Scane Realitas dan Religiositas
Judul: Si Doel The Movie | Sutradara: H. Rano Karno | Produksi: Karnos Film | Rilis: 2 Agustus 2018 | Durasi: 85 menit
Selama menjalani masa pandemi, menikmati film menjadi satu di antara pelepas rasa gundah. Anjuran pemerintah agar stay di rumah, sudah pasti timbul rasa bosan. Beberapa teman saya memilih menghabiskan waktunya untuk menonton Drama Korea secara maraton (semoga di tengah wabah seperti ini, ia tidak lupa untuk beribadah, amin). Menonton film menjadi pilihan hiburan yang pas di saat semua kegiatan tidak bisa dilakukan secara bebas di luar. Film itu sendiri juga menjadi perekam realitas ketika semua kenyataan dianggap bias. Pada bagian adegan (scane) tertentu sekaligus menjadi peneguh religiositas manakala agama sering dipandang terlalu keras. Setidak-tidaknya hal ini saya temukan di dalam film Si Doel The Movie (terdiri atas tiga sekuel film).
Perekam realitas
Realita sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan sumber inspirasi bagi para pembuat seni (film termasuk seni atau art). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul Semiotika Komunikasi (2003). Sobur menyebutkan bahwa film selalu merekam realitas yang telah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, kemudian memproyeksikan realita tersebut ke dalam sebuah layar (menjadi film). Dengan kata lain, film adalah refleksi dari kehidupan masyarakat yang dikemas menjadi sebuah tayangan audio visual. Karena itu, film dapat menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan publik tentang realitas yang sering dianggap bias.
Satu di antara realita sosial yang disajikan dalam film Si Doel The Movie adalah perempuan biasanya memilih pergi ketika disakiti oleh orang yang dicintai. Sementara itu, bias yang boleh jadi menjadi pertanyaan publik adalah jika istri memang mencintai suaminya, mengapa ia justru meninggalkannya? Nah, pertanyaan macam seperti inilah yang dapat dijawab oleh sebuah film. Ketika tokoh Si Doel memutuskan menolong Zainab, dan Sarah sebagai istri Doel mengetahuinya, Sarah memutuskan pergi meninggalkan Doel tanpa pernah mendengarkan penjelasannya.
Apakah Sarah tidak lagi mencintai Doel hingga ia meninggalkannya begitu saja? Ternyata tidak, justru Sarah sangat mencintai Doel. Karena rasa cinta yang teramat besar itulah, Sarah tidak mampu melihat orang yang dicintainya itu memberikan perhatian kepada perempuan lain. Terbukti dari ungkapan Sarah kepada Doel Ketika ia berada di Belanda, katanya, “Aku tak pernah bisa melupakanmu, Doel. Karena semakin aku membencimu, semakin aku mencintaimu”. Kurang lebih kalimatnya seperti demikian ini.
Scene di atas mengajarkan kepada laki-laki agar memahami bahwa perempuan yang memilih pergi ketika disakiti bukan berarti mereka sudah tidak cinta lagi, tetapi mereka sebagai perempuan ingin dicari, dikejar, dan diyakinkan bahwa sejauh manapun mereka pergi, yang mereka temui tetaplah sang lelakinya.
Peneguh religiositas
Film disajikan tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media pembawa pesan, sebab film adalah sebuah cerita dan setiap cerita memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada penikmatnya (dalam hal ini berarti penonton). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Alex Sobur dalam bukunya yang lain lagi berjudul Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001). Sobur mengatakan bahwa film adalah alat komunikasi massa yang berpotensi untuk mempengaruhi pandangan masyarakat lewat pesan yang terkandung di dalamnya. Setiap film memiliki pesan yang bervariatif sesuai dengan isi cerita yang ditampilkan.
Satu di antara pesan yang ingin disampaikan dalam film Si Doel The Movie adalah urgensi agama dalam menghadapi suatu masalah. Seperti tecermin dalam scene ketika Zainab mengetahui bahwa Hans adalah sepupu Sarah, dan Doel sedang berangkat ke Belanda untuk menemui Hans. Tentu saja Zainab merasa gelisah, takut, dan khawatir jika di Belanda suaminya akan bertemu dengan Sarah. Hebatnya, Zainab melawan kegelisahan dan kekhawatirannya lewat shalat. Keputusan Zainab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama bahwa cara meminta pertolongan adalah dengan cara sabar dan shalat.
Sisi religiositas lainnya yang terkandung dalam film Si Doel The Movie adalah restu suami adalah hal yang paling fundamental bagi seorang istri. Pesan ini direfleksikan oleh scene saat Zainab diberitahu oleh Doel bahwa selama di Belanda Doel bertemu dengan Sarah dan anaknya. Hati Zainab berguncang hebat mendengar pengakuan suaminya itu, hingga rasa takut dan cemburu membuatnya ingin pulang ke rumah ibunya dengan dalih sudah lama tak berkunjung. Kendati seperti itu (dipenuhi rasa cemburu), Zainab tetap meminta restu kepada sang suami. Di sini juga tampak perbedaan antara Sarah dan Zainab seperti yang diungkapkan oleh Mak Nyak (Ibu Doel). Sarah pergi meninggalkan rumah tanpa izin suami, sedangkan Zainab dengan rasa cemburu yang memburu tetap memilih meminta restu.
Selain shalat dan restu suami, sisi religiositas selanjutnya sekaligus sebagai pamungkas adalah memperbanyak berzikir di hari tua (bukan berarti yang muda tidak perlu memperbanyak zikir). Pesan ini memang tidak terungkap lewat ungkapan dialog para tokoh, tetapi pesan ini tersirat lewat kebiasaan Mak Nyak yang selalu memutar tasbih. Sesekali Mak Nyak berhenti berzikir ketika perlu menjawab atau menanggapi lawan bicaranya. Zikir sebagai bentuk puji dan upaya dalam memperoleh ketenangan hati dengan sadar kepada Dzat yang Maha membolak-balikkan hati.
Terakhir, dari ulasan singkat ini, saya tahu film adalah bagian dari kesenangan, namun pesan-pesan yang terkandung di dalamnya tidak lantas dipandang sebagai hiburan semata.
Category : resensi
SHARE THIS POST