Sayyid Qutb dan Kemunculan Afiliasi Setelahnya

slider
23 Maret 2022
|
3710

Sayyid Qutb (1906-1966) adalah nama yang relatif asing disebut dalam percakapan umat islam Indonesia dewasa ini. Mereka yang familier dengan Qutb, biasanya terbatas hanya di sekitar orang-orang terdidik berlatar belakang pesantren, atau perguruan tinggi dan mereka yang aktif dalam organisasi Islam. Umat muslim lain, umumnya tak banyak yang tahu sosok kontroversial satu ini.

Sayyid Qutb merupakan salah seorang tokoh penting dari sebuah organisasi politik transnasional asal Mesir, bernama Ikhwanul Muslimin (IM). Organisasi ini sangat berpengaruh tidak hanya di Timur Tengah, melainkan berpengaruh hingga ke negara-negara non-Arab, seperti Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara Asia lain.

IM didirikan oleh Hassan al-Banna (1906-1949) pada 1928. Menurut Imdadun Rahmat dalam Ideologi Politik PKS (2008), IM bercita-cita ingin menegakan kembali khilafah islamiyah pasca Turki Utsmani sekaligus membebaskan negeri-negeri muslim dari kolonialisme Barat. Ketika IM berdiri, Qutb belum bergabung dengan IM dan masih melanglang buana ke Amerika Serikat (AS). Qutb baru bergabung dengan IM pada periode 1950-an, tidak lama setelah pergantian kepemimpinan IM dari Hassan al-Banna yang tewas dibunuh lalu digantikan Hassan al-Hudaybi sebagai pemimpin IM yang baru.

Ketika Qutb bergabung dengan IM, posisi politik IM dengan pemerintahan Raja Faruk sedang ada di titik nadir. IM berseberangan secara politik dan ideologis dengan pemerintah. IM bahkan mendukung gerakan penggulingan Raja Faruk pimpinan Gamal Abdel Nasser. Gerakan ini pada kenyataannya berhasil menurunkan Raja Faruk dan menempatkan Nasser ke tampuk kepemimpinan Mesir.

Pada awalnya, pemimpin IM termasuk Qutb mendukung pemerintahan Nasser. Namun seiring berjalannya waktu, Nasser tidak mengakomodasi kepentingan IM dalam pemerintahannya. Nasser juga tidak menjalankan negara dengan berdasar syariat Islam seperti yang IM harapkan. Nasser justru memerintah Mesir dengan kebijakan yang cenderung sosialistik. Hal itulah yang nanti menjadi penyebab munculnya kekecewaan di internal IM terhadap pemerintah. Kekecewaan tersebut ujungnya bermuara pada keinginan para pimpinan IM untuk menurunkan Nasser dari kekuasaan.

Nasser yang mencium gelagat demikian dengan sigap meringkus Sayyid Qutb dan beberapa pimpinan IM lain atas tuduhan penggulingan Presiden. Setelah para pemimpinnya ditangkap, manuver IM bukannya mereda seperti yang dibayangkan Nasser. Gerakan IM malah makin menjadi-jadi. Dari dalam penjara dan di tengah penyiksaan yang tiada henti, Qutb masih memimpin perjuangan melawan pemerintah. Qutb bahkan menulis beberapa buku yang oleh para aktivis IM seperti dijadikan pedoman perjuangan yakni, Fi Zilal al-Qur'an dan Ma'alim fi'l-Tariq.

Kedua buku ini sangat berpengaruh pada masanya karena muatannya yang radikal dan berbeda dengan pandangan umum umat Islam kala itu. Dalam buku Ma'alim fi'l-Tariq misalnya, Qutb menganalisis kondisi umat Islam yang menurutnya telah masuk ke era jahiliyah modern karena hidup dalam sistem yang bukan islami. Sistem yang dimaksud adalah komunisme, kapitalisme, liberalisme, nasionalisme, dan isme-isme lainnya.

Di buku Ma'alim fi'l-Tariq, Qutb mendefinisikan jahiliyah sebagai segala sistem kehidupan yang tidak didasari oleh Islam. Definisi demikian berbeda dengan pandangan umum para ulama yang mengartikan jahiliyah sebagai fenomena sosial, seperti primitif, miskin, bodoh, buta huruf, atau terbelakang.

Di sini Qutb melakukan terobosan pemikiran yang tidak dilakukan oleh para pemikir Islam lainnya. Qutb membawa istilah jahiliyah ke dalam nuansa politik dan perlawanan atas sistem yang berlaku. Hal itulah yang membuat gagasan ini berpengaruh sangat luar biasa di kalangan aktivis pergerakan Islam saat itu. Qutb memberi kebaruan pemikiran dan semangat pembebasan atas situasi dunia Islam yang terpuruk akibat imperialisme Barat.

Dalam menyusun gagasannya tersebut, Qutb dipengaruhi oleh pandangan ideolog Jami’at Islami Pakistan, Abu A’la al-Maududi (1903-1979). Menurut As’ad Said Ali dalam Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014), Maududi terkenal karena idenya soal al-hakimiyyah lillah yang berarti kedaulatan adalah milik Allah. Bagi Maududi, kedaulatan manusia apa pun bentuknya adalah semu dan hanya pemberian Allah. Tidak boleh ada kedaulatan  manusia di bumi dan hanya kedaulatan Allah yang ada. Hukum yang berlaku haruslah hukum buatan Allah, bukan hukum buatan manusia.

Dalam pandangan tersebut, apabila kehadiran negara memang dibutuhkan harus diabdikan untuk mewujudkan kedaulatan Allah yang didasarkan semata hanya kepada Al-Qur’an dan Sunah. Di mata Maududi, tidak boleh ada landasan hukum selain keduanya dalam penyelenggaraan negara. Itu sebabnya ia menolak nasionalisme dan demokrasi Barat karena, tidak menjadikan kedaulatan Allah sebagai fondasi, melainkan menjadikan kedaulatan manusia atau rakyat sebagai pedoman bernegara.

Gagasan Maududi inilah yang kemudian disempurnakan oleh Sayyid Qutb seperti termuat dalam Ma'alim fi'l-Tariq. Qutb mengelaborasi lebih jauh ide soal kedaulatan Allah dengan situasi zaman yang sedang berjalan. Menurut Qutb, umat Islam masuk ke era jahiliyah modern karena dipengaruhi oleh paham kedaulatan di tangan manusia, layaknya ide-ide politik di Barat. Karena itu, untuk menegakkan kedaulatan Allah, umat Islam harus membebaskan dirinya dari sistem jahiliyah modern dan menjalani kehidupan dengan hanya berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunah.

Mekanisme agar umat Islam bisa hidup semata berdasar norma-norma Islam, bagi Qutb, hanya dapat diwujudkan apabila pemerintahan Islam lahir. Artinya, kedaulatan Allah akan tegak berdiri apabila negara Islam lahir dan jahiliyah modern lenyap dari tatanan sosial umat muslim.

Pada titik ini, Qutb bersimpang jalan dengan Hassan al-Banna dan pemimpin IM lain macam Hassan al-Hudaybi. Qutb berpandangan bahwa, usaha menegakkan negara Islam dan pembebasan atas tatanan jahiliyah harus dilakukan secara aktif melalui jihad. Qutb melihat bahwa jihad tidak bisa dipahami secara defensif, hanya sebatas apabila terjadi serangan dari musuh.

Jihad bagi Qutb pada dasarnya bersifat aktif guna menegakkan keadilan dan kehormatan Islam. Dalam konteks tersebut, selama ada ketidakadilan dan ada kondisi saat kehormatan Islam dirusak, di mata Qutb umat Islam wajib berjihad. Dari pemahaman semacam inilah kemudian Qutb membenarkan metode perjuangan bersenjata sebagai perlawanan atas ketidakadilan yang oleh Qutb sendiri direpresentasikan dengan negara dan sistem jahiliyahnya.

Hal demikian berbeda dengan model perjuangan Banna seperti diikuti oleh Hudaybi. Banna telah membuat langkah-langkah perjuangan, mulai dari al-dakwah al-ammah, al-dakwah al-khasshah, dan diakhiri iqamat al-daulah. Sedangkan Qutb tidak terlalu peduli dengan langkah-langkah ini. Qutb malah mengambil jalur jihad aktif sebagai jalan mewujudkan negara Islam daripada melewati langkah-langkah ala Banna. Inilah yang nantinya menjadi penyebab munculnya faksi Banna dan Qutb dalam model perjuangan IM.

Gagasan Qutb tidak berbeda jauh sebenarnya dengan gagasan Jamaluddin al-Afghani selaku pelopor awal ide Pan-Islamisme. Keduanya sama-sama menginginkan agar umat Islam hidup dalam bingkai Al-Qur’an dan Sunah serta berada dalam naungan pemerintahan Islam. Bedanya, Afghani seperti diulas Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (1985), masih menerima demokrasi sebagai cara bagaimana pemerintahan dikelola. Sedangkan Qutb menolak secara mutlak segala sistem yang tidak berasal dari islam.

Pengaruh Sayyid Qutb dalam Dinamika Politik Timur Tengah

Berbagai gagasan Sayyid Qutb pada kenyataannya berhasil memesona dan mempengaruhi banyak orang. Meskipun ia meninggal pada 1966, tapi pemikirannya berkembang luas dan menginspirasi aktivis-aktivis Islam di berbagai tempat untuk menjadikan idenya sebagai ideologi perjuangan. As’ad Said Ali (2014) merinci beberapa organisasi yang secara jelas memakai ide Qutb sebagai basis gerakan, di antaranya adalah Jamaat al-Muslimin, Jamaah Jihad/Tanzimul Jihad, dan Jamaah Islamiyah.

Jamaat al-Muslimin, kelompok ini dipimpin Syukri Musthofa. Ia merupakan bekas aktivis IM yang berhasil membentuk sel baru di dalam tubuh IM dengan menjadikan gagasan Sayyid Qutb sebagai fondasi bergerak. Organisasi ini berdiri setahun sebelum Qutb digantung, tepatnya pada 1965. Dengan memakai perspektif Qutb, Musthofa berpandangan bahwa pemimpin Mesir saat itu beserta para pengikutnya masuk kategori kafir dan layak diperangi karena tidak menjalankan hukum-hukum Allah. Ia mencela pemerintahan Mesir sebagai penyembah berhala karena menjadikan demokrasi dan sosialisme sebagai pegangan bernegara. Kaum muslimin di mata Musthofa wajib melawan dan menggulingkan pemerintahan kafir. Baginya, siapa pun yang tidak ikut perjuangan melawan pemerintahan kafir sama saja dengan kafir.

Pandangan ini jelas menimbulkan reaksi dari banyak kalangan, entah dari dalam atau luar IM. Namun Musthofa tetap bergeming. Ia bersama pengikutnya bahkan tak segan melakukan kekerasan kepada siapa pun yang berseberangan ideologis dengan mereka. Hal itu terbukti dengan peristiwa pembunuhan Guru Besar Al-Azhar, Muhammad Adz-Dzahabi yang secara terbuka mengkritik pemikiran kelompok ini. Musthofa beserta beberapa orang lainnya kemudian ditangkap dan dihukum mati atas tragedi ini. Setelah kasus pembunuhan Adz-Dzahabi, kelompok ini lebih sering disebut Jamaah Takfir wal Hijrah karena aktivitasnya yang kerap mengafirkan siapa pun yang tidak setuju dengan mereka.

Jamaah Jihad/Tanzimul Jihad, asal usul kelompok ini sesungguhnya berasal dari Tanzim al-Khas yang merupakan pasukan khusus milik IM. Pasukan ini dibentuk pada 1948 dalam rangka turut serta dalam perang Arab-Israel di tahun yang sama. Mereka yang terpilih di dalamnya dididik secara militer dan aqidah. Mereka dilatih untuk berjihad dan hanya menaati komando dari mursyid aam IM.

Setelah perang Arab-Israel berakhir, anggota Tanzim al-Khas tetap bergerak dengan membawa semangat jihad melawan kekafiran dan kemungkaran. Mereka melakukan banyak kekerasan kepada musuh-musuh politiknya di Mesir, termasuk pembunuhan kepada PM Mesir Nukrashi pada 1948 atau percobaan pembunuhan kepada Nasser pada 1954. Faksi jihad dalam tubuh IM ini akhirnya memisahkan diri pada 1958 dan membentuk organisasi baru bernama Tanzimul Jihad atau Jamaah Jihad dengan Ismail Thantawi sebagai pemimpinnya.

Jamaah Jihad punya misi untuk mengobarkan jihad ke seluruh Mesir dengan melawan pemerintahan yang tidak menjadikan Islam sebagai pegangan utama. Mereka menyerukan bahwa umat Islam di mana pun berada sebelum turut serta dalam gerakan pembebasan Palestina dari Israel, sebaiknya terlebih dulu membebaskan negerinya sendiri dari cengkeraman pemerintah kafir yang membela zionis.

Bagi Jamaah Jihad, sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk berjihad menentang pemerintahan yang demikian. Karena itulah, mereka sama seperti Qutb yang fokus berjuang melawan pemerintah Mesir dengan jalur kekerasan. Peristiwa pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1973 adalah ulah dari Jamaah Jihad. Mereka menganggap Sadat telah kafir dan layak dibunuh.

Atas berbagai sepak terjangnya itu, kelompok ini dikejar-kejar pemerintah dan akhirnya memaksa mereka untuk minggat dari Mesir. Nantinya, salah seorang anggota Jamaah Jihad bernama Ayman az-Zawahiri muncul menjadi sosok penting kelompok jihadis dunia karena mendirikan Al-Qaeda bersama Osama bin Laden.

Jamaah Islamiyah, organisasi ini berdiri pada 1973 dengan Umar Abdurrahman sebagai pemimpinnya. Umar sebenarnya adalah anggota Jamaah Jihad. Hanya saja karena pemerintah Mesir memburu seluruh anggota Jamaah Jihad, Umar mengelabui aparat dengan membentuk Jamaah Islamiyah sebagai bentuk baru dari IM dan Jamaah Jihad.

Secara ideologi tak ada perbedaan mencolok antara Jamaah Islamiyah dengan Jamaah Jihad dan Jamaah Takfir wal Hijrah. Ketiganya sama-sama fokus pada jihad menggulingkan pemerintahan Mesir dan bercita-cita membentuk pemerintahan Islam yang hanya berpegang pada Al-Qur’an dan Sunah. Ketiganya juga sama-sama setuju dengan ide Sayyid Qutb tentang jahiliyiah modern dan al-hakimiyyah al-illahiyyah. Bedanya mereka hanya dari tafsiran bagaimana jihad diwujudkan.

Jamaah Islamiyah masih membuka ruang untuk jihad secara halus melalui dakwah di samping jihad bersenjata. Sedangkan Jamaah Jihad dan Jamaah Takfir wal Hijrah menganggap jihad hanya lewat senjata. Di luar itu, ketiganya sama saja. Sama-sama menyerukan jihad melawan pemerintah Mesir serta berbagai simbol jahiliyah modern.

Inspirator Politik Islam Radikal

Ketiga kelompok yang telah disinggung di atas merupakan bukti bagaimana pemikiran Sayyid Qutb bisa mempengaruhi berbagai orang dan kelompok setelah kematiannya. Qutb menjadi sosok yang bertanggung jawab atas kemunculan berbagai organisasi radikal yang prokekerasan.

Berbagai kelompok tersebut tidak mungkin muncul dan memiliki keyakinan kuat atas tindakannya apabila Qutb tidak menyebarkan pandangannya terkait jihad, jahiliyah modern, dan kedaulatan Allah secara luas. Qutb menjadi inspirator sekaligus ideolog dari mereka semua.

Begitu besar pengaruh seorang Sayyid Qutb membuat mustahil meminggirkan namanya dari diskursus politik radikal kontemporer. Qutb adalah kunci untuk melihat dan memahami cara berpikir berbagai kelompok radikal di tubuh Islam dewasa ini.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Willy Vebriandy

Penulis Lepas, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.