Skeptisisme Pyrrho: Menunda Penilaian demi Kebahagiaan
Skeptisisme berasal dari kata dalam Bahasa Yunani ‘skepsis’ yang berarti bertanya atau melakukan investigasi. Tetapi sikap skeptis tidak muluk-muluk menggambarkan seorang yang melakukan investigasi, sebab nyaris semua orang pernah melakukannya. Investigasi skeptis secara khusus dibentuk oleh sikap kehati-hatian atas kemungkinan terjadinya kekeliruan atau tipuan. Hal ini adalah lawan dari kecenderungan kita yang terkadang mudah percaya dan gampang tertipu.
Pada catatan-catatannya yang dikumpulkan oleh Richard Belt dalam How to Keep An Open Mind, Sextus Empiricus, filsuf neo-Pyrrhonisme, mempertegas aspek penting lain dari skeptisisme bahwa skeptis bukan sekadar berhati-hati pada kemungkinan kekeliruan dan tipuan, tetapi juga “menahan diri dari segala reaksi yang ditimbulkan ketika melakukan investigasi”. Dengan kata lain, skeptisisme adalah pandangan untuk bersikap hati-hati dalam menilai segala sesuatu dengan melakukan suspension of judgement atau penangguhan penilaian (apochē). Sikap skeptis inilah yang kemudian disederhanakan dan dikenal sebagai sikap keragu-raguan.
Sikap skeptis terhadap informasi indra bagi filsuf Yunani kuno termasuk hal yang cukup meresahkan. Parmenides dan Plato sama-sama menyangkal nilai persepsi indrawi sebagai sumber utama kebenaran. Di sisi lain, para Sofis, terutama Protagoras dan Gorgias, cukup ambigu dalam menerima informasi indrawi dan menganggap persepsi sebagai sumber pengetahuan yang kontradiktif.
Pyrrho: Sang Penggagas Skeptisisme
Menurut Betrand Russel dalam A History of Western Philosophy, skeptisisme sebagai sebuah aliran filsafat pertama kali dikemukakan oleh Pyrrho (365-275 SM. Dia merupakan seorang tentara yang beberapa kali terlibat dalam ekspansi wilayah oleh Alexander agung. Pyrrho tidak menuliskan karya apa pun, karenanya sumber yang dapat kita andalkan untuk mengetahui kehidupan dan pemikirannya kebanyakan berasal dari muridnya, Timon (320-230 SM) dan dari sejarawan Yunani abad ke-3 SM, Antigonus of Carystus.
Ketika Pyrrho gagal menjadi seorang pelukis di kota kelahirannya Elis, Peloponnesia, dia memutuskan untuk menjadi murid Bryson, seorang filsuf mazhab Megarian dan karenanya beberapa filsuf mengklasifikasikan Pyrrho awal sebagai filsuf Megarian. Untuk mengetahui seperti apa ide-ide skeptisisme kuno, adalah penting untuk memahami posisi Pyrrho dalam sejarah skeptisisme dengan mempertimbangkan 2 alasan: Pertama, pendiri Skeptisisme Akademi, Arcesilaus (316-241 SM), banyak dipengaruhi oleh Pyrrho. Kedua, pendiri Skeptisisme Neo-Pyrrhonism, Aenesidemus, menganggap Pyrrho sebagai figur inspiratif.
Menurut kesaksian Timon, Pyrrho menganggap bahwa tidak ada pengetahuan yang dapat dicapai. Filsuf Yunani yang sudah terbiasa dengan corak berpikir deduktif cukup sulit memahami maksud Pyrrho dan muridnya itu. Bagi Pyrrho tidak ada prinsip baik induktif maupun deduktif yang dapat membantu kita menangkap realitas secara utuh apa adanya. Ini membuat kita, mau tak mau, harus membuktikan kebenaran sesuatu dengan sesuatu yang lain, semisal mencari kebenaran bahwa manisnya teh dari gula, kebenaran manisnya gula dari glukosa, dan seterusnya. Dengan begitu semua preposisi atau pernyataan kita tentang sesuatu sifatnya tidak mutlak dan sirkuler. Singkatnya tidak ada yang dapat dibuktikan benar.
Perlu digarisbawahi bahwa Pyrrho bukan hanya meragukan informasi-informasi indrawi tetapi juga meragukan kapabilitas rasio kita dalam mengetahui sesuatu. Tema sentral dari pemikiran Pyrrho dapat kita sederhanakan ke dalam tiga hal: sikap tenang (ataraxia), penangguhan penilaian (apochē), dan pengabaian.
Menurut Pyrrho, cara hidup skeptis dapat membawa kita pada kehidupan yang tenang. Sudah menjadi pandangan umum di kalangan filsuf Yunani Kuno bahwa hasrat atau keinginan terhadap sesuatu berisiko akan menjebak kita pada hal yang buruk. Dalam konteks ini, kebahagiaan memerlukan pilihan atau pencapaian terhadap sesuatu yang benar-benar baik dan bukan sesuatu yang sekadar kelihatan baik. Seperti seseorang yang mengejar uang karena percaya bahwa menjadi kaya adalah baik, padahal dalam beberapa kasus, banyak orang kaya yang hidupnya tidak lebih bahagia dari orang miskin.
Dari contoh di atas kita mungkin menyadari bahwa ada perbedaan mendasar antara apa yang kelihatan baik dan apa yang benar-benar baik. Oleh karenanya, untuk mengejar kebahagiaan, biasanya kita terlebih dahulu perlu mendefinisikan hal apa yang benar-benar baik demi membuat tujuan yang tepat. Mengenai hal ini, posisi Pyrrho cukup jelas bahwa jika kita menganggap pengejaran terhadap sesuatu yang benar-benar baik akan membuat kita bahagia maka sebaiknya harus kita pikirkan ulang. Pyrrho berpendapat bahwa pengejaran kebahagiaan itu tidak mungkin, sebab tidak ada informasi yang dapat diandalkan.
Skeptisisme percaya bahwa pengetahuan kita tentang hal yang benar-benar baik adalah mustahil. Jadi mustahil pula bagi kita untuk mengetahui hal yang dapat membahagiakan kita. Dia berpendapat bahwa manusia dikutuk untuk tidak mengetahui sesuatu, termasuk kebahagiaan itu sendiri. Karena kita tidak dapat mengetahui apa pun, maka kita seharusnya tidak mempercayai apa pun. Jadi apa yang Pyrrho tawarkan? Bukankah penilaian dan pengetahuan kita cukup penting untuk memvalidasi segala tindakan kita? Bukankah semua tindakan kita didasarkan pada pengetahuan kita tentang tindakan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Pyrrho menawarkan gagasan keduanya, yaitu apochē atau penundaan penilaian. Namun sebelum melakukan apochē, pertama-tama kita mesti mengubah pertanyaan kita terlebih dahulu. Alih-alih bertanya apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik dan bahagia, kita seharusnya bertanya bagaimana seseorang seharusnya hidup dalam ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang dikatakan oleh Pyrrho mirip seperti koin yang memiliki dua sisi. Di sisi negatif, kita tidak dapat mengetahui apa pun, oleh karenanya pengejaran pengetahuan adalah mustahil. Di sisi lain, yaitu sisi positif, untuk hidup bahagia dan tenang kita sama sekali tidak membutuhkan pengetahuan.
Karena sulit membayangkan bagaimana kita dapat bahagia tanpa mengetahui sesuatu, Pyrrho mengajukan pertanyaan epistemologis dan metafisik tentang hakikat sesuatu. Menurut Pyrrho, persepsi dan opini (baca: pikiran) tidak memberitahu kita tentang hakikat sesuatu, apakah yang kita lihat nyata atau palsu. Pyrrho mengatakan bahwa segala sesuatu tidak dapat dipastikan. Bahwa ia terjadi begitu saja, tidak dapat diukur, dan juga tidak dapat diputuskan. Jika seperti itu, kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan apa pun tentang sesuatu tidak dapat dipastikan benar-salahnya. Semisal tidak tepat mengatakan bahwa es batu dingin atau tidak, sebab mungkin saja bagi saya es batu dingin tetapi bagi Anda tidak. Dalam bahasa Betrand Russel “Tak seorang pun tahu, dan tak seorang pun yang dapat mengetahui.”
Dalam satu anekdot yang diceritakan oleh Cicero dan Diogenes Laertius, ketika tentara Alexander panik dan berteriak ketakutan di tengah badai laut dalam ekspedisi mereka, Pyrrho tidak menunjukkan emosi atau respons apa pun terhadap situasi yang kapan saja bisa membunuh mereka. Di tengah gelombang laut ganas disertai badai, Pyrrho hanya duduk bersantai dengan wajah tanpa ekspresi sembari memakan sepotong roti di tangannya. Ketika seseorang datang menanyakan mengapa dia tidak panik sama sekali, Pyrrho hanya menunjuk seekor babi yang sedang makan dengan santai di belakangnya. Menurut Pyrrho, babi tersebut tidak ketakutan karena dia sama sekali tidak mempercayai apa pun tentang apakah situasi itu baik atau buruk, sehingga dia hanya makan alih-alih berteriak ketakutan.
Menurut Pyrrho, dengan melakukan apochē atau penundaan penilaian, kita dapat mencegah sesuatu yang dapat memengaruhi kita, bukan hanya secara kognitif dalam kaitannya dengan tindakan, tetapi juga secara psikologis yang berkaitan dengan emosi. Namun, kiranya perlu digarisbawahi bahwa meskipun Pyrrho menawarkan apochē, dia tidak pernah mengatakan bahwa penundaan penilaian sebagai sesuatu yang baik, karena kita tidak dapat menilai dan memastikan sesuatu. Inilah yang nanti membedakan skeptisisme Pyrrho dengan skeptisisme Akademi.
Lebih jauh lagi, Pyrrho menyadari bahwa cara hidup skeptis bukanlah hal yang mudah dipraktikkan, sebab “... kita memiliki kecenderungan umum untuk menilai baik-buruknya sesuatu” apalagi jika “dihadapkan pada sesuatu yang berbahaya”. Di sisi lain kita juga tidak dapat menghindari penilaian indrawi kita terhadap sesuatu–kita menjustifikasi sesuatu dari penampakannya. Karenanya, menurut Pyrrho tidak masalah jika kita hidup berdasarkan apa yang tampak baik dan membahagiakan bagi kita. Namun, perlu diingat bahwa kita juga harus menghindari penilaian atau justifikasi apa pun terhadap keputusan atau pendapat-pendapat kita, sebab tidak ada baik-buruk dan benar-salah mengingat tidak ada yang dapat kita ketahui dan pastikan berkenaan dengan hakikat sesuatu.
Meskipun tidak sedikit filsuf seperti Antigonus dan Betrand Russel, yang menganggap skeptisisme Pyrrho tentang apochē membuatnya menjadi sosok yang ceroboh dan pemalas -terutama ketika dia tidak menolong sahabatnya Anaxarcus yang jatuh di rawa hanya karena dia tidak mempercayai matanya. Tetapi bagi pengikutnya seperti Timos dan Aenesidemus, sikap (apochē) tidak menyebabkan Pyrrho berperilaku ceroboh dalam kehidupannya sehari-hari dan dia juga tidak berbeda dengan bagaimana masyarakat hidup pada umumnya.
Dalam laporan Timon yang diabadikan oleh Diogenes Laertius, diceritakan bahwa ketika seseorang membawakan Pyrrho madu dan lalu mengatakan bahwa madu tersebut sangat lezat dan manis, Pyrrho menjawab bahwa “madu itu manis, saya tidak menyetujui pernyataan tersebut (juga tidak menafikannya), tetapi saya setuju bahwa madu itu kelihatannya manis”. Di sini kita dapat melihat konsistensi skeptisisme Pyrrho, bahwa kita boleh menyatakan dan melakukan apa pun selama kita tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah kebenaran atau kesalahan. Karena pada dasarnya, kita menjustifikasi sesuatu bukan melalui pengetahuan kita terhadap hakikatnya melainkan melalui apa yang tampak dan tercerap oleh indra kita.
Category : filsafat
SHARE THIS POST