Teknologi Mengubah Cara Manusia Berduka
Perspektif atas kematian berubah seiring perkembangan teknologi. Teknologi dapat mengubah hubungan manusia dengan orang yang telah meninggal, secara langsung atau tidak. Pada abad ke-19, kemunculan telegraf “memberi ide” pada orang-orang bahwa berkomunikasi dengan orang meninggal adalah hal yang memungkinkan, karena telegraf dapat menghubungkan orang dari lokasi yang berbeda secara real-time. Orang-orang mendatangi Medium, sebagai perantara komunikasi antara orang hidup dengan orang yang telah meninggal.
Setelah kemunculan telepon, komunikasi bisa dilakukan secara langsung menggunakan suara, layaknya saat orang bercakap-cakap. Dengan begitu, persepsi terhadap alat komunikasi untuk menghubungkan manusia hidup dengan manusia yang meninggal pun berubah. Pada 2011, Itaru Sasaki membuat Wind Phone, dengan ide bahwa seseorang dapat mengungkapkan perasaannya lewat telepon, lalu membiarkan kata-kata itu dibawa angin. Wind Phone adalah bilik telepon yang tidak tersambung dengan kabel telepon, sehingga tidak akan ada yang menjawab panggilan.
Seiring perkembangan internet, media sosial menjadi populer. Setiap orang dapat mengunggah apa pun dan data postingan tersebut dapat tetap tersimpan meskipun seseorang telah meninggal. Keberadaan media sosial mengubah pandangan seseorang tentang kematian. Jejak digital yang masih tersisa meninggalkan kesan bahwa seseorang yang telah meninggal, masih dirasa hidup dalam “dunia virtual”. Sebagian orang bahkan mengirimkan chat kepada orang yang telah meninggal.
Tak seperti Wind Phone atau pesan media sosial, AI chatbot memungkinkan interaksi dua arah. Selain itu, AI dapat diprogram untuk menirukan karakteristik seseorang. Merasakan kembali interaksi dengan seseorang layaknya ketika masih hidup adalah sesuatu yang memungkinkan lewat AI chatbot. Hal yang perlu dilakukan adalah mendefinisikan bagaimana kepribadian, nilai yang dianut, gaya bicara, dan hal-hal lain yang relevan untuk menggambarkan orang tersebut.
Interaksi dengan chatbot tidak dapat menstimulasi indra secara langsung. Pada masa Tiongkok kuno, orang memerlukan shi (personator) untuk meniru orang yang telah meninggal. Sekarang, dengan kemajuan komputer, seseorang bisa berinteraksi dalam dunia virtual dengan persona orang yang telah meninggal melalui virtual reality (VR), semakin mengaburkan batas antara fiksi dan realita.
Permasalahan Etis
Keinginan seseorang untuk berbicara dengan orang yang telah meninggal salah satunya dimotivasi oleh unfinished business (urusan yang belum selesai). Tak mengherankan jika seseorang melakukan upaya untuk berkomunikasi kembali dengan orang yang telah meninggal, melalui perantara Medium, Wind Phone, media sosial, AI chatbot, maupun VR.
Setiap masalah (tak terkecuali kesedihan orang lain) dapat dijadikan sebagai peluang bisnis. Misalnya, ketika Perang Dunia I menimbulkan banyak korban jiwa, Medium menawarkan jasa untuk berinteraksi dengan orang meninggal, melalui pemanggilan arwah. Tentu, tidak gratis.
Kemudian, pertanyaan muncul, “Apakah etis melakukan penipuan untuk mengambil keuntungan dari kesedihan orang lain?” Tak jarang, pemanggilan arwah menggunakan rekayasa perangkat elektronik untuk meyakinkan bahwa kehadiran arwah benar-benar ada. Modenya tidak seperti yang diiklankan (dapat menghubungkan dengan orang meninggal), tetapi lebih seperti pertunjukkan sulap.
Mirip seperti pemanggilan arwah, penggunaan chatbot dan VR pun tak terlepas dari masalah etis, bahwa pemanggilan arwah akan dijadikan sebagai ladang profit. Sejumlah peneliti memikirkan kemungkinan masalahnya. Misalnya, platform chatbot seperti Project December secara eksplisit menawarkan layanan untuk “mensimulasikan orang meninggal” dan menjadikannya berbayar.
Ketika chatbot sudah lama tidak digunakan, pengguna akan mendapat notifikasi untuk membuka aplikasi, yang seolah-olah pesan yang termaut dalam notifikasi dari pesangannya yang telah meninggal. Sehingga, mau tidak mau, pengguna membuka aplikasi, karena tidak mungkin untuk mengabaikan pesan dari orang yang disayangi.
Permasalahan etika selanjutnya adalah keterbatasan chatbot itu sendiri dalam menirukan manusia. Tidak seperti manusia yang senantiasa berubah, chatbot tidak dapat beradaptasi dan berkembang layaknya manusia. Chatbot hanya dapat merespons berdasarkan pola yang dipelajari dari dataset yang diberikan. Hal ini membuat persona yang ditampilkan hanya didasarkan pada masa lalu dan hanya mencakup sebagian kecil karakter seseorang. Misalnya, hanya menampilkan karakter seseorang secara publik, tetapi tidak menampilkan karakter dalam ranah privat.
Keterbatasan lain yang masih dapat ditemukan pada chatbot adalah jawaban yang diberikan tidak selalu relevan, dan bahkan membuat frustrasi pengguna. Misalnya, chatbot melupakan apa yang pengguna katakan sebelumnya, sehingga merusak ekspektasi pengguna yang mengharapkan mesin chatbot berperilaku layaknya manusia.
Terakhir, tidak kalah penting adalah potensi keterikatan terhadap chatbot. Manusia mungkin mengantropomorfisasi chatbot, karena sifatnya yang mirip dengan manusia. Keterikatan antara manusia dan chatbot, sering kali bersifat sepihak. Akibatnya, meski pengguna merasa terhubung secara emosional, hubungan ini tidak sebanding dengan interaksi antar manusia, yang lebih mendalam, intim, dan kompleks.
Penggunaan Chatbot dan VR dalam Proses Berduka
Kehilangan adalah kondisi yang ‘menyakitkan’. Pada masa-masa seperti ini, meminta dukungan dari orang terdekat akan memberikan kelegaan. Meski begitu, membicarakannya secara berulang-ulang dapat menyebabkan kelelahan mental bagi pendengarnya. Dalam kasus ini, chatbot dapat memberikan ruang aman untuk memproses emosi tanpa perlu membebani orang lain. Di samping itu, ketersediaan akses chatbot selama 24 jam juga menjadi keuntungan tersendiri, karena dapat memberikan dukungan sosial sepanjang waktu.
Kematian tak mungkin terduga dan meninggalkan urusan yang belum selesai. Peran chatbot dalam menirukan orang meninggal antara lain: menerima pesan selamat tinggal dan mengklarifikasi suatu hal yang belum jelas, untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki hubungan. Sulit untuk menerima kepergian seseorang, tetapi dengan menyampaikan sesuatu, meskipun itu adalah kepura-puraan, dapat memberikan kelegaan bagi penggunanya.
Dalam “The ‘Conversation’ About Loss”, pengguna melaporkan bahwa pemanfaatan chatbot disertai dengan konseling psikologis juga dapat membantu proses pemulihan. Tak seperti psikolog, yang dipengaruhi oleh pandangan pribadinya, sebagai mesin, chatbot tidak bersifat judgemental, sehingga pengguna merasa lebih nyaman untuk mengungkapkan berbagai hal sensitif. Dari sejumlah laporan tersebut menunjukkan bahwa chatbot memiliki manfaat praktis bagi orang yang berduka, terlepas dari adanya potensi akan permasalahan etis.
Tak seperti chatbot, virtual reality (VR) melibatkan teknologi yang lebih canggih. Pengguna dapat berinteraksi dengan persona orang yang telah meninggal dalam “dunia virtual”. Penggunaan VR pada masa sekarang belum terlalu populer dibandingkan dengan chatbot, sehingga pemanfaatannya lebih terbatas di kalangan masyarakat umum.
VR telah digunakan dalam memediasi urusan yang belum selesai. Sebagai contoh, seperti diperlihatkan dalam film domumenter dari Korea Selatan, I Meet You. Film ini membahas tentang pertemuan emosional antara seorang ibu yang berduka, Jang Ji-sung, dan VR putrinya yang telah meninggal, Nayeon. Setelah pengembangan VR yang memakan waktu hampir setahun, akhirnya Jang bertemu dengan VR Nayeon.
Film domumenter ini menunjukkan usaha untuk mereplikasi kenangan Jang dengan putrinya. VR Nayeon tidak sepenuhnya interaktif, adegannya sudah di-setting akan seperti apa. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi VR masih terbatas. Karakter yang ada dalam VR belum bisa diprogram untuk berperilaku secara otomatis. Barangkali, setelah teknologi chatbot matang, kombinasi antara VR dan chatbot dapat memberikan pengalaman yang lebih realistis, mendekati interaksi antarmanusia.
Sampai di sini, terlihat bagaimana teknologi mengubah cara manusia berduka. Keinginan seseorang untuk berkomunikasi kembali dengan orang meninggal, melalui cara apa pun, menggambarkan bahwa hubungan sosial adalah suatu hal yang kompleks. Bagi sebagian orang, menjalani interaksi yang palsu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST