Sungkem Lebaran Tahun Ini

slider
28 Mei 2020
|
1045

Secara resmi, pemerintah mengeluarkan larangan untuk tidak melakukan mudik demi menekan laju pandemi Covid-19. Larangan ini mendapat kawalan dari tindakan aparat kepolisian dan berbagai komunitas dengan membuat gambar, video, dan artikel tentang hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk merayakan Lebaran di perantauan.

Kendati demikian, tetap saja ada orang yang nekat mudik ke kampung halaman. Satu di antara alasan mudik akibat tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan karena terdampak penerapan aturan pembatasan sosial berskala besar. Alasan mudik lainnya telah menjadi kebiasaan menjelang Lebaran. Meski sudah dilarang, dari sanksi berupa teguran sampai hukuman, belum mampu membuat para pemudik kecut.

Lebaran tidak hanya didefinisikan sebagai perayaan kemenangan ruhani selepas sebulan menjerat hawa nafsu dengan ragam aktivitas kesalehan. Lebaran di Indonesia erat kaitannya dengan kondisi sosial-ekonomi, penciptaan musik religi, panggung pencitraan para politikus, dan tradisi yang dilestarikan masyarakat di kampung halaman.

Nah, pada poin terakhir ini ‘mungkin’ menjadi salah satu sebab terkuat orang sampai mewajibkan diri untuk mudik. Perayaan Lebaran tidak lengkap apabila tidak melakukan sungkem ke orang yang lebih tua. Ini barangkali yang menjadi alasan kuat orang-orang untuk mudik.

Pun pada keluarga saya, sewaktu simbah masih sugeng, setelah shalat Ied rampung, bapak pertama-tama mengajak kami sekeluarga untuk berkunjung ke rumah simbah. Ketika saya tanya kenapa tidak ke tetangga dulu yang jarak rumahnya lebih dekat? Jawab ibu, “Ini sebagai bentuk berbakti pada orang tua le”.

Belakangan saya baru sadar, makna berbakti yang dimaksud bapak tidak hanya sekadar menyenangkan orang tua dengan membantu pekerjaannya sehari-hari. Tetapi juga dilakukan dengan tindak bakti sungkem, dan Lebaran adalah saatnya.

Seiring bertambahnya usia, anak-anak akan disibukkan dengan rutinitas baru yang banyak menyita waktu. Ada yang mengambil studi ke luar kota, bekerja ke luar negeri, maupun beraktivis yang jauh dari rumah dan tidak banyak waktu bersama keluarga.

Sementara itu, orang tua rindu kehadiran anaknya seperti dulu. Berbuat nakal tetapi dimanja dengan dicium. Orang tua ingin menghabiskan waktu bersama anaknya lebih lama, dan bercerita aktivitas apa saja yang telah dilaluinya di hari itu. Hanya saja orang tua lebih tidak mengutarakan maupun menyela aktivitas anak-anaknya.

Seperti yang ditulis Linda Christanty dalam buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha (2015), orang tua mulai merasa bahwa anak-anak mereka yang di masa kanak-kanak begitu lucu dan manis telah menjelma mesin atau robot yang dingin akibat rutinitas. Maka dari itu, Lebaran menjadi momen istimewa untuk berkumpul dan menumbuhkan kembali sifat komunal di tengah-tengah gempuran modernitas yang kompetitif dan individualistik.

Sepeninggal simbah, bapak kini menjadi orang yang dituakan. Selama lima tahun terakhir, setiap hari pertama Lebaran bapak lebih berposisi menerima tamu. Di antara obrolan saat Lebaran, bapak bercerita bahwa saya sekarang menjadi orang yang suka bepergian dan jarang memberi kabar.

Kepulangan saya saat Lebaran selalu disambut dengan hangat. Hari pertama Lebaran saya luangkan untuk orang tua. Bapak banyak bertanya dan bercerita tentang kemajuan kampung yang saya rasa cukup lambat. Pernikahan, kematian, dan kelahiran menjadi topik cerita yang selalu saya dengar.

Lebaran hari kedua sampai keenam, saya banyak mengunjungi sanak kerabat dan teman sahabat. Dimulai dari yang paling dekat sampai ke luar kota. Saya pernah bertanya kepada ibu, kenapa bukan teman atau kerabat jauh yang didahulukan? Toh, mereka yang dekat dengan rumah bisa dikunjungi sembarang waktu.

Ibu menjawab—yang dalam kerangka teori disebut ‘interaksi sosial’, “Bila ibu butuh bumbu untuk memasak, ibu ke tetangga terdekat. Meminta saja sudah dikasih, tidak usah membeli. Kalau butuh apa-apa yang tahu dan membantu terlebih dulu siapa? Tetangga terdekat kita kan. Kerabat yang jauh tidak langsung, karena jarak akan datang sejam atau besoknya setelah mendapat kabar”. Benar. Dalam realitasnya malah kita sering menemukan kasus tetangga yang lebih peduli, dibanding kerabat atau saudara satu pertalian darah.

Memasuki sepekan Lebaran, keluarga saya membuat ketupat lengkap dengan sayurnya. Ketupat ini dibagikan ke tetangga-tetangga terdekat, begitupun sebaliknya.

Di beberapa tempat, misalnya di Trenggalek, Lebaran ketupat menjadi momen puncaknya. Di setiap rumah membuat ketupat dengan lauk dalam jumlah yang banyak. Setiap orang yang berkunjung, diwajibkan untuk makan ketupat. Bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun akan dijamu oleh tuan rumah dengan makan ketupat sampai kenyang.  Teman saya pernah membuktikannya. Katanya, “kamu hanya perlu modal perut lapar dan tidak punya malu”. Memang dalam urusan perut, harga diri manusia terkadang bisa terjun bebas.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Lebaran ketupat serupa juga dapat ditemui di beberapa tempat di kota saya, Tulungagung. Tetapi dengan kemasan yang agak berbeda. Setiap satu RT atau RW mendirikan tenda di pinggir jalan, semacam posko bantuan bencana. Di tenda tersebut kita dapat makan ketupat sepuasnya selama persediaan masih ada. Orang-orang yang berlalu-lalang, tua muda, laki-laki perempuan, sudah akrab maupun yang baru kali pertama bertemu dihadang, digiring, dan persilakan untuk makan ketupat. Lebaran ketupat ini menjadi wujud kepedulian sosial kepada siapa pun.

Selepas Lebaran ketupat, pada sore harinya ibu mengajak saya dan kakak untuk menziarahi makam simbah. Waktu di makam, kami dikenalkan dengan leluhur keluarga mulai dari nama kerabat dekat, simbah sampai buyut. Keturunan di atas buyut ibu sudah lupa. Makamnya pun juga sudah hilang, diganti dengan makam orang lain. Meski demikian, “Tetap didoakan le. Gusti Allah pasti tahu siapa orang yang kita maksud tanpa menyebutkan namanya sekalipun”, kata ibu.

Saya pernah mencari di internet siapa nama buyut saya. Menurut cerita ibu, buyut saya bekas anggota polisi yang berdinas di Surabaya. Bekas anggota pasukan Jendral Soedirman dan pernah terlibat ikut perang pada 10 November yang menewaskan Jendral A.W.S Mallaby. Sayang, hasil pencarian saya nihil. Saya hanya menduga, mungkin yang dipakai adalah nama samaran. Seperti kebanyakan para pejuang di masa lalu, nama, tempat tinggal, jejak kepergian, istri, menjadi identitas rahasia yang pastinya hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Mungkin ini semacam upaya untuk melindungi keluarga.

Lebaran tahun ini yang bersamaan belum surutnya pandemi, saya tidak merayakan Lebaran dengan tradisi dan aktivitas seperti kala kondisi normal. Kebanyakan orang pun demikian, tidak mudik demi melindungi keluarga, kerabat, teman, sahabat. Di sisi lain, ikhtiar seperti ini juga harus ditunaikan demi kepentingan bersama.

Belasan juta orang yang terjebak Lebaran di perantauan, hanya bisa berkirim doa, kabar, maupun alat tukar yang sah, tidak mudik, bersuasana kekeluargaaan dan keakraban di kampung halaman.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta