Seputar Isra Mikraj: Bagaimana Badiuzzaman Said Nursi Memaknainya
Isra Mikraj adalah peristiwa luar biasa yang menjadi salah satu mukjizat kenabian Muhammad. Peristiwa seperti ini tidak pernah, bahkan tidak mungkin dialami oleh manusia biasa. Dalam satu malam, Muhammad menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra), lalu naik menembus langit hingga Sidratul Muntaha (Mikraj). Ketika Muhammad menceritakannya kepada kaum Quraisy, ceritanya disebut “bualan” oleh orang-orang yang membencinya. Hanya sahabatnya, Abu Bakar, yang langsung mengimani cerita Muhammad tersebut.
Peristiwa Isra Mikraj tidak hanya menjadi ujian keimanan bagi umat Islam, tetapi juga menyimpan pelajaran mendalam yang bisa diambil dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan beragama di era sekarang.
Isra Mikraj juga sering menjadi bahan perdebatan dalam sejarah Islam, terutama terkait aspek teologis, historis, dan rasionalitasnya. Beberapa orientalis modern banyak yang skeptis terhadap peristiwa Isra Mikraj, umumnya mereka mempertanyakan keotentikan dan rasionalitas kisah tersebut. Tokoh-tokoh seperti William Muir[1] dan Montgomery Watt,[2] misalnya, memandang Isra Mikraj sebagai kisah yang lebih bersifat alegoris, atau bahkan mitos. Mereka berargumen bahwa perjalanan tersebut tidak masuk akal dari sudut pandang sains dan lebih merupakan narasi religius untuk memperkuat otoritas kenabian Muhammad.
Jangankan pandangan outsider (non-Islam/orientalis), di internal (insider) umat Islam sendiri masih banyak yang memperdebatkan peristiwa “aneh” tersebut. Meskipun tidak sepenuhnya menginkari cerita Nabi Muhammad Saw tadi, beberapa kalangan menilai Isra Mikraj sebatas perjalanan spiritual Muhammad, yang memang tidak bisa dicerna akal manusia.
Sebut saja sekte Mu‘tazilah di era klasik dan Muhammad Abduh di era modern. Memang perdebatannya bukan terletak pada benar atau tidaknya peristiwa tersebut, tetapi dalam aspek rasionalitasnya. Apakah peristiwa Isra Mikraj hanya terjadi pada batin-spiritual Sang Nabi atau secara lahiriah, jasadnya pun ikut terlibat? Lalu bagaimana wujud kendaraan yang ditunggangi Nabi (Buraq) di perjalanan tersebut? Apakah ia merupakan wujud nyata atau sekadar simbol-alegoris? Dan terakhir yang menjadi perdebatan ialah soal kecepatan waktu yang ditempuh dalam Isra Mikraj. Bagaimana mungkin perjalanan jauh nun panjang itu hanya terjadi dalam satu malam, di mana hal itu sangat bertentangan dengan hukum fisika?
Dalam hal ini, Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama besar abad ke-20, memberikan perspektif menarik. Ia menekankan bahwa Isra Mikraj adalah simbol kasih sayang Tuhan dan merupakan tali penghubung antara keanekaragaman makhluk menuju kesatuan Ilahi.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana pandangan Said Nursi dalam memperkaya pemahaman kita terhadap peristiwa besar Isra Mikraj, sekaligus menggali hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia. Kehidupan Said Nursi di penghujung Kesultanan Usmaniyah, tidak bisa lepas dari perdebatan antara dirinya sebagai muslim dengan kalangan ateis maupun materialis. Tentu akan sangat menarik, bagaimana Nursi mempertahankan pandangan religiusnya dengan cara mempertentangkan antara tradisi kenabian dan tradisi filsafat, khsususnya terkait peristiwa Isra Mikraj.
Hakikat Isra dan Mikraj
Menurut Said Nursi, persoalan tentang Isra Mikraj merupakan buah dari prinsip dan pilar-pilar keimanan. Isra Mikraj juga merupakan cahaya, di mana sinarnya berasal dari cahaya-cahaya rukun iman. Said Nursi memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang ditujukan kepadanya, “Mengapa para wali bisa bermunajat dan berkomunikasi kepada Allah secara batiniah, sementara Nabi Muhammad tidak bisa melakukan itu kecuali setelah melakukan perjalanan jauh dan panjang?”
Memang sukar membicarakan kejadian Isra dan Mikraj, di satu sisi merupakan kejadian yang harus diimani, di sisi lain seringkali akal kita sulit mencerna perjalanan tersebut. Terlebih, ketika perjalanan “panjang” tetapi “singkat” itu diceritakan kepada orang-orang yang mengunggulkan kekuatan akalnya.
Said Nursi menjawabnya dengan bahasa imajiner, bahwa seorang Raja setidaknya memiliki dua cara berkomunikasi. Cara pertama, komunikasi lewat pesan secara langsung kepada salah seorang rakyatnya. Cara kedua, komunikasi atas nama kerajaan lewat salah satu petugas tertinggi di kerajaan, agar pesan itu sampai ke setiap penjuru kerajaan. Demikian juga dengan cara komunikasi Allah, komunikasi-Nya bisa terjadi secara parsial dan bisa juga secara universal.
Apa yang terjadi dengan para wali adalah cara komunikasi yang pertama, hanya diperuntukkan untuk kenikmatan pribadi. Sedangkan peristiwa Isra Mikraj Muhammad adalah cara komunikasi yang kedua. Petugas dengan jabatan tertinggi di samping Sang Raja ialah Muhammad, ia diberi pesan untuk disampaikan ke seluruh penjuru alam. Jadi, hakikatnya adalah Muhammad “dipanggil” Tuhan untuk menyampaikan pesan-Nya ke seluruh makhluk, hewan, entitas alam, manusia, yang tampak maupun yang tidak tampak.
Demikian pula yang terjadi dengan Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw adalah bentuk perjalanan kewalian Muhammad paling tinggi. Komunikasinya tidak seperti para wali yang lain, melainkan terjadi secara langsung dan komprehensif, sehingga status komunikasi Tuhan dengan Muhammad merupakan kehormatan paling tinggi.
Jika berbicara tentang kewalian, komunikasi dengan Tuhan merupakan perwujudan dari perjalanan spritual yang panjang, dari seorang makhluk menuju Tuhan. Lain halnya dengan perjalanan Muhammad, menurut Said Nursi, perjalanan itu berasal dari Tuhan menuju makhluk. Di sinilah letak perbedaan perjalanan Muhammad, di mana kenikmatan dan kehormatan perjalanan dalam Isra Mikraj merupakan pesan yang harus disampaikan ke seluruh penjuru alam. Sedangkan perjalanan para wali hanya bisa dinikmati oleh pribadinya saja.
Sebagaimana ungkapan mistikus ‘Abdul Quddus, yang dikutip oleh filsuf dari Pakistan, Muhammad Iqbal, bahwa jika Muhammad bukan seorang Nabi dan Rasul, niscaya ia tidak mau kembali dari perjalanan Mikraj itu karena sudah bertemu dengan Tuhan.[3]
Dengan menunggangi kendaraan Buraq, Muhammad diberangkatkan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa. Secara simbolis, perjalanan ini menunjukkan mulianya tempat antara kedua tempat tersebut. Di mana para Nabi dan Rasul pernah hidup di sana. Kemudian, Muhammad melakukan perjalanan transenden, naik menuju Sidratul Muntaha dengan menyusuri tiap-tiap tingkatan langit dan alam. Peristiwa ini dinilai Said Nursi sebagai akumulasi perjalanan lahir dan batin Muhammad ketika diperlihatkan semua bentuk rububiyah dan mulukiyah Tuhan, dari makhluk yang paling kecil sampai makhluk terbesar semua dilihat oleh Muhammad.
Lalu mengapa Tuhan membedakan cara Dia berkomunikasi dengan Muhammad dan para wali? Selain alasan karena Muhammad adalah makhluk paling baik di antara makhluk-Nya, karena Tuhan ingin memperlihatkan semua ciptaan-Nya secara langsung, disaksikan oleh indra (fisik) Muhammad, tidak hanya oleh batinnya saja.
Bagaimana perjalanan Isra Mikraj terjadi secara singkat? Sebagaimana akal manusia bisa mengkhayal sedemikian cepat, para wali berpergian dengan kalbunya, dan kecepatan malaikat secepat kilat, demikian juga dengan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad. Jasad dan ruhnya merupakan penampungan berbagai kemuliaan Tuhan, sehingga pergerakannya lebih cepat daripada khayalan manusia, kalbunya para wali, dan cahayanya para malaikat.
Said Nursi menegaskan jiwa bumi bisa menempuh jarak selama 188 jam, sedangkan dalam pandangan manusia hanya terasa 1 (satu) menit atau bumi bisa menempuh jarak 25.000 tahun serasa 1 tahun menurut ukuran manusia. Maka tidak terkecuali dengan perjalanan Isra Mikraj, perjalanan jauh nun panjang, serta menembus gravitas bumi terjadi hanya dalam satu malam.
Hikmah Isra dan Mi‘raj
Memang sulit dipahami, bahkan kerapkali akal manusia tidak bisa mencerna kejadian Isra Mikraj. Menurut Said Nursi, hikmah kejadian tersebut juga sulit dipahami, tidak hanya kejadiannya saja. Isra Mikraj laksana “tali penghubung” antara Tuhan dengan makhluk. Dia memilih “satu makhluk” yaitu Muhammad sebagai simboli “kesatuan” di tengah pluralitas dan kemajemukkan realitas makhluk.
Dipilih satu makhluk agar keanekaragaman makhluk sama-sama berangkat menuju “kesatuan ilahi” atau yang biasa disebut “ketauhidan”. Barangkali inilah pesan Tuhan kepada Muhammad agar ia memberitakan tentang “tauhid” dengan cara kasih-sayang, sebagaimana Isra Mikraj juga merupakan kasih-sayang Tuhan kepada Muhammad.
Selain itu, Said Nursi juga menilai peristiwa Isra Mikraj laksana Pohon Tuba, salah satu pohon yang ada di surga. Peristiwa Isra Mikraj memberi banyak buah kenikmatan yang harus direnungi. Di antaranya Said Nursi menyebutkan empat buah dari sekian ratusan buah maknawi yang terkandung dalam peristiwa tersebut.
Pertama, sebagai persaksian indrawi Muhammad atas realitas Ilahi. Ini menunjukkan status keimanan kepada Tuhan tidak berhenti dalam hati, tetapi bagaimana keimanan itu juga menjadi cahaya bagi setiap aktivitas konkret manusia. Pasalnya, cahaya Tuhan merupakan kabar gembira bagi seseorang yang menyadari dirinya sebagai manusia. Bahwa dalam realitas ini tidak melulu soal kesedihan, kejahatan, atau penderitaan. Semua yang tampak harus diorientasikan ke arah yang lebih abadi (ukhrawi), karena di sana ada kebahagiaan sejati.
Kedua, ibadah “shalat” yang selalu digadang-gadang sebagai hadiah Isra Mikraj merupakan bentuk keridhaan dan kasih sayang Tuhan kepada semua makhluk. Sudah semestinya, ketika seseorang memberi hadiah kepada orang lain pertanda sebagai penghormatan dan kasih-sayangnya. Begitu juga dengan hadiah shalat: bukan beban, tetapi hadiah agar manusia biasa seperti kita bisa merasakan Isra dan Mikraj, sebagaimana Muhammad, setidaknya kita merasakan secara batin-spiritual.
Ketiga, sebagaimana negeri akhirat banyak dipertanyakan keberadaannya, khususnya berkenaan dengan surga dan neraka. Ketika Muhammad Mikraj, ia melihat rupa surga dan neraka itu. Maka dipastikan keberadaan surga dan neraka “pasti ada”, tidak sekadar motivasi belaka. Manusia dengan segala keterbatasan, ketakberdayaan, dan penderitaannya tidak boleh tidak harus mengaitkan segala aktivitas hidup ke arah yang lebih abadi. Maksudnya ialah kehidupan duniawi yang fana ini, akan dipertanggungjawabkan di kehidupan ukhrawi yang abadi.
Terakhir, Isra Mikraj mengkonfirmasi keberadaan manusia sebagai makhluk paling baik (ahsan taqwim), sehingga dikatakan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fi al-ardh). Namun untuk sampai ke sana, syarat yang harus dipenuhi adalah iman. Iman yang menjadi ruh kehidupan, kekuatan, dan tanda bahwa realitas makhluk ini merupakan “goresan pena” Tuhan.
Manusia ditugaskan menjadi wakil Tuhan dengan membawa prinsip “keadilan ilahi” yang harus direalisasikan di setiap poros kehidupan. Ketika hal itu terjadi, maka akan tercipta kehidupan manusia yang bermoral, tidak seperti yang bayangkan para ateis, di mana hidup penuh dengan “konflik” dan “pertentangan”. Maka, berjalanlah (Isra) dengan nilai-nilai itu, lalu naiklah (Mikraj) ke arah yang lebih luhur, dan jangan lupa kembali ke bawah sebagaimana Muhammad kembali ke bumi.
Referensi:
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Nursi, Badiuzzaman Said. Al-Kalimāt. Kairo: Sözler Publications, 2011.
____________________. Al-Maktūbāt. Kairo: Sözler Publications, 2011.
____________________. Al-Maṡnawī al-‘Arabī an-Nūrī. Kairo: Sözler Publications, 2011.
[1] Lihat di karyanya yang berjudul “The Life of Mohammad”.
[2] Lihat juga karya Watt yang berjudul “Muhammad: Prophet and Statesman”.
[3] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), 234.
Category : keislaman
SHARE THIS POST