Tasawuf: Dimensi Esoterik dalam Islam
Dewasa ini, banyak sekali kelompok-kelompok dalam Islam yang mengklaim diri sebagai kelompok yang benar. Ketika pemikiran mereka berbeda dengan kelompok lain, tidak segan-segan untuk memberikan stereotipe negatif bahkan sampai mengeluarkan fatwa kelompok lain merupakan kelompok sesat dan ajarannya bid’ah.
Salah satu kelompok yang mendapatkan stereotipe negatif dari umat Islam lainnya ialah kelompok sufi yang ajarannya dikenal dengan tasawuf. Tentu saja tuduhan yang mereka lontarkan tersebut merupakan suatu argumen yang tidak memiliki dasar yang jelas. Hanya karena Nabi Saw dan para Sahabat tidak pernah mengatakan secara tersurat maka bukan berarti tasawuf merupakan suatu ajaran yang sesat dan bid’ah.
Islam sebagai agama dari Tuhan memiliki dua sisi dimensi, yaitu dimensi luar (eksoterik, lahir) dan dimensi dalam (esoterik, batin). Dimensi eksoterik terwujud dalam bentuk syariat, sedangkan dimensi esoterik terwujud dalam bentuk tasawuf atau jalan spiritual. Karena itu, menurut Syed Hossein Nasr dalam buku Ideal and Realities of Islam (1966), tasawuf sebagai dimensi esoterik diibaratkan sebagai jantung ajaran Islam. Sebagai jantung ajaran Islam ia seperti juga jantung manusia yang tersembunyi dari pandangan, meskipun tetap menjadi pusat yang mengatur seluruh kehidupan organisme.
Meskipun tasawuf sebagai inti ajaran Islam, namun dalam konteks beragama, syariah juga memiliki peranan yang penting. Seseorang tidak dapat hanya menekankan pada sisi tasawuf saja atau pada sisi syariah saja. Antara syariah dan tasawuf harus terjalin sebuah relasi yang seimbang. Ketika tidak ada relasi yang seimbang antara syariah dan tasawuf, maka yang terjadi akan membuat hidup manusia tidak selaras, karena memberi penekanan yang berlebihan pada satu sisi saja.
Analoginya adalah Islam sebagai suatu agama serupa dengan buah kenari yang kulitnya menyerupai syariah, isinya seperti tasawuf dan minyaknya adalah haqiqah. Buah kenari yang tanpa kulit tidak akan dapat tumbuh hidup, sedangkan kenari tanpa isi maka tidak akan mempunyai arti. Syariah tanpa tasawuf seperti tubuh tanpa jiwa, dan tasawuf tanpa syariah tidak akan mempunyai bentuk lahiriah yang tidak akan mampu bertahan serta memanifestasikan dirinya dalam dunia ini.
Peranan tasawuf sebagai dimensi batin dari syariah telah diakui juga oleh beberapa ulama besar, seperti diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah mengatakan, “Yang mempelajari syariah dan menolak tasawuf maka ia menjadi orang berdosa, sedangkan yang mempelajari tasawuf dan menolak syariah maka ia menjadi orang yang munkar, kemudian siapa yang mempelajari keduanya maka ia akan mendapatkan kesadaran tentang kebenaran”. Karena itu, tidak tepat kiranya ketika seseorang mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu ajaran yang sesat ataupun suatu perkara yang bid’ah. Adapun ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi semuanya bertitik tolak dari Nabi Saw dan para Sahabat. Itu semua dapat dilihat dari bentuk maqam-maqam yang ada dalam ajaran tasawuf, bahwa tidak ada satu pun dari maqam tersebut yang keluar dari ajaran Islam.
Tujuan dari tasawuf itu sendiri yaitu untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan. Dengan menempuh maqam-maqam dalam ajaran tasawuf, para sufi berharap mereka dapat membuka hijab antara manusia dengan Tuhan. Untuk sebagian orang, tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang sesat, karena mustahil ada manusia yang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan.
Tetapi bagi para sufi itu bukanlah suatu hal yang sesat apalagi mustahil. Hanya saja untuk mencapai hubungan tersebut, manusia terlebih dahulu harus membebaskan diri mereka dari sifat-sifat kemanusiaan sehingga yang tersisa hanya sifat-sifat ketuhanan. Seperti halnya seorang Nabi dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, maka seperti itu pula manusia berhubungan dengan Tuhan. Hubungan tersebut tidak dapat diwujudkan oleh semua orang, hanya mereka yang memiliki kesungguhan hati dan kemantapan jiwa yang dapat mewujudkannya.
Para sufi mendasarkan kehidupannya pada kehidupan Nabi. Mereka bukan saja berusaha menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan sunah Nabi, tetapi mereka juga melangkah ke jalan yang menuju ke arah pencapaian pengalaman spiritual yang bentuk sempurnanya adalah mikraj Nabi. Mikraj adalah prototipe spiritual sufi yang berharap untuk menempuhnya secara spiritual. Berpindah dari satu tingkat eksistensi ketingkat lain, memanjat tangga hirarki makhluk yang universal menuju kepada hadirat Tuhan adalah tujuan tasawuf dan ini didasarkan pada contoh Nabi Saw.
Bukan saja praktik para sufi yang dicontohkan dari tindakan Nabi, tetapi juga dasarnya terletak di dalam Al-Qur’an yang mengajarkan Islam, iman, dan ihsan. Apa yang diajarkan oleh tasawuf adalah suatu bentuk penyembahan kepada Tuhan dengan kesadaran bahwa kita berada di dekat-Nya seakan-akan kita melihat-Nya atau Ia selalu mengawasi kita dan kita selalu berada di hadapan-Nya.
Dalam teori penyatuan, ada sebuah perbedaan antara para Nabi dan seluruh manusia (sufi) yang memiliki pengalaman penyatuan, yaitu setelah terjadinya pengalaman penyatuan maka para sufi tidak berkehendak untuk kembali dari pengalaman penyatuannya. Sedangkan seorang Nabi setelah terjadinya suatu pengalaman penyatuan maka kembalinya para Nabi untuk memasukan dirinya ke dalam perjalanan zaman atau untuk sebuah kepentingan manusia. Bagi para sufi, pengalaman penyatuan atau perjumpaan adalah sesuatu yang telah final, sedangkan bagi para Nabi, pengalaman merupakan suatu awal kebangkitan dalam dirinya menuju sebuah kehidupan yang baru.[1]
[1] Murtadha Muthahaari, Revelation and Prophethood: Man and Universe, terj. Andayani (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2015), hlm. 18
Category : keilmuan
SHARE THIS POST