Seni dan Kegagalan Manusia

slider
18 September 2019
|
1419

Menjadi Gallery Sitter (GS) pada festival kesenian ARTJOG MMXIX seperti memilin pemahaman antara beragam konsep yang berkelebat di tempurung kepala. GS dituntut tidak sekadar menerapkan peraturan formal di dalam galeri, namun juga harus mampu menjelaskan makna karya kepada pengunjung. Konsep-konsep sosial, politik, budaya bahkan teknologi disajikan dalam wadah seni bertema  common-space atau ruang bersama. Banyak isu-isu dibawa oleh para seniman menyampikan dampak buruk dari antroposentrisme. Sifat keterpusatan manusia dalam hubungan antar makhluk dan lingkungan mengesankan segala hal di alam semesta ini dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akibatnya keserakahan manusia terjadi dimanapun adanya kehidupan manusia.

Salah satu karya yang menjadi favorit saya berjudul The Philonoist. Instalasi dan lukisan karya Syamsul Arifin ini menggambarkan sosok manusia modern sebagai Homo Scientia. Digambarkan sosok manusia yang terbuat dari karung goni bermata lebar dan membawa pena sebagai simbolisasi makhluk yang haus akan pengetahuan. Dengan menggunakan pengetahuan inilah manusia modern mulai mengembara mencari sumber daya alam yang dianggap berharga. Gambaran ini disimbolkan dengan bongkahan emas yang menempel pada sosok patung The Philonoist. Di sisi lain terdapat bercak hitam menempel dari celah antara dua buah mata lebar sampai kebagian dada. Simbolisasi dari sisi gelap manusia modern yang menjadikan pengetahuan sebatas alat untuk memenuhi hasrat pribadi menaklukkan segala sesuatu yang menghalanginya.

Baca juga: Ragam Rupa Seni Islam

Munculnya ilmu pengetahuan modern ditandainya revolusi industri. Penemuan alat-alat produksi (mesin) menggantikan fungsi manusia untuk bekerja. Pengetahuan modern ini juga yang mendorong manusia berpetualang mencari sumber daya, sampai pada titik kolonialisme. Penguasaan bangsa-bangsa Barat atas area di seluruh dunia mengakibatkan perlawanan dari masyarakat yang mendiami kawasan jajahan. Kolonialisme menimbulkan ketidaksetaraan hak sesama manusia. Hal ini juga disampaikan Syamsul arifin dengan material goni sebagai bahan pembuatan patung The Philonoist. Syamsul sendiri memilih karung goni sebagi material seni karena keterkaitan dengan kenangannya semasa kecil dimana keluarganya menjadi pekerja paksa oleh penjajah. Kelas pekerja paksa yang miskin tidak mampu membeli pakaian yang layak pakai menjadikan bahan karung goni untuk pakaian sehari-hari.

Dalam buku Sebelum Filsafat (2018), Pak Fahruddin Faiz menyampaiakan manusia pada dasarnya dikaruniai lima potensi oleh Allah Ta’ala. Potensi yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, dan menempatkan posisi pada ‘makhluk yang sempurna’ dan diizinkan untuk menjadi sosok khalifah di muka bumi ini. Tubuh-indrawi sebagai potensi wujud lahiriah manusia dan juga sebagai alat terluar bergumul mengalami langsung kehidupan dengan alam semesta. Rasio sebagai potensi alat berpikir logis dalam memproses sebab-akibat hasil penangkapan indrawi. Naluri sebagai potensi manusia untuk memahami masalah hidup dan kehidupan. Nurani sebagai potensi manusia sebagai makhluk bermartabat yang spiritual dan bermoral. Intuisi sebagai potensi manusia sebagai makhluk yang transenden.

Sayang sekali kehidupan manusia modern mendominasikan penggunaan rasio dan indrawi melebihi ketiga potensi batiniah yang lain. Hal ini mengakibatkan pragmatisme ilmu pengetahuan. Pengetahuan dijadikan sebagai alat guna kepentingan pragmatis manusia. Bom Hiroshima-Nagasaki, kolonialisme, Holocaust dan banyak catatan kelam atas sejarah manusia modern menegaskan pragmatisme pengetahuan lebih mendekatkan kepada kehancuran.

Hilangnya posisi ilmu pengetahuan sebagai “nuur” mengakibatkan pengkotak-kotakan pengetahuan, sehingga hilangnya kontrol moral-spiritual terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan yang tidak memiliki “nuur” menuntun manusia jauh dari fitrahnya sebagai khalifah fil ardh dan justru mendekatkan kepada pembawa kehancuran alam. Dhaharal fasaadu fil barri wal bahri biaydian naas.

Manusia dengan dominasi indrawi-rasio merasa bahwa satu-satunya makhluk yang mampu merekayasa alam menjadi benda-benda yang memudahkan kehidupannya. Dengan kemampuan ini tidak ayal membawa manusia merasa berhak mengelola bahkan mengeksploitasi alam. Di sisi lain, hilangnya intuisi dan nurani membuat manusia kehilangan hakikat ilmu pengetahuan. Akibatnya sisi ketuhanan dan moral tidak lagi menyatu dengan perkembangan teknologi. Mulailah muncul istilah sekularisme. Bahwa ilmu dunia harus dipisahkan dengan agama—yang  lebih mengolah intuisi dan nurani. Sekularisme ini disadari atau tidak, berdampak pada pola keberagamaan kita hari ini.

Ketika pengkotak-kotakan pengetahuan terjadi, maka mudah bagi ilmu agama terfragmentasi menjadi sesuatu yang tidak berkaitan dengan bidang yang lain. Akhirnya doktrin agama kehilangan fungsi sosial dalam membawa kebaikan universal rahmatan lil alamin. Agama dominan  mengatur urusan-urusan individual-transendental Tuhan dan manusia, selebihnya urusan ilmu sosial, ilmu budaya dan sebagainya. Politik pun menggunakan agama sebagai bahan untuk meraih kekuasaan. Bahasa lainnya, menjual ayat-ayat demi kepentingan politik.

Dalam gelaran Ngaji Filsafat edisi Seyyed Hossein Nasr (21/3/2018 & 11/9/2019), dijelaskan soal intelektualitas menggunakan keutuhan semua potensi bawaan manusia. Hal ini yang membedakan dengan intelektualitas manusia modern yang hanya mendominasi akal dan rasio dengan intelektualitas tradisional. Dalam intelektualitas tradisional mengakui adanya wahyu sehingga nurani dan intuisi diperlukan. Wahyu ini disebut juga sebagai pengetahuan ilahiah bersifat mendasar, universal, memiliki kebenaran lintas suku, ras, agama, geografi, lintas sejarah, lintas ruang dan waktu. Inilah yang disebut scientia sacra. Interpretasi manusia tentang  scientia sacra menjadikan keberagaman terutama ekspresi beragamaan. Hal ini yang dipotong oleh pengetahuan modern, sehingga pengetahuan itu terpecah-pecah dan tidak berhubungan.

Universalitas nilai yang mampu menembus batasan-batasan yang dibuat manusia membuat scientia sacra lekat dengan seni. Simbolisasi scientia sacra menjadi bentuk-bentuk yang objektif berupa gerak, nada, suara, titik, garis, bidang, ruang, warna dan sebagainya memberi ruh sehingga seni menjadi hidup dan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan dan disiplin ilmu yang lain. Seni dalam kehidupan kelembagaan kultural sosial dan politik Islam menjadi parameter, apakah keberagamaan yang berjalan hanya secara simbol-simbol lahiriah ataupun sudah berjalan secara esensial. Hal ini menjadikan fungsi seni sebagai pengingat bagi manusia dengan senantiasa berlaku dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Yang Hakiki.

Baca juga: Seputar Seni Islam

Dalam seni Islam, segala hal bisa memiliki nilai religius. Peran agama yang mengatur semua lini kehidupan menjadikan kehidupan seorang muslim tidak mungkin terpisah dari Tuhannya. Kalau kita mencermati lagi implikasi tauhid Ismail Raji al-Faruqi, secara tidak langsung kita terhubung dengan Tuhan pada ranah doktrinal, sosial, ritual, intelektual dan estetik.

Seni sebagai pertanda kemanusiaan

Dalam bahasa semiotika yang disampaikan Yasraf Amir Piliang & Audifax dalam buku Kecerdasan Semiotik (2017) dikenal istilah penanda (signal) dan pertanda (sign). Penanda berperan sebagai simbol ketika muncul suatu kejadian. Misalkan saja ketika akan terjadi hujan maka awan menjadi mendung, dan gemuruh guntur terdengar. Maka penanda (signal) ketika akan terjadi hujan adalah awan mendung dan gemuruh guntur terdengar. Gemuruh guntur dan awan mendung adalah pertanda (sign) akan turunnya hujan.

Penggunaan lima potensi dasar manusia secara berimbang seharusnya mampu menjadikan manusia melakukan tugas dan kewajibannya mengelola alam semesta. Melakukan pengembangan teknologi dan pengetahuan namun dalam koridor moral dan spiritual. Kita bisa melihat bagaiman perkembangan teknologi dengan tidak harus merusak lingkungan alam. Justru teknologi hadir karena kebutuhan untuk membantu perkembangan hubungan antara manusia dan alam. Fazlur Rahman dalam buku Tema-Tema Pokok Al-Quran (2017) menyampaikan bahwa, apa yang menjadi kekhawatiran pada manusia bukanlah kemampuan rasio-empirisnya untuk merekayasa teknologi sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan hal-hal baru yang sebelumnya tidak ada, dan kemudian meniru Tuhan. Namun matinya nurani dan intuisi yang mengakibatkan luruhnya moral spiritual sehingga manusia “berlomba-lomba dengan setan” untuk merusak alam.

Dalam video dokumenter Kasepuhan Ciptagelar (2015) karya Dandhy Dwi Laksono, dkk (Watchdoc) tergambar kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar hidup dalam balutan tradisi yang kental akan nilai moral spiritual. Di sisi lain teknologi sederhana pembangkit listrik micro-hidro—yang lebih ramah lingkungan dibanding listrik tenaga batu-bara—sudah diterapkan untuk mengaliri listrik rumah-rumah warga. Kehadiran teknologi yang ramah lingkungan dan tepat guna tidak lepas dari penggunaan nurani dan intuisi pada tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.

Terakhir, dari penjelasan di paragraf awal, karya The Philonoist tidak hanya sekadar patung dan lukisan yang dibuat tanpa makna, melainkan simbol tentang isu kemanusiaan dengan lingkungannya yang didatangkan dalam ruang lingkup pameran. The Philonoist adalah simbolisasi manusia yang dikaruniai akal untuk berpikir rasional dan empiris. Di sisi lain matinya moral-spiritual menjadikan manusia modern gagal menjadi manusia seutuhnya. Dan seni adalah pertanda (sign) hadirnya rasa kemanusiaan. Wallahu’alam bissawab.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ade Cahyadi

MJS Squad #4. Suka melihat-lihat gambar. Kadang mendekam di galeri maya @thekucingliar