebetulan dan kemungkinan yang mereka bicarakan sepanjang film merupakan sebuah topik perdebatan para filsuf di masa lalu. Richard Rorty pernah menyatakan bahwa hakikat hidup manusia adalah kotigensi atau ketidakpastian itu sendiri. Bahwa hidup kita ternyata tidak hanya digerakkan oleh rasionalitas atau emosi rasa, tetapi juga oleh sesuatu yang tidak pasti itu sendiri. Ibnu Sina berpandangan bahwa tidak ada peristiwa kebetulan. Suatu kebetulan, menurutnya, adalah koinsiden yang dihasilkan oleh pertemuan dua entitas berbeda atau rantai klausal yang semuanya kembali kepada sebab pertama di alam raya: Allah.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Ridha Basri

Sehari-hari ngadem di Grha Suara Muhammadiyah; Santri Ngaji Filsafat