Sugeng Tindak

slider
12 September 2019
|
1987

Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati”—Arswendo Atmowiloto

Menjadi manusia bukan perkara gampang. Kita tidak pernah tahu, nasib seperti apa yang akan kita tanggung. Kita tidak pernah tahu, masa depan seperti apa yang akan kita jalani. Kita tidak pernah tahu, akan seperti apa masa remaja kita, atau akan seperti apa waktu dewasa kita, atau akan seperti apa masa tua kita.

Kita tidak pernah tahu berapa lama kita akan hidup di bumi ini. Satu tahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun? Tiga puluh tahun? Siapa tahu?

Bisa jadi satu bulan lagi, atau malah satu minggu lagi. Bisa juga detik ini kita membaca tulisan ini, tapi detik berikutnya kita harus membaca amal perbuatan kita selama menjadi manusia alias mati.

Kita tidak pernah tahu kita akan dilemparkan ke dunia ini tanpa ada pilihan: lahir begitu saja, tidak tahu dari mana dan mau kemana. Tidak ada pertanyaan ke rahim siapa kita ingin dikirim? Mau dilahirkan dari keluarga yang mana? Mau dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan? Atau mau atau tidak kita dihidupkan didunia?

Kita ada, kita ‘disana’, ada di bumi ini. Begitu saja.

Kita hanyalah satu titik kecil di bumi, di antara miliaran titik lainnya yang ada di alam semesta ini. Punya maksudkah kita ada? Atau kita ‘hanya kebetulan’ ada, seperti semacam sesuatu yang tercipta akibat ketidaksengajaan suatu proses dari suatu tujuan lain, yang bahkan keberadaannya tidak ada urusannya sama sekali dengan kita dan bumi ini?

Inilah yang disebut momentum faktisitas: kenyataan bahwa keberadaan kita di bumi ini adalah niscaya. Martin Heidegger menyebutnya momentum keterlemparan (gowerfenheit). Padahal dalam Islam dengan jelas telah dinyatakan bahwa Allah-lah asal dan tujuan kita. Kita diciptakan untuk memuliakan-Nya. Kita berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya.

Mengapa kita harus dilahirkan, jika pada akhinya kita akan mati?

Setiap makhluk bernyawa di dunia ini pasti akan merasakan kematian. Tidak ada perkecualian. Bahkan bagi para Nabi, manusia terpilih yang di istimewakan oleh Allah sekalipun.

Firman Allah dalam Surat Adz Dzariyat, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyat [51]: 56)

Hal ini bukan berarti Allah butuh kita, tapi kitalah yang butuh beribadah pada Allah. Segala balasan ibadah kita akan kembali pada kita sendiri.

Tapi ibadah saja tidak cukup. Dalam ibadah itu harus terkandung niat yang tulus, rasa cinta, dan kesungguhan untuk hanya tunduk kepada Allah. Tidak semua manusia di dunia ini mampu beribadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ada setan yang sejak zaman Nabi Adam telah berjanji akan selalu mengganggu manusia dan mengajaknya untuk tidak patuh kepada perintah Allah. Tinggal bagaimana langkah kita untuk menghadapinya. Apakah kita akan tetap tunduk atau malah ingkar pada perintah Allah?

Coba kalau dari kecil tidak ada para guru ngaji yang dengan sabar mengajari kita ajaran agama? Akan seperti apa rumitnya pertanyaan kita tentang kehidupan ini?

Muda bahagia, tua bahagia banget, mati?

Socrates mengibaratkan kematian sebagai pembebasan dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh kehidupan. Mungkin, bagi beberapa orang yang ‘merasa’ hidupnya dipenuhi oleh perasaan sakit–entah karena alasan apa–kata-kata Socrates ini mereka aminkan.

Tapi, ada rasa sakit lain yang musti ditanggung akibat dari kematian ini. Rasa sakit yang harus dirasakan oleh yang ditinggalkan. Dua raga dengan jiwa didalamnya yang disatukan dalam satu cinta, yang kemudian diharuskan berpisah untuk ‘sementara’.

Firman Allah dalam Surat Al Mu’minun, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS Al Mu’minun [23]: 115).

Seperti yang pasti kita tahu, ada kehidupan lain setelah kematian, yaitu kehidupan akhirat. Yang tentunya lebih lama dibandingkan dengan kehidupan di bumi yang ibarat cuma ‘mampir ngombe’. Lalu kenapa kita tidak bisa menunggu dalam keadaan baik? Kenapa kita terus menyia-nyiakan waktu yang cuma sebentar ini untuk ‘kemaki’ dan ‘kemayu’, polah tak karuan di Bumi ini?

Jadilah manusia yang polutropi: punya banyak sudut pandang pemikiran dan melihat realitas secara prespektif. Jangan cuma stuck memikirkan dunia saja. Atau stuck memikirkan akhirat saja. Harus seimbang. Dunia diusahakan, akhirat dikejar. Jangan sampai salah satunya tergelincir.

Datang tanpa diundang, pulang tanpa diantar

Sungguh kematian yang selalu kalian hindari itu pasti mengejar kalian. Kalian akan dikembalikan kepada Allah, Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Kemudian kelak di hari kiamat, Allah akan menjelaskan kepada kalian apa saja yang telah kalian lakukan di dunia” (QS Al-Jumu’ah [62]: 62)

Ada satu kisah yang menceritakan ketika Nabi Sulaiman dikunjungi oleh Malaikat Maut. Mereka berbincang-bincang dan duduk bersama. Pada waktu yang lain, seorang laki-laki datang ketika Nabi sedang bersama Malaikat Maut.

Malaikat Maut kemudian memandang laki-laki tersebut sebelum pergi tak lama kemudian. Laki-laki yang bertamu kemudian bertanya kepada nabi siapa orang yang pergi tadi, yang kemudian di jawab Nabi bahwa orang tersebut adalah Malaikat Maut.

Laki-laki tersebut terkejut karena Malaikat Maut tadi menatapnya dengan tajam dan meminta Nabi Sulaiman membawanya pergi ke tempat yang jauh, yang di kabulkan oleh Nabi.

Beberapa hari kemudian, Nabi Sulaiman kembali bertemu Malaikat Maut dan bertanya tentang laki-laki yang pernah bertamu ke kediaman Nabi dan bertemu dengannya. Malaikat maut menjawab bahwa ia takjub kepada laki-laki tersebut dan diperintahkan untuk mencabut nyawanya setelah ia berada di negeri Hindi, tempat laki-laki itu pergi.

Dari kisah ini Allah menegaskan bahwa kematian bisa menghampiri siapa saja, kapan saja, dimana saja. Tidak ada yang bisa menghindarinya. Tidak ada yang bisa memajukan dan memundurkannya, bahkan sedetikpun. Dan bahkan mungkin kita tak akan sempat mengucap bakti, cinta, kasih, maaf, hingga ia tak bisa mengenali lagi, dan mata tetap rapat dan terpejam. Kita hanya bisa menunggu, seperti kata Arwendo, dan menikmati masa-masa menunggu kita dengan cara yang sebaik mungkin.

Maka, sugeng tindak… untuk semua yang telah menuju sisi-Nya. Semoga berjumpa di surga. Al-Fatihah.

...

Dan Jika ‘kenangan kehilangan’ itu datang menghampirimu, maka ia datang dengan menjelma sebagai belati paling pedih yang menggurat semburat pilu di hati: menggores epidermis, menembus lapisan lemak, menggiggit arteri, menari dalam aliran darah, mendebarkan jantung, menggilakan syaraf, menabur tetesan air mata ditempat sujudmu..*

Ps: Untuk kedua Bapak tercinta, yang bahkan belum sempat berjabat tangan di bumi. Semoga bisa salim di surga. We love you.

*Syairku: Rasa Kehilangaan (Kitab Cinta)


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Devi Ernawati