Slamet, Frankl, dan Tiga Jalan Makna

19 Januari 2018
|
1365

Dia berusia 44 tahun. Dan dia lumpuh. Lumpuh seluruh tubuh. Slamet, nama lelaki itu, seakan mengisyaratkan ironi belaka. Bukan sekadar ironi yang netral, melainkan ironi yang getir dan satir. Ironi yang ngenyek. Bertentangan dengan makna namanya, Slamet bukanlah lelaki yang selamat secara jasmani. Ketika masih kelas enam sekolah dasar, Slamet tiba-tiba terserang lumpuh seluruh tubuh. Dokter gagal mendiagnosis penyebab kelumpuhan. Juga gagal mengobatinya. Karena itulah, Slamet barangkali terpaksa menghayati penyakit dan cacatnya sebagai sesuatu yang given, tak terelakkan, dan tak terlawan. Tak dapat di-edit, apalagi dihapus. Satu-satunya sikap yang rasional bagi Slamet dalam menghadapi kenyataan kelam tersebut adalah menerima. Tidak ada jalan lain. Di samping pilihan sadar, tentu sikap ini juga merupakan kondisi hati yang diperjuangkan. Tidak jatuh dari langit begitu saja. Semenjak mengalami lumpuh lebih dari 30 tahun lampau, Slamet hanya mampu berbaring pasrah di atas dipan. Dia menggunakan selang untuk buang air kecil. Untuk buang air besar, dia biasanya dibantu Redi Utomo, ayahnya yang tabah, sabar, dan telaten. Ibunya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Sekarang Slamet tinggal hanya dengan Mbah Redi. Sebenarnya Slamet punya beberapa saudara. Tapi mereka memilih hidup di perantauan. Dalam kondisi semenderita itu, apakah Slamet bersedih? Mungkin mulanya demikian. Tapi kini tidak lagi. Slamet tampak bahagia. Dia tersenyum cerah, setelah diberi kitab suci al-Quran dari pejabat kecamatan yang mengunjunginya. Sejak sebelum lumpuh, Slamet memang rajin mengaji. Rajin puasa, baik wajib maupun sunah. Dan rajin salat. Salat wajib tidak pernah tertinggal. Slamet adalah sosok penyintas yang rajin beribadah. Barangkali, dalam agama dan dengan beribadah, Slamet menemukan makna penderitaan yang puluhan tahun dialaminya. Barangkali pula, Slamet memahami kelumpuhannya sebagai perhatian istimewa yang diberikan Tuhan khusus untuknya. Kalau memang begitu perasaan yang memenuhi hatinya, Slamet justru pantas bernama Slamet. Meskipun jasmaninya tidak selamat, rohani Slamet ternyata selamat. Dan keselamatan rohani lebih hakiki ketimbang keselamatan jasmani. Jasmani fana sedangkan rohani kekal. Jasad pada saatnya akan hancur, lumat, dan melebur menjadi tanah kembali. Sementara itu, ruh tidak hancur bersama hancurnya jasad. Ruh akan pulang ke pangkuan pemiliknya. Sekali lagi, keselamatan ruh lebih utama dan lebih sejati daripada keselamatan jasad. Dengan demikian, kalau kita tilik secara mendalam, bagi Slamet, nama yang disandangnya bukanlah ironi, bukan pula satir. Nama itu dengan tepat mencerminkan hakikat kepribadian religiusnya. Bukan bahan tertawaan, namanya merupakan lambang keharuan spiritual yang dengan telak membungkam mulut kita, yang dengan halus membuat mata kita memanas dan mengalirkan air. Itulah Slamet, guru yang mengajarkan kepada kita ketabahan, kesabaran, penerimaan, juga harapan dan rasa syukur. Tidak dengan kata-kata hampa, klise, dan sarat pencitraan, tetapi dengan tindakan bermakna. Itulah Slamet, cahaya yang diam-diam menerangi kegelapan kita. Kalau Anda menyangka cerita Slamet hanyalah fiksi yang saya karang-karang, saya katakan setegas-tegasnya bahwa sangkaan Anda mutlak salah. Riwayat Slamet dan Mbah Redi adalah fakta, kisah hidup keseharian yang nyata-nyata terjadi. Rumah keluarga penyintas ini berlokasi di Dusun Kaliberot, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul (Tribun Jogja, Jumat Pon, 15/09/17). Potret kesintasan Slamet dan Mbah Redi tidak saya hadirkan dalam tulisan ini sebagai kisah motivasi. Mereka yang dirundung kegagalan berulang kali walaupun telah berjuang berulang kali pula, biasanya menyikapi setiap kisah motivasi secara sinis dan apatis. Konteks kehidupan setiap manusia berbeda. Level dan bentuk ujiannya pun berbeda. Kesintasan Slamet tidak bisa begitu saja ditularkan. Orang lain yang ditimpa musibah berbeda tidak bisa dengan mudah dan instan meng-copy paste success story yang dialami Slamet. Mengabaikan unsur motivasional yang terkandung di dalamnya, kita lebih baik memandang kisah Slamet sebagai isyarat kehidupan bermakna. Kehidupan yang absurd ini tidak terhampar sebagai keisengan belaka. Hidup tidak tegak dengan bertopang pada prinsip permainan. Memakai kembali ungkapan filsafat Yunani kuno, hidup ternyata bersifat teleologis. Namun demikian, dalam logika teleologis kehidupan, terdapat sebuah coincindentia oppositerum yang tak terjangkau nalar. Dalam batas-batas takdir yang melingkupinya, manusia dianugerahi kebebasan untuk memilih dan bertindak. Pada diri manusia, ada potensi malaikatiah, tetapi juga ada potensi setaniah. Artinya, manusia diberi kesempatan untuk memilih menjadi seperti malaikat ataukah menjadi seperti setan. Teleologika kehidupan dimetaforakan dengan air. Ibarat air yang mengalir dari dataran tertinggi hingga dataran terendah, hidup yang kita jalani ini memiliki kepala air dan kaki air. Nun jauh di belakang sana, dari mana kita mulai berjalan, ada mudik. Nun jauh di dapan sana, ke arah mana kita berjalan, ada muara. Hidup bukan tak bertentu tuju. Hidup ada alasannya, juga ada tujuannya. Hidup itu bermakna. Inilah kiranya asumsi paling mendasar dalam filsafat sangkan parananing dumadi. Pandangan kosmo-antropologis Jawa ini, yang antara lain berakar pada doktrin tasawuf, merupakan bagian dari filsafat perenial yang malampaui batasan ruang, waktu, budaya, agama, ras, dan teritorial. Ajaran hidup bermakna boleh dikatakan sebagai kawruh yang universal. Dengan corak dan nuansa yang beragam, kita menemukannya baik dalam perdaban Timur maupun Barat. Mengapa ajaran hidup bermakna menjadi fenomena universal? Jawabannya terletak pada kodrat alamiah manusia. Viktor Frankl, perintis logoterapi, menyatakan bahwa secara kodrati setiap manusia ingin hidupnya bermakna. Manusia memiliki kehendak kuat untuk menemukan makna kehidupan (the will to meaning). Hasrat untuk mereguk kenikmatan (the will to pleasure) yang diteorikan Freud dan ambisi untuk meraih kekuasaan (the will to power) yang diteorikan Adler sebetulnya merupakan simtom dari kegagalan manusia menemukan makna kehidupan. Saat merasakan bahwa hidupnya tak bermakna lagi, baik secara disadari maupun tidak disadari, manusia akan memburu kebahagiaan palsu yang fana, terutama dengan dua jalan. Pertama, menenggalamkan diri dalam lumpur busuk kenikmatan libidinal, dengan obat-obatan terlarang dan kekerasan sebagai hiasannya. Kedua, menerjunkan diri dalam banalitas kejahatan politik sehari-hari untuk menjadi semacam dewa demi menutupi ketidakberdayaan pribadi. Itulah dua, dari sekian ciri, manusia yang mengalami kehampaan eksistensi (vacuum of existence). Dia melampiaskan kejenuhan, kemuakan, dan kelelahan batinnya dalam berbagai tindakan yang, dari segi kemanusiaan, sedikit pun tidak bermakna. Dia gagal menemukan makna hidup yang sejati: rahasia yang tersembunyi jauh di balik lapis permukaan fenomena. Puncak dari kegagalan dalam menemukan makna adalah meluapnya keinginan untuk bunuh diri. Bila hidup tak lagi bermakna, diri tak lagi berharga, berguna, dan berada, masih tersisakah alasan untuk melanjutkan kehidupan yang kosong ini? Bila seluruh jangkar eksistensial sudah hancur dihantamkan ombak cobaan hidup pada karang penderitaan, apakah lagi yang dapat dilakukan bahtera kehidupan kecuali mengaramkan dan menenggelamkan diri dalam lautan keputus-asaan secara sukarela? Barangkali, hal inilah yang menggelisahkan Camus sehingga dia bertanya-tanya keheranan: Mengapa manusia tidak bunuh diri? Bukan hanya Camus, Frankl pun mengajukan pertanyaan itu, khususnya kepada sejumlah kliennya. Ketika berada dalam kamp konsentrasi Nazi bersama para pesakitan Yahudi lain, Frankl heran. Dalam kamp konsentrasi, para Yahudi mendapat siksaan yang amat tak manusiawi dan merasakan penderitaan yang berpotensi menggelincirkan mereka ke dalam jurang neraka keputus-asaan. Tapi, mengapa sebagian dari mereka tidak bunuh diri dengan membakar tubuhnya pada kawat berduri bertegangan listrik tinggi yang memagari kawasan kamp konsentrasi? Bahkan, mengapa di antara mereka muncul manusia-manusia berjiwa santo yang menolong sesamanya dengan penuh kasih walaupun kondisinya sendiri amat perlu dikasihi? Jawaban para ÔÇ£santoÔÇØ itu sederhana tetapi menggetarkan. Sebagian pesakitan tidak bunuh diri karena ingat dengan orang-orang yang mencintai dan dicintai yang masih hidup bebas di luar kamp konsentrasi. Sebagian yang lain memahami bahwa penderitaan yang kini dirasakan menyembunyikan makna luhur pada dimensi kehidupan yang lebih tinggi. Ada pula yang mendengar panggilan suci untuk menolong sesama sebagai tindakan pelayanan. Singkatnya, mereka menemukan makna dalam penderitaan (meaning in suffering), sebagaimana Pangeran Siddharta yang dalam penderitaannya menemukan kapak suci untuk memutus rantai karma yang mengekang langkah kaki manusia menuju nirwana. Karena itulah, mereka tak hendak bunuh diri. Penderitaan, kesakitan, bencana, musibah, cobaan, ujian, dan entah apa lagi sebutannya, justru menjadi jalan bagi mereka untuk lahir kembali sebagai manusia bermakna. Lakon kehidupan yang mereka jalani seperti hikayat Yesus Kristiani yang menenggak anggur makna kehidupan dalam penyalibannya. Dengan ungkapan yang padat dan indahÔÇötentu sajaÔÇöpenyair Chairil Anwar memotret paradoks eksistensial manusia ini dalam puisinya yang berjudul Isa.
Isa kepada nasrani sejati Itu Tubuh mengucur darah mengucur darah rubuh patah mendampar tanya: aku salah? kulihat Tubuh mengucur darah aku berkaca dalam darah terbayang terang di mata masa bertukar rupa ini segera mengatup luka aku bersuka Itu Tubuh mengucur darah mengucur darah
Setelah dalam-dalam merenungkan kasunyataan penderitaan manusia, khususnya penderitaan manusia Yahudi yang dinistakan dalam kamp konsentrasi Nazi, Frankl melihat bahwa ada tiga jalan untuk mencapai makna hidup. Tiga jalan ini agaknya sejajar dengan tiga dimensi konsentris psikologi manusia dalam kacamata logoterapi: dimensi somatis, dimensi psikis, dan dimensi spiritual (noetik). Spiritualitas terletak di pusat lingkaran, psike di lapis pertengahan, dan tubuh-yang-bertindak di lapis permukaan. Jalan kreatif Jalan makna pertama adalah creative values. Manusia menemukan makna dalam bekerja dan berkarya. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa tidak semua manusia yang bekerja dan berkarya merasa hidupnya bermakna. Penduduk urban yang hanyut dalam arus gaya hidup modern justru merasakan kegersangan, kehampaan, dan katerasingan dalam pekerjaan. Mereka, meminjam formula verbal Marxian, teralienasi dari kerja dan karyanya sendiri. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa banyak penduduk Jepang, negara yang modern itu, bunuh diri karena pekerjaan. Di negeri industri itu, kaum workaholic seringkali ÔÇ£mengobatiÔÇØ secara instan gangguan jiwa akutnya dengan semacam panacea: bunuh diri. Bagi mereka, para manusia yang kehilangan makna hidup, siksaan dalam sistem neraka kerja hanya dapat disudahi dengan meniadakan eksistensi. Itu artinya, makna hidup tidak terkandung secara inheren dalam pekerjaan dan karya, tidak pula dalam waton bekerja dan berkarya. Makna hidup terletak pada sikap terhadap pekerjaan. Bila disikapi sebagai neraka, sebagai sekadar sarana untuk memuaskan keserakahan akan harta, tentulah bekerja menjadi tidak bermakna. Siklus kerja keseharian akan tampak absurd. Al-Ghazali, dalam Ihya ÔÇÿUlumiddin, menerangkannya secara jenaka. Pada siang hari, kita bekerja untuk makan sedangkan pada malam hari, kita makan untuk berkerja. Kita makan untuk bekerja dan bekerja untuk makan. Tanpa disadari, bagaikan roda yang menggelinding tak tentu arah, siklus kehampaan rohani ini berputar terus tanpa pernah sampai di garis finis. Hidup kita pun seakan sungai yang tak memiliki muaranya, juga tak punya mudiknya. Lali sangkan paran, kata orang Jawa. Sebaliknya, bila menghayati kerja sebagai darma, pelayanan, kebaktian, pemberian, persembahan, atau ibadah, kita akan merasakan kepuasan batin sebagai tanda hidup bermakna. Bekerja menjadi ke-giat-an kesenian yang sakral, lagipula tidak menyimpang dari garis besar haluan kemanusiaan. Hasil kerja itu, bagaimana pun wujudnya, menjadi karya seni yang dengan sendirinya bernilai adiluhung. Pada akhir ÔÇ£upacara seniÔÇØ-nya, ÔÇ£sangÔÇØ pekerja menyatakan, ÔÇ£lihatlah, ada aku dalam karyakuÔÇØ. Bahkan, boleh jadi dia akan berkata lebih tegas, ÔÇ£karyaku adalah akuÔÇØ. Atau, kebanggaan, kepuasaan, dan kebermaknaan itu akan dia ekspresikan dengan memelesetkan peribahasa Cartesian: aku berkarya, maka aku ada. Kerja-bermakna seperti itu dijelaskan Gibran dengan ungkapan yang puitis. ÔÇ£Kerja,ÔÇØ kata sastrawan romantik Lebanon tersebut, ÔÇ£adalah cinta yang menjadi nyata.ÔÇØ Walaupun relatif imajinatif, ungkapan Gibran sebenarnya masih cukup abstrak. Untuk menerangkannya dengan cara yang lebih sederhana, dalam Sang Nabi, dia menulis rangkaian alinea metaforikal tentang kerja-bermakna sebagai cahaya yang memancar dari api cinta. Tapi, bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu? Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan mengenakannya nanti. Bagaimana pula membangun rumah dengan penuh kasih sayang? Yaitu dengan merasa seolah-olah kekasihmu akan mendiaminya di masa depan. Dan seperti apa pula menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan? Yaitu jika kalian mampu merasakan bahwa kekasihmu yang akan menyantap buah-buahan itu. Dengan terlibat sepenuh hati dalam kerja-bermakna, perasaan hampa akan menjauh. Melalui kerja-bermakna, kita merasa ada dan hadir. Ketika karyaku bermanfaat bagi orang lain, sesepele apa pun karya itu dan sekecil apa pun manfaatnya, aku merasa bahwa hidupku ini berharga dan tidak sia-sia. Dan perasaan bermakna akan memenuhi ruang hati manakala karya kita melahirkan senyum tulus orang lain. Karya yang berpangkal dan berujung pada ketulusan ini tidak bisa diperjualbelikan. Tidak ada harga yang sepadan dengannya. Itulah ungkapan seni adiluhung yang bersumber dari hati yang memberi. Jika melalui kerja dan karyaku hidupku menjadi berharga, pikiran putus asa menguap dan lenyap seperti menguap dan lenyapnya embun pagi seiring matahari merangkak tinggi. Kerja-bermakna memang jalan untuk menemukan makna hidup. Jalan penghayatan nilai luhur Jalan makna kedua adalah experiential values: penghayatan, yang tidak setengah hati, akan nilai-nilai luhur. Cinta merupakan nilai luhur yang paling menggetarkan dan tak pernah kehilangan pesonanya. Andaikan bunga mawar, cinta adalah bunga mawar yang mengandung keindahan abadi. Andaikan minyak kesturi, cinta adalah minyak kesturi yang wanginya tidak pernah meninggalkan hidungmu. Namun demikian, kita pun harus ingat bahwa cinta tidak diperoleh secara cuma-cuma. Bunga mawar terletak pada tangkainya yang berduri. Hanya setelah menjalani pendakian yang payah, kita mencapai puncak gunung, dari mana mata memandang indahnya panorama pegunungan dengan hati yang puas dan damai. Hakikat cinta bukanlah hasil dari perjuangan, melainkan proses perjuangan itu sendiri. Dalam proses itulah tersembunyi makna kehidupan. Bukankah perjuangan cinta Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, dan Roro Mendut-Pronocitro yang gagal itu terekam abadi dalam ingatan sejarah romantika umat manusia? Kali ini saya kutip pesan Gibran tentang cinta, sebuah pesan perenial yang tidak terkesan klise walaupun sudah familiar.
Apabila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya meskipun jalan yang akan kau tempuh terjal dan berliku. Dan apabila sayap-sayapnya merengkuhmu, pasrahlah serta menyerahlah, meskipun pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu. Dan jika dia berbicara kepadamu, percayalah, walaupun ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara memporak-porandakan pertamanan. Sebagaimana ia memahkotaimu, cinta juga akan menyalibmu.  . Demikianlah sifat cinta kepada diri manusia, supaya kalian pahami rahasia hati. Dan kesadaran itu akan menjadikan kalian sebagai hati kehidupan.
Sayangnya, betapa banyak orang yang tidak menyadari sifat cinta itu. Mereka menyangka cinta sebagai semata-mata hasil, berupa kenikmatan yang dihasrati dan mesti diraih dengan cara apa pun. Karena itu, tanpa berpikir panjang, mereka menempuh jalan pintas untuk mendapatkan siapa atau apa yang dicintainya. Dan ÔÇ£objekÔÇØ cinta yang mereka rindu dendami itu senantiasa, sedikit ataupun banyak, sebagian ataupun keseluruhan, bersifat ragawi. Misalnya, mereka berpikir bahwa cinta ditemukan dalam pemuasaan nafsu seksual. Padahal, ketika nafsu seksual itu dituruti, kepuasan yang dikejar gagal ditangkap, justru berlari semakin menjauh. Yang mereka peroleh adalah bertambah dalamnya liang kehampaan hidup. Separoh awal sajak Ragil Suwarna Pragolapati ini, penyair yang sungguh-sungguh terlibat dalam pencarian makna hidup, tampaknya memotret cinta libidinal yang hanya membuahkan kehampaan, juga kehauasan.
Warna Dasar Persenyawaan Cinta Betapapun engkau merapat-rapat di sisiku, yakin masih tidak dapat meneduhkan gelora tualang lelaki liar Jangan coba-coba jerat lelaki dengan cumbu tubuh, pesona kalimat bergula. Tiap lelaki adalah Sang Adam dari zaman ke zaman senantiasa berdendam Tuhan telah mematahkan rusuknya diamdiam kemudian mengusirnya dari Surga Purbani gara-gara Siti Hawa bermabuk buah Birahi Adam pun dikutuk jadi pengembara kekal tiada pernah puas hanya dengan satu wanita Bertualang pergi-datang, singgah dan hilang dari perempuan ke perempuan: haus dan lapar mencari bilah ke-sebelas-duabelas rusuknya yang hilang. Dia menikmati berjuta orgasme tetapi mustahil puas oleh wanita dan bidadari Dialah Adam, sang kuda jantan di padang sunyi yang lapar, selalu mau makan dan ingin menang yang haus, selalu mau minum dan amat pembosan   
Lalu, bila ternyata cinta ragawi bukanlah kunci untuk membuka pintu rumah makna, dengan cinta seperti apa kita menemukan makna hidup? Pertanyaan ini, yang pastilah telah menggelisahkan kaum arifin sepanjang sejarah, dapat dijawab dengan uraian yang panjang lebar, dengan menyertakan setumpuk catatan kaki dan sederet referensi. Tapi, uraian diskursif seringkali gagal merangsang imajinasi, menjamah hati, dan mendorong lahirnya tindakan nyata. Karena itu, kita butuh puisi, lebih-lebih dalam memahami dan mengungkapkan hakikat cinta. Apa yang diuraikan prosa dengan panjang lebar, kering, dan membosankan, dinyatakan oleh puisi dengan ringkas, padat, dan imajinatif. Dengan cara itulah puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini menyingkapkan satu dari sekian dimensi cinta.
Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta /1/ mencintai angin harus menjadi siut mencintai air harus menjadi ricik mencintai gunung harus menjadi terjal mencintai api harus menjadi jilat /2/ mencintai cakrawala harus menebas jarak /3/ mencintai-Mu harus menjelma aku
Pada sajak dengan kombinasi alur spiral dan memuncak itu, cinta profan ditafsirkan sebagai gema dari cinta sakral. Sadar atau tidak, cinta sepasang manusia merupakan bayang-bayang cinta Ilahiah. Sang Maha Cinta, al-Rahman, mencintai manusia melalui manusia. Demikian pula sebaliknya, manusia mencintai-Nya melalui manusia lain. Timbul pertanyaan pelik: Siapakah yang mencintai Siapa? Sapardi benar, mencintai-Mu ternyata memang harus menjelma aku. ÔÇ£AkuÔÇØ di sini tiada lain kecuali seruling bambu yang karena tiupan napas al-Rahman bunyinya terdengar merdu di telinga kekasih. Kasunyatan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam cinta, ada keterhubungan misterius antara kemanusiaan dan ketuhanan. Bila merenungkan keterhubungan misterius ini lebih jauh dan lebih dalam, tergodalah kita untuk meyakini hukum alam keseimbangan cinta: semakin tinggi cinta ilahiah, semakin tinggi pula rasa kemanusiaan; sebaliknya, rasa kemanusiaan yang rendah merupakan gejala dari cinta ilahiah yang juga rendah. Adalah pendusta, siapa pun yang mengaku-aku mencintai-Nya tetapi tidak menghargai eksistensi manusia lain. Adalah kekasih-rahasia, siapa pun yang menunjukkan tindakan empatis terhadap sesama manusia sekalipun dia jarang menziarahi rumah ibadah. Al-Quran menyebut kekasih-rahasia ini sebagai ulul albab. Dialah manusia yang dengan mata hatinya melihat misteri di balik fenomena lapis permukaan sehingga menemukan makna hidup. ÔÇ£Duhai Tuhan kami,ÔÇØ demikian dia bermunajat, ÔÇ£tidaklah Engkau menciptakan ini semua secara sia-sia. Maha Suci Engkau dari kesimpulan sesat akalku yang bodoh. Lindungilah kami dari siksa neraka kehampaan eksistensi.ÔÇØ Begitulah, dengan menghayati cinta, salah satu nilai luhur yang diagungkan dalam kebudayaan dan agama apa pun, manusia menemukan makna hidup. Jalan bersikap waras Jalan makna ketiga adalah attitudinal values. Meskipun tidak kuasa meng-edit apa yang sudah dan sedang terjadi, manusia berpeluang besar menemukan makna dengan menyikapi kenyataan secara positif. Masa lalu sudah menjadi sejarah, betapa pun emasnya. Masa depan adalah harapan, betapa pun tipisnya. Dan masa sekarang adalah anugerah, betapa pun gelapnya. Hingga batas tertentu, manusia adalah makhluk yang berkehendak dan bebas. Dia bebas memilih sikap apa pun terhadap tantangan kenyataan. Dalam penderitaan misalnya, dia bebas memilih untuk menjadi malaikat atau setan. Dia bebas untuk memilih menjadi saint atau swine. Dia bebas untuk memilih bunuh diri atau memenuhi undangan hidup bermakna yang datang dari jiwa kehidupan. Dalam penderitaan, manusia bebas untuk memilih satu di antara dua opsi. Pertama, memilih untuk terus-menerus menderita. Klimaks tragis dari pilihan ini adalah bunuh diri. Kedua, memilih untuk menemukan makna hidup dalam penderitaan (meaning in suffering). Slamet, lelaki Bantul yang lumpuh selama lebih dari 30 tahun itu, mengambil pilihan kedua. Inilah yang membuat hati kita tergetar. Kita merasakan getaran hati yang mirip manakala merenungi biografi spiritual para nabi. Semua nabi, juga semua orang suci, dicoba dengan penderitaan tingkat tinggi yang tak tertanggungkan kaum awam. Adalah mukjizat tersendiri bahwa dalam penderitaan, mereka justru menemukan tujuan hidup sejati. Bukan hanya melihat pelita dalam kegelapan jalan yang sedang ditempuh, mareka bahkan menjadi pelita dalam kegelapan itu. Bagaikan the philosopher stone yang mengubah batu menjadi emas, penderitaan hidup mentransformasikan mereka, yang adalah manusia juga seperti halnya kita, menjadi cahaya. Biografi spiritual para nabi selalu menggambarkan proses transformasi ini. Contoh yang paling terang adalah biografi spiritual Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub. Setelah menyimak hikayat Nabi Yusuf, kita terbentur sebuah pertanyaan yang menggelisahkan tetapi tak terelakkan: Bila roda kehidupan ini menggelinding di atas garis keadilan, apa kesalahan Yusuf kecil yang bersih hati itu sehingga dia hendak dibunuh para saudaranya sendiri, walaupun pada akhirnya dia ÔÇ£hanyaÔÇØ dicemplungkan ke dalam sumur gelap? Puluhan tahun dia dipisahkan dari ayah tercinta. Entah barapa tahun dia hidup terhina sebagai budak. Entah berapa tahun pula dia dipenjara. Apakah semua itu hukuman untuk menebus kesalahannya? Kita tak mendapatkan jawaban yang meyakinkan dari seluruh pertanyaan yang bertolak dari logika keadilan tersebut. Yang kita tahu pasti hanyalah bahwa Nabi Yusuf, sebagaimana diteladani Slamet, sepenuhnya menerima penderitaan sebagai takdir yang given. Sikap sumarah merupakan gapura melalui mana Baginda Yusuf memasuki kampung kehidupan bermakna. Sebenarnya, kehidupan bermakna itulah takwil dari mimpi sang nabi yang merupakan inti narasi biografi spiritualnya. Karena rundungan penderitaan yang dialaminya secara bertubi-tubi, Baginda Yusuf akhirnya bertransformasi menjadi cahaya gilang-gemilang yang didampingi matahari dan rembulan, yang ÔÇ£disujudiÔÇØ bintang-bintang. Mukjizat ini demikian menggetarkan hati sehingga perlu dicatat dalam kitab suci. Mukjizat rohani Nabi Ayyub juga amat menggetarkan hati. Khazanah hadis dan tafsir menjelaskan bahwa penderitaan yang dialami Baginda Ayyub sama sekali bukan hukuman untuk menebus kesalahan. Sakit yang diderita sang nabi selama puluhan tahun berasal dari setan. Dengan sakit itu, musuh hakiki manusia ini bermaksud menunjukkan kepada Tuhan ketidak-ikhlasan Baginda Ayyub dalam laku sembah. Tapi, setan gagal. Keikhlasan sang nabi seperti batu karang yang tak goyah, apalagi hancur remuk, karena sekadar hantaman ombak. Dalam biografi spiritual Baginda Ayyub ini, logika keadilan tidak berlaku. Hikayat rohaninya tidak memberikan kita tugas untuk menghakimi siapa yang benar dan siapa pula yang salah. Kita sedang berurusan dengan dimensi yang lebih tinggi daripada keadilan: cinta. Cinta adalah daerah liminal. Dalam cinta, dinding yang memisahkan kebenaran dan kesalahan roboh. Cinta adalah maaf yang tak peduli dengan sebesar apa pun kesalahan kekasih. Cinta adalah pengorbanan dengan melepaskan kebenaran individual demi harmoni bersama. Karena cinta, saat mengalami sakit, Baginda Ayyub tidak membaca tindakan Tuhan dengan kacamata keadilan dari sudut pandang manusia yang sarat kebodohan dan keakuan. Tidak ditanyakan, tidak juga diusut, apalagi disimpulkan, apakah Tuhan yang salah dan akulah yang benar. Sakit Baginda Ayyub adalah derita cinta yang melampaui ukuran benar-salah. Derita cinta tidak kenal gugatan. Hanya satu yang diundang derita cinta: sikap sumarah. Keridaan, ketabahan, dan kesabarannya dalam derita sakit, adalah bukti cintanya yang tulus kepada Sang Kekasih. Mengagumkan sekaligus mengherankan: selain merupakan fasilitas surgawi untuk menemukan makna hidup dan menghayati hidup bermakna, penderitaan juga dianugerahkan sebagai argumentasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Itu artinya, kalau kita ingin tahu sejauh mana ketulusan cinta seseorang, perhatikanlah seberapa hebat penderitaan yang dialaminya karena cinta itu, juga seberapa kuat dia menanggung penderitaan itu demi kekasihnya. Benar apa yang berulang kali dikatakan Maulana Rumi: cinta adalah api yang membakar. ÔÇ£Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,ÔÇØ tulis Sapardi dalam salah satu puisi popnya ÔÇ£dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.ÔÇØ Api cinta membakar kayu ke-aku-an hingga jadi abu, bahkan hingga jadi tiada. Biografi spiritual Nabi Ayyub, yang mempertemukan penderitaan, makna hidup, dan cinta, mengaburkan batas kategorial dalam logoterapi yang memisahkan experiential values dan attitudinal values. Dua jalan makna ini saling berkait dan saling tunjang. Sikap terhadap penderitaan ditentukan oleh nilai luhur yang dihayati. Sebaliknya, nilai luhur yang dihayati menuntun kita untuk mengambil sikap yang cerdas, sikap yang berorientasi pada hari esok, dalam menghadapi penderitaan. Karena teguh menghayati nilai cinta, Baginda Ayyub memilih untuk bersikap sumarah dalam sakit berkepanjangan yang dideritanya. Dan sikap sumarah ini, sebagaimana telah kita lihat, merupakan bukti cintanya yang tak terbantah. Apakah ke-sumarah-an Slamet dalam menghadapi kelumpuhannya selama puluhan tahun juga merupakan bukti cintanya kepada Sang Pengarang yang menulis cerita hidupnya? Apakah keridaan, ketabahan, dan kesabaran Slamet menunjukkan keikhlasannya dalam beribadah? Entahlah. Cinta, keikhlasan, dan rahasia adalah saudara kembar tiga serangkai. Meskipun secara teoretis dapat mendaftar tanda-tanda cinta, kita tidak pernah benar-benar mampu memverifikasi kehadiran cinta dalam hati orang lain dengan penyelidikan ilmiah semata-mata. Terhadap cinta orang lain, ÔÇ£akalÔÇØ hanya mampu menduga-duga keberadaannya. Boleh jadi, Slamet mencintai Dia. Boleh jadi pula tidak. Barangkali, Slamet ikhlas dalam laku sembah. Tapi, barangkali juga tidak. Namun demikian, apa pun yang bersemayam dalam dada Slamet, entah itu cinta atau bukan cinta, entah itu ikhlas atau bukan ikhlas, keridaan, ketabahan, dan kesabarannya selama ini dalam menghadapi kelumpuhan menjelaskan kepada kita, dengan jujur dan fasih, bahwa justru dalam penderitaan Slamet menemukan makna hidupnya. Bahkan, dia menemukan makna hidup itu dalam agama, jalan yang dibentangkan langit untuk mencapai tujuan kehidupan yang sejati. Slamet memang menggetarkan hati. Tidak dengan kata-kata yang bising dan hampa, Slamet adalah guru yang mengajarkan hikmah kepada kita dengan bahasa perbuatan, dengan bahasa diam. Dalam kegelapan realitas kebudayaan yang sekarang meliputi kita, Slamet adalah cahaya sunyi.   *) artikel ini kami tulis buat sanak kadang Masjid Jendral Sudirman (MJS) Yogyakarta, juga buat para pamong pengajian di masjid tersebut yang telah memberi kami entah berapa banyak kawruh.

Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lintang Noer Jati