Stuart Hall: Mengupas Budaya Media dan Kekuasaan di Balik Makna Kehidupan
Stuart Hall, seorang pemikir terkemuka dalam kajian budaya, membuka wawasan kita tentang hubungan antara budaya, media, dan kekuasaan. Pemikiran Hall menawarkan perspektif kritis mengenai bagaimana budaya dan media membentuk identitas, ideologi, dan makna dalam kehidupan sehari-hari. Hall mengungkapkan berbagai pandangannya seperti identitas, representasi, bahasa, dominasi makna, hingga hegemoni media, serta implikasinya bagi masyarakat.
Cultural Studies: Kajian Multidisiplin untuk Pemberdayaan
Cultural studies adalah pendekatan multidisiplin yang mengintegrasikan berbagai ilmu untuk memahami budaya sebagai arena pertarungan kekuasaan. Menurut Hall, di balik setiap budaya terdapat pengaruh kekuasaan yang membuat masyarakat seolah-olah bebas memilih, padahal keputusan tersebut dipengaruhi oleh struktur dominasi tertentu.
Tujuan utama dari cultural studies adalah mengubah dan memberdayakan masyarakat. Proses ini dimulai dengan langkah memahami dan mengidentifikasi diri, yaitu mengenali siapa diri kita sebenarnya dan bagaimana posisi kita dalam struktur sosial yang ada. Dengan memahami diri, seseorang dapat menyadari peran dan pengaruh lingkungan terhadap pembentukan identitas pribadi.
Langkah berikutnya adalah melihat keluar, yakni memahami bagaimana dunia luar mempengaruhi identitas dan perilaku kita. Faktor eksternal, seperti budaya, media, dan kekuasaan, memiliki peran besar dalam membentuk cara kita berpikir dan bertindak. Dengan mengenali pengaruh ini, masyarakat dapat lebih kritis dalam menghadapi berbagai bentuk dominasi dan lebih berdaya dalam menentukan masa depan mereka.
Identitas dan Ideologi
Identitas merupakan salah satu konsep fundamental dalam pemikiran Hall. Hall membahas identitas sebagai sesuatu yang tidak sederhana, melainkan kompleks dan berlapis. Ia menyoroti bahwa identitas tidak hanya terkait dengan siapa kita, tetapi juga bagaimana kita dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di sekitar kita.
Hall membedakan identitas menjadi dua jenis utama. Pertama, identitas statis (being), yaitu identitas yang bersifat tetap, kolektif, dan tidak mengalami perubahan. Kedua, identitas dinamis (becoming), yaitu identitas yang terus berkembang dan berubah seiring waktu. Identitas dinamis mencerminkan sifat manusia yang selalu beradaptasi dengan pengalaman, interaksi, dan lingkungan yang berubah.
Menurut Hall, identitas bukanlah sesuatu yang permanen atau esensi batin yang tidak berubah. Sebaliknya, identitas adalah proses yang dinamis dan tidak pernah selesai. “Identitas selalu merupakan proses menjadi yang tidak pernah selesai,” ungkap Hall. Pandangan ini menegaskan bahwa identitas kita dipengaruhi oleh perubahan sosial, budaya, dan interaksi dengan orang lain.
Dalam pandangan Hall, ideologi adalah kerangka berpikir atau konsep yang digunakan untuk membaca dan memahami realitas. Ideologi berperan sebagai lensa yang membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia, baik secara sadar maupun tidak. Dengan demikian, ideologi menjadi fondasi yang mempengaruhi interpretasi kita terhadap berbagai peristiwa, pengalaman, dan informasi yang diterima.
Media seringkali berfungsi sebagai alat penyampai ideologi. Melalui berbagai saluran dan kontennya, media menjadi medium yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Dalam banyak kasus, nilai-nilai yang disampaikan cenderung menguntungkan pihak dominan, sehingga memperkuat posisi mereka dalam struktur sosial. Media, dengan daya jangkaunya yang luas, memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi opini publik dan membentuk persepsi masyarakat sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
Representasi dan Dominasi Makna
Representasi adalah cara kita menampilkan ulang realitas sesuai dengan pemahaman yang kita miliki. Menurut Hall, representasi tidak hanya sekadar memotret realitas, tetapi juga memproduksi makna baru yang selaras dengan kerangka pemikiran tertentu. Representasi ini terbagi menjadi dua bentuk utama: representasi mental dan representasi bahasa. Representasi mental adalah gagasan atau konsep yang terbentuk di pikiran berdasarkan pengalaman, penglihatan, dan pendengaran kita. Sementara itu, representasi bahasa adalah penggunaan kata-kata untuk mengomunikasikan gagasan atau konsep tersebut kepada orang lain.
Hall juga menjelaskan tiga pendekatan utama dalam memahami bahasa sebagai media representasi. Pertama, pendekatan reflektif, yang menganggap bahasa mencerminkan kenyataan secara langsung. Kedua, pendekatan intensional, yang melihat bahasa sebagai refleksi kehendak dari penulis atau pembicara. Ketiga, pendekatan konstruksionis, yang menganggap bahasa sebagai konstruksi sosial yang terbuka untuk ditafsirkan dalam berbagai cara, sehingga makna tidak pernah bersifat tetap.
Makna dalam budaya dan media tidak bersifat tetap atau hakiki. Kata-kata dan simbol hanya memiliki makna berdasarkan interpretasi orang yang memaknainya. Namun, dalam realitas sosial, makna sering kali didominasi oleh kelompok superior yang memiliki kontrol terhadap media dan institusi budaya. Dominasi ini membuat makna tertentu menjadi lebih kuat, sementara makna lain dikesampingkan.
Budaya yang kuat cenderung mendominasi budaya yang lebih lemah, menciptakan hierarki budaya. Dalam konteks media, Hall menekankan bahwa media merupakan alat yang merepresentasikan ideologi kelas dominan kepada masyarakat. Media membentuk opini publik, mempengaruhi nilai, dan melanggengkan status quo.
Peran Media: Membangun dan Membingkai Opini
Media memiliki peran signifikan dalam membangun nilai, menyampaikan pesan, dan membentuk persepsi masyarakat. Media tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga instrumen yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap berbagai isu.
Dalam banyak kasus, media digunakan untuk memanipulasi opini publik melalui strategi tertentu. Salah satu pernyataan terkenal yang menggambarkan kekuatan media adalah bahwa “kebohongan yang terus-menerus diulang dapat menjadi kebenaran.” Hal ini menunjukkan bahwa media memiliki kemampuan untuk membentuk realitas sosial sesuai dengan kepentingan tertentu.
Melalui berbagai mekanismenya, media mampu menciptakan isu baru dan mengarahkan perhatian masyarakat terhadap topik tertentu. Media juga dapat membagi masyarakat melalui framing tertentu yang memperkuat perbedaan pandangan.
Selain itu, media berperan dalam menciptakan tanda atau simbol dengan kandungan makna yang beragam (polisemi), sehingga memungkinkan interpretasi yang berbeda-beda. Media juga menyediakan kerangka interpretasi (framework interpretation) bagi masyarakat untuk memahami isu-isu yang kompleks, sehingga memperkuat pengaruhnya dalam membentuk opini publik.
Teori Resepsi dan Hegemoni Media
Teori resepsi Hall menjelaskan bagaimana audiens menerima dan menafsirkan pesan yang disampaikan oleh media. Proses ini melibatkan dua tahap utama: encoding dan decoding. Tahap encoding adalah produksi pesan oleh media atau pembuatnya, yang mencerminkan framework of knowledge, relasi sosial, dan infrastruktur teknis yang ada. Dalam tahap ini, media menyampaikan pesan dengan cara tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kepentingan ideologis dan sosial.
Setelah pesan dikirim, tahap selanjutnya adalah decoding, yaitu bagaimana audiens memahami pesan yang diterima. Proses decoding ini dapat dibagi menjadi tiga kategori. Dominant reading terjadi ketika audiens menerima pesan sesuai dengan maksud pembuatnya. Oppositional reading terjadi ketika audiens menolak pesan yang disampaikan dan menawarkan interpretasi alternatif. Sedangkan dalam negotiated reading, audiens menerima sebagian pesan namun menolak bagian lainnya, menggabungkan elemen-elemen pesan dengan pandangan mereka sendiri.
Hegemoni media adalah bentuk dominasi yang dilakukan tanpa paksaan langsung. Sebaliknya, masyarakat secara tidak sadar mengikuti nilai-nilai atau ideologi yang ditanamkan oleh media. Dalam proses ini, korporasi besar yang menguasai media memainkan peran penting dalam membentuk narasi dominan dan mencegah narasi alternatif berkembang. Banyak cerita penting yang tidak diceritakan karena bertentangan dengan kepentingan korporasi.
Literasi Media: Memahami Media Secara Kritis
Untuk menghadapi pengaruh media yang besar, literasi media menjadi sangat penting. Literasi media mengajarkan masyarakat untuk lebih kritis dalam mengonsumsi informasi yang disampaikan oleh media. Salah satu aspek penting dari literasi media adalah kemampuan untuk mengidentifikasi siapa yang membuat berita dan pesan, serta menganalisis pesan yang disampaikan dan bagaimana cara penyampaiannya. Selain itu, literasi media juga mengajak masyarakat untuk menggali nilai-nilai dan sudut pandang yang terkandung dalam media, serta memahami motif ekonomi atau kekuasaan yang mungkin ada di balik pesan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Siapa yang membuat berita ini?”, “Apa pesan yang ingin disampaikan?”, dan “Nilai apa yang ditekankan atau dikesampingkan?” menjadi alat yang sangat penting untuk membaca media secara kritis. Dengan bertanya seperti ini, audiens dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pesan yang disampaikan dan menyadari adanya berbagai pengaruh yang membentuk informasi tersebut. Literasi media tidak hanya meningkatkan kemampuan individu untuk menyaring informasi, tetapi juga mendorong masyarakat untuk menjadi konsumen media yang lebih bijak dan cerdas.
Pemikiran Hall tentang budaya dan media memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kekuasaan, ideologi, dan representasi bekerja dalam masyarakat modern. Media tidak hanya menjadi sarana informasi, tetapi juga alat kontrol sosial yang mampu membentuk identitas, membingkai realitas, dan melanggengkan kekuasaan.
Dengan memahami teori-teori ini, masyarakat dapat lebih kritis dalam menghadapi media dan memberdayakan diri untuk melawan dominasi budaya yang tidak adil. Literasi media adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis.
Referensi:
Ngaji Filsafat 360: Stuart Hall - Media dan Budaya edisi Kebudayaan, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 24 Agustus 2022.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST