Slow Living: Refleksi dari Carl Honore

slider
14 Februari 2025
|
897

“Di era yang dibanjiri media, kaya data, berpindah-pindah saluran, dan permainan komputer ini, kita telah kehilangan seni untuk tidak melakukan apa pun, mengabaikan kebisingan dan gangguan di latar belakang, memperlambat diri, dan sekedar menyendiri dengan pikiran kita.” Demikian salah satu kutipan dari Carl Honore, seorang penulis dan pembicara yang terkenal dalam Gerakan Slow Living.

Honore memopulerkan konsep slow living melalui buku In Praise of Slowness yang terbit pada 2024. Dalam bukunya, Honore mengkritik bagaimana masyarakat saat ini lebih mengutamakan kecepatan daripada kualitas hidup. Masalah utamanya karena fast culture (budaya cepat), istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa zaman modern ini, sangat terobsesi dengan kecepatan dan efisiensi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pada makanan, transportasi, hiburan, personal branding, dan sebagainya.

Honore terinspirasi dari Gerakan Slow Food yang dibentuk oleh Carlo Petrini dan sekelompok aktivis untuk memprotes pembukaan gerai McDonald’s di Kota Roma.

Prinsip dari slow food adalah, pertama, sustainable (berkelanjutan), makanan diproduksi dengan cara menghormati lingkungan, melindungi keanekaragaman hayati, dan ekosistem. Kedua, local (lokal) yang berfokus pada makanan yang berasal dari sumber lokal untuk mendukung petani dan produsen kecil. Ketiga, organic (organik) yang mengutamakan makanan tanpa penggunaan bahan kimia sintetis, seperti pestisida dan pupuk buatan. Keempat, whole (utuh) yang menekankan konsumsi makanan yang alami, tidak diproses secara berlebihan, dan mempertahankan nilai gizi alamiah.

Selain itu, Honore juga mendapatkan inspirasi pada salah satu momen penting hingga menyadari dampak dari fast culture yakni saat Honore mencoba membacakan dongeng untuk anaknya sebelum tertidur. Honore sering kali membacakan dongeng cerita secara terburu-buru, dengan harapan agar menyelesaikan secara cepat dan kembali ke aktivitas lainnya.

Suatu ketika, Honore menemukan buku berjudul One-Minute Bedtimes Stories, namun saat ingin membeli buku tersebut ia merasa tergugah dan malu. Pada momen ini, Honore lalu mulai bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa saya terburu-buru bahkan untuk sesuatu yang seharusnya menjadi momen berharga dengan anak saya?”

Kritik terhadap Fast Culture

Honore memberikan kritik terhadap fast culture yang memiliki dampak terhadap masyarakat saat ini. Dampak dari fast culture seperti menurunkan kualitas hidup. Karena terobsesi terhadap kecepatan yang sering kali membuat kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar menikmati hidup. Kita cenderung memprioritaskan kuantitas daripada kualitas, melewatkan pengalaman-pengalaman berharga, dan menciptakan kehidupan yang dangkal karena segala sesuatu dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa apresiasi yang mendalam.

Fast culture sebagai budaya yang serba cepat, seringnya menjadi penyebab utama stres kronis, kelelahan, dan masalah mental lainnya. Hal ini terjadi karena kita merasa tertekan untuk selalu produktif dan berkompetisi, sehingga mengabaikan kebutuhan tubuh untuk istirahat, mengalami burnout karena bekerja tanpa henti, serta tidak memberikan ruang bagi kesehatan mental dan fisik, yang akhirnya membuat kita terjebak dalam siklus yang merusak.

Selain itu, hubungan sosial menjadi terganggu dalam fast culture. Hubungan interpersonal sering kali tergeser oleh jadwal yang padat dan fokus pada pencapaian pribadi. Kita menjadi kurang hadir secara emosional dalam interaksi sosial. Fast culture mengikis kualitas hubungan antar manusia dan menciptakan isolasi sosial yang mendalam.

Dalam fast culture, kecepatan tidak selalu sama dengan efisiensi. Kita sering terobsesi pada kecepatan yang ternyata kontraproduktif. Seperti bekerja terlalu cepat, ternyata menyebabkan kesalahan dan mengurangi kualitas hasil, membuat keputusan dengan terburu-buru, ternyata malah mengarahkan kita pada pilihan yang buruk.

Fast culture sering juga bertentangan dengan ritme hidup manusia, seperti kebutuhan untuk istirahat, merenung, atau menikmati momen tenang. Kita sering kali tidak menyadari bahwa alam itu memiliki ritmenya sendiri yang tidak bisa kita paksakan.

Munculnya budaya fast culture terdorong oleh kapitalisme dan konsumerisme yang menuntut orang untuk terus-menerus bekerja, membeli, dan mengejar status. Dari sini mengakibatkan kita menjadi terjebak dalam siklus kerja-belanja yang tidak memuaskan. Lingkungan juga menderita akibat konsumsi yang berlebihan. Kita sering tanpa sadar mempromosikan gaya hidup model fast culture yang ternyata merugikan secara sosial, emosional, ekonomi, dan ekologis.

Fast culture dapat membuat kita kehilangan kesadaran penuh (mindfulness). Kita sering kali mengabaikan momen-momen kecil yang bermakna, menjadikan hidup autopilot, terus bergerak tanpa mempertanyakan arah atau tujuan, sehingga menjauhkan kita dari kesadaran penuh dalam kehidupan sehari-hari, serta mengurangi rasa syukur dan kebahagiaan.

Dari kritik-kritik Honore tersebut, muncul istilah hustle culture yaitu sebuah pola pikir dan gaya hidup yang mendorong kita untuk bekerja keras secara terus-menerus yang tidak memedulikan batasan waktu atau keseimbangan hidup. Hustle culture mengagungkan kerja keras yang berlebihan sebagai sesuatu yang ideal atau bahkan sebagai kewajiban.

Ciri-ciri dari hustle culture di antaranya membuat kita bekerja tanpa henti, mengutamakan produktivitas yang sebagai ukuran utama keberhasilan seseorang (toxic produktivity), glorifikasi kelelahan, serta minimnya keseimbangan hidup yang diabaikan demi pekerjaan atau karier.

Solusi dari Fast Culture: Slow Living

Slow living merupakan filosofi hidup yang menekankan pentingnya memperlambat ritme kehidupan untuk menikmati momen, mendalami pengalaman, serta menghargai kualitas daripada kuantitas dalam segala aspek kehidupan.

Bagi Honore, slow bukan tentang melakukan segala sesuatu dengan kecepatan lambat, tetapi berusaha melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat, menikmati jam dan menit daripada sekadar menghitung waktu. Slow dalam arti melakukan sesuatu sebaik mungkin bukan secepat mungkin. Slow living menekankan pada kualitas daripada kuantitas dalam segala hal, mulai dari pekerjaan, makanan, hingga mengasuh anak.

Agar tidak keliru, Honore menekankan miskonsepsi terhadap slow living, yakni bahwa slow living bukan berarti boleh bermalas-malasan, tetapi mendorong kita untuk mengalokasikan waktu secara efektif dan fokus dengan apa yang sedang dikerjakan saat ini. Slow living bukan berarti boleh menunda-nunda pekerjaan, tetapi cara hidup di mana kita tahu cara mengatur prioritas dan menentukan mana yang paling penting untuk diselesaikan lebih dulu. Slow living tidak hanya cocok bagi yang tinggal di desa, namun semua orang bisa memperoleh manfaatnya baik yang tinggal di desa maupun kota.

Prinsip-Prinsip Slow Living

Bagi Honore, memperlambat langkah memiliki manfaat besar untuk mendapatkan kembali waktu dan ketenangan serta membuat koneksi yang bermakna baik dengan orang orang lain, budaya, pekerjaan, alam tubuh hingga pikiran kita sendiri. Baginya, bersikap lambat sama dengan mengendalikan ritme hidup sendiri. Kita dapat memutuskan seberapa cepat harus melangkah dalam konteks apa pun, karena yang harus diperjuangkan adalah hak untuk menentukan tempo sendiri.

Prinsip dari slow living adalah, pertama, kesadaran (mindfulness). Hidup secara sadar untuk menyadari diri. Kedua, keseimbangan (balance), tidak hanya fokus pada kesehatan fisik tetapi lupa kebutuhan batin maupun sebaiknya. Ketiga, kualitas diatas kuantitas. Kuantitas sebagai pendukung kualitas, maka sebaiknya kita fokus pada kualitas. Keempat, menghargai proses bukan hanya hasil. Tidak ada yang instan, apa pun itu selalu ada prosesnya. Kelima, ritme alami (nature rhythms), yakni memahami ritme hidup.

Keenam, kesederhanaan (simplicity), dalam arti tidak memasukkan atau melibatkan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan diri kita yang dapat membuat ruwet. Ketujuh, keberlanjutan (sustainability) dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem, kesehatan, dan lain sebagainya. Kedelapan, mengontrol waktu bukan dikontrol waktu. Diri kita adalah subjek, dan waktu adalah objek. Kesembilan, fleksibilitas, luwes dan tidak kaku. Kesepuluh, menghargai individualitas. Setiap orang berbeda-beda dan tidak harus membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Gaya Hidup Slow Living

  • Slow Food

Gaya hidup dalam melawan budaya fast food yakni dengan slow food. Slow food mendorong kita untuk kembali menikmati makanan sebagai ritual yang penuh perhatian, melibatkan bahan berkualitas, waktu memasak, dan kebersamaan saat menyantapnya. Dalam slow food juga berarti menghargai makanan dengan perlahan, meluangkan waktu untuk memasak makanan sendiri dari bahan-bahan segar. Proses ini menjadi bagian penting dari pengalaman, bukan sekadar tugas memasak.

Dalam slow food mendorong kita untuk memilih bahan makanan lokal dan berkelanjutan, organik, dan musiman. Hal ini juga menjadi bentuk dukungan kepada petani dan produsen lokal. Slow food juga berarti menikmati makan dengan perlahan. Ketika makan dengan penuh perhatian, menikmati setiap rasa dan aroma makanan. Makan dalam slow food sebagai aktivitas sosial, seperti makan bersama sebagai cara untuk mempererat hubungan sosial dalam keluarga maupun komunitas. Slow food menghargai tradisi kuliner, menikmati makanan dengan keberagaman tradisi kuliner.

  • Slow Travel

Menerapkan slow travel berarti fokus pada proses bukan hanya tujuan. Slow travel yakni menikmati proses perjalanan, baik melalui pemandangan, interaksi dengan orang lain atau momen refleksi di sepanjang jalan. Dalam slow travel berarti menghindari ketergesaan dan stres dengan cara menikmati perjalanan tanpa terburu-buru, sehingga pengalaman menjadi lebih santai dan memuaskan.

Slow travel tentunya lebih dengan menghargai lingkungan, yakni memilih transportasi yang lebih lambat dan ramah lingkungan seperti sepeda dan berjalan kaki. Dari sini kita akan dapat lebih bebas dan spontanitas; bebas eksplorasi dan menemukan hal-hal tak terduga di sepanjang perjalanan.

Slow travel menumbuhkan refleksi dan kesadaran. Memberikan waktu untuk refleksi dan kesadaran diri dengan merenungkan pengalaman, menikmati keindahan alam tanpa gangguan teknologi atau tekanan waktu. Dengan slow travel dapat mendukung ekonomi lokal; menghabiskan lebih banyak waktu di suatu tempat untuk mendukung bisnis lokal.

  • Slow Parenting

Bentuk dari slow parenting dengan mengurangi jadwal yang berlebihan. Anak-anak tidak membutuhkan jadwal yang penuh setiap hari, tetapi lebih butuh waktu luang untuk bermain bebas, bermimpi, dan mengeksplorasi dunia dengan caranya sendiri. Slow parenting berarti memberi kebebasan kepada anak; memberikan anak-anak kebebasan untuk belajar dari pengalamannya sendiri, termasuk ketika membuat kesalahan. Kebebasan ini membantu anak merasa dihargai dan dipercaya untuk menjalani hidup mereka sendiri.

Slow parenting menghargai ritme alami anak. Beri waktu anak-anak untuk berkembang dan tumbuh sesuai ritme mereka sendiri. Slow parenting juga fokus pada hubungan daripada prestasi. Anak-anak membutuhkan waktu berkualitas bersama orang tua tanpa gangguan teknologi atau tekanan eksternal. Slow parenting berarti juga menikmati momen kecil dengan anak-anak seperti bermain, berbicara, atau membaca bersama tanpa gangguan atau ketergesaan.

Memulai Hidup Slow Living

Bagaimana cara untuk memulai hidup secara slow living? Pertama, breathe (bernapas dalam-dalam). Breathe berarti mengembalikan oksigen ke dalam tubuh, guna memperlambat detak jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kedua, speed audit (berhenti sejenak), bertanya kepada diri sendiri apakah terlalu cepat? Jika merasa lebih cepat, kembali ke tugas dengan tempo yang normal. Ketiga, downsize your calendar, yakni melihat jadwal dan memilih aktivitas terjadwal yang paling tidak penting dan tinggalkan.

Keempat, schedule unscheduled time, yakni menyisihkan beberapa jam dalam seminggu tanpa rencana apa pun sebelumnya. Kelima, set aside more in. Jika biasanya menjadwalkan waktu lebih cepat untuk berpindah ke aktivitas lainnya, sekarang jadwalkan waktu lebih lambat sebagai gantinya. Keenam, unplug. Memilih waktu untuk mematikan semua gawai, misal dua jam setiap harinya. Terakhir, find a slow ritual, yakni menemukan ritual lambat yang berfungsi sebagai rem pribadi, seperti berkebun, membaca, memasak, merajut, dan lain sejenisnya.

Referensi:

Ngaji Filsafat 452: Carl Honore – Slow Living, edisi Membangun Ketenangan Diri, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag, bertempat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, pada Rabu 27 November 2024.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Qoyyimah Sofiati

Mahasiswi Psikologi, Univ. Proklamasi 45 Yogyakarta