Tanpa Manusia, Bumi Akan Baik-Baik Saja
08 Desember 2018
|
1969
Kalau saja manusia itu tidak diciptakan Tuhan di bumi ini; misalkan saja kera-kera di dunia ini tidak berevolusi menjadi lebih sempurna dari sudut pandang kita; dan misalkan pula Nabi Adam tidak terbujuk rayuan Iblis untuk memakan buah terlarang dan hingga dihukum oleh Tuhan diusir dari surga dan disuruh mengasingkan diri di suatu tempat yang namanya bumi, mungkin cuaca hari ini lebih mudah untuk diprediksi dan udara agak sedikit lebih segar dan sejuk. Tapi bukan berarti saya di sini menyalahkan Tuhan, Nabi Adam, Iblis, ataupun kera-kera itu, tapi saya di sini hanya ingin menguraikan saja semisal manusia tidak ada di bumi ini (atau mungkin tidak diturunkan). Baru kali ini saya menulis agak panjang seperti ini, atau lebih tepatnya ngetik, sejak diciptakannya mesin ketik oleh Henry Mill, atau lebih tepatnya lagi nutul, sejak diciptakannya layar sentuh oleh George Samuel Hurst; dan karena dua temuan besar tersebut menjadikan kemampuan manusia akan menulis agak berkurang, termasuk saya yang cara penulisannya ngawur ini. Tapi, katanya Paul Feyerabend, ÔÇ£Dont take your selves so seriouslyÔÇØ, jangan terlalu serius akan aturan-aturan yang ada. Meskipun ngawur, kalau ada ide, ya tulis saja. Oke, bismillah, kita mulai (dengan nada khasnya Pak Faiz saat mau memulai ngaji filsafat, he... he... he...). Kita awali dengan teori-teori tentang manusia pertama. Menurut teori Darwin, seorang naturalis dan ahli geologi Inggris, manusia pertama tercipta karena adanya suatu proses evolusi yang dialami oleh seekor kera. Darwin berpendapat bahwa nenek moyang manusia berasal dari kera yang berevolusi, mulai dari makhluk yang bernama Austrolopithecus Africanus hingga berubah menjadi Homo Sapiens atau yang dikenal sebagai manusia modern saat ini, yang kemungkinan muncul pertama kali pada periode Kuatir (1,6 juta tahun lalu-sekarang). Sedangkan menurut teori agama, khususnya agama samawi, disebutkan bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam yang diciptakan oleh Tuhan dari tanah liat dan diturunkan di bumi sekitar tahun 5872 SM di puncak bukit Sri Pada, Sri Lanka. Beliau diturunkan di bumi merupakan suatu bentuk hukuman yang diberikan oleh Tuhan kepada Nabi Adam karena beliau terbujuk oleh rayuan Iblis supaya memakan buah yang oleh Tuhan dilarang untuk dimakan. Saat itulah manusia pertama muncul di muka bumi. Kembali ke pokok permasalahan. Misal, menurut teori Darwin, kera-kera di dunia saat itu tidak ada yang (ingin) berevolusi menjadi bentuk manusia saat ini, mungkin kerusakan bumi yang paling parah hanya pada saat dinosaurus menguasai puncak rantai makanan pada zaman periode Kapur (145-65 juta tahun yang lalu) sehingga keseimbangan ekosistem di bumi sedikit kacau, dan pada saat meteor menghantam bumi pada zaman akhir periode Kapur (yang memusnahkan hampir separuh spesies makhluk hidup di bumi dan membuat iklim pada saat itu menjadi dingin dan gelap karena sinar matahari terhalang oleh debu-debu sisa dari hantaman meteor tersebut). Dan misalkan pula, pada saat itu Nabi Adam tidak terbujuk oleh iblis untuk memakan buah terlarang itu, mungkin fokus kita saat ini bukan fenomena yang terjadi di bumi lagi, tapi justru pindah semuanya di surga. Mungkin beritanya akan berbunyi seperti kasus penebangan liar di hutan surga, kandungan gas CO2 yang berlebihan pada udara di surga, dan tercemarnya sungai-sungai Firdaus. Atau mungkin menipisnya lapisan ozon di atmosfer surga karena sudah terlalu banyak pabrik-pabrik yang didirikan. Dan pada akhirnya nanti, mungkin manusia-manusia yang ada di surga menginginkan menuju suatu tempat yang indah dan lebih sejuk, yaitu bumi. Bumi tanpa manusia adalah tempat yang paling dinantikan. Burung-burung berkicau dan beterbangan ke sana-ke mari tanpa adanya senapan yang menembakinya. Hutan-hutan dengan lebatnya dapat mengayomi berbagai macam kehidupan di dalamnya tanpa buldoser dan gergaji yang menebangnya. Sungai-sungai mengalirkan air dengan jernihnya tanpa detergen dan pewarna tekstil yang mencemarinya. Gunung-gunung dengan gagahnya menunjukkan keagungannya tanpa linggis dan bor yang menggempurnya. Semua bersatu padu membentuk suatu harmoni kehidupan yang indah dan damai. Lantas, dari manakah adanya senapan, buldoser, gergaji, detergen, pewarna tekstil, linggis, dan bor itu? Ternyata semuanya adalah hasil karya dari makhluk yang bernama manusia. Manusia adalah animal rationale/binatang yang berpikir, katanya Aristoteles. Kalau dilihat animal-nya saja itu nggak ada bedanya sama hewan-hewan yang lain. Mereka hanya butuh makan, minum, bernapas dan kebutuhan dasar lainnya. Tapi yang membuat beda dari makhluk-makhluk yang lain itu terletak pada rationale-nya (akalnya). Dari akal inilah salah satu fungsi dari manusia dapat menciptakan berbagai macam penemuan-penemuan di atas tadi. Lantas, apakah akal ini yang menjadi biang kerok dari segala kerusakan yang terjadi di bumi saat ini? Bukankah karena adanya akal itulah manusia bisa berpikir untuk selalu mendapatkan apa yang dia inginkan? Bukankah karena akal itu manusia tidak lagi disetir oleh benar dan salah, tetapi berdasarkan yang dia suka dan yang tidak dia suka? Jawabannya adalah tidak. Kenapa tidak? Karena bukan itu fungsi utama dari akal manusia. Allah menciptakan manusia sebagai Insan Kamil (manusia sempurna). Manusia dibekali akal oleh Allah SWT. Akal di sini, dapat digunakan sebagai sarana untuk mendekatkan kita kepada Allah, atau mungkin justru sebaliknya. Akal diberikan kepada manusia supaya manusia itu mampu berpikir kritis dalam memahami segala bentuk kekuasaan-Nya, salah satunya dengan diciptakannya alam semesta ini. Jika dalam hukum alam, bila kita mampu berbuat baik kepada alam, maka alam akan membalasnya dengan kebaikan. Tapi justru kita sering berbuat kerusakan di muka bumi ini dan berperilaku semena-mena terhadap bumi: banjir bandang, tanah longsor adalah salah satu bentuk konsekuensi yang diberikan kepada kita. Memang semua kejadian ini bersumber dari manusia. Bersandar pada acuan berpikir antroposentris, bahwa jagat raya seisinya berpusat pada manusia, sering disalahartikan manusia bebas melakukan apa pun di jagat raya ini, karena dengan alasan manusia sebagai pusatnya. Manusia akan menjadi tuan bagi bumi ini. Manusia adalah salah satunya objek yang berpengaruh bagi segala bentuk kehidupan di muka bumi ini. Tetapi tidak selamanya bumi bersikap pasif. Manusia, menurut bumi, adalah penghuni yang paling egois. Dia bertindak sebagai subjek utama di muka bumi. Seharusnya kehadiran manusia di bumi dapat menjadikan keadaan bumi menjadi lebih baik. Memang, dalam memenuhi kebutuhan manusia, sering kali bumi mengorbankan berbagai jenis kekayaan di dalamnya. Seharusnya manusia memanfaatkan dengan bijak, bukan didasari pada hawa nafsunya. Jika itu terjadi, maka umur dari bumi tidak akan lama lagi. Tidak perlu menunggu malaikat Israfil menjalankan tugasnya meniup sangkakala, bumi akan kiamat dengan sendirinya karena ulah manusia itu sendiri. Sungguh, tanpa bumi, manusia tak akan bisa bertahan hidup. Tetapi, tanpa manusia, bumi akan baik-baik saja. Dari uraian panjang di atas, saya di sini sebenarnya hanya ingin menyampaikan sedikit pesan saja kepada kita umat manusia. Bukan berarti dengan uraian saya di atas, saya sangat membenci manusia dan menyuruh supaya manusia cepat-cepat hilang dari muka bumi (wong saya juga manusia). Saya hanya berharap, mari kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, kita berusaha memberi kebaikan kepada bumi, tempat yang kita jadikan sebagai tumpangan sementara, sebelum menuju alam selanjutnya. Kita tunjukkan rasa terima kasih kita kepada bumi, meskipun hanya dengan melakukan hal-hal kecil seperti memelihara lingkungan supaya tidak kotor, memperlakukan makhluk-makhluk Allah yang lain dengan rasa cinta kasih, dan selalu menjaga kerukunan antar makhluk ciptaan Allah. Allah menciptakan bumi untuk segala kebutuhan makhluk ciptaan-Nya, maka sepatutnya kita mengambil bagian dalam ikut serta memelihara bumi ini dari kerusakan.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST