Satu Hal yang Tak Pernah Boleh Sirna

slider
24 Desember 2021
|
1809

Baru-baru ini saya membaca berita tentang Kevin Strickland, seorang pria yang mendekam di penjara di Kansas City sejak 1979. Saat itu umurnya 18 tahun, dan di akhir 2021 ini, saat umurnya 62 tahun, ia baru dibebaskan—setelah diputuskan tidak (pernah) bersalah atas kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya.

Membaca berita tentang Kevin membuat ingatan saya terlempar pada film legendaris berjudul The Shawshank Redemption, yang rilis pada 1994—tahun saat film-film bagus seperti Pulp Fiction, Forrest Gump, dan The Lion King juga muncul. Catatan selingan: The Shawshank Redemption adalah film dengan rating tertinggi kedua dengan skor 9,3/10 di situs IMDb (Internet Movie Database), situs perfilman yang sangat—kalau bukan yang paling—populer di semesta maya.

The Shawshank Redemption mengisahkan tentang seorang bankir, bernama Andy Dufrense (diperankan Tim Robbins), yang dihukum penjara setelah persidangan memutuskan dirinya bersalah sebagai pelaku pembunuhan istri dan selingkuhannya.

Andy, yang meskipun memang sempat memiliki keinginan untuk membunuh mereka, bukanlah pelaku. Ia menjalani hukuman bertahun-tahun di penjara sebagai innocent man—sebagaimana Kevin Strickland itu. Sampai akhirnya, pada tahun ke-19 di penjara, Andy berhasil melarikan diri dan “merebut kembali hidupnya” dari tangan ketidakadilan.

Selama 19 tahun itu Andy berjuang menjalani bangkarnya kehidupan di penjara. Mulai dari hukuman-hukuman berbentuk kekerasan dari para sipir, eksploitasi kemanusiaan oleh kepala penjara, sampai menghadapi tahanan-tahanan lain yang homoseksual. Itu kesulitan fisik, bagaimana pula dengan tekanan mental yang harus dijalani Andy? Mengapa Andy—yang kehilangan pekerjaan, istri tercintanya, dan seluruh hidupnya—tidak, misalnya, bunuh diri saja (sebagaimana Brooks temannya)?

Bagi saya, Andy (secara khusus) dan film The Shawshank Redemption (secara umum) memberikan petunjuk akan satu hal penting yang tidak pernah boleh sirna dalam diri (hidup) kita: harapan. Harapan itulah yang menjadi kekuatan Andy untuk mampu bertahan, dan mendorongnya untuk mengalahkan “nasib buruk” yang menimpa. Harapan itulah yang membuatnya tidak mau menyerah pada berbagai kesulitan hidup. Harapan itulah yang terus meyakinkannya bahwa hal-hal baik pasti datang, dan ia pasti mendapatkan kembali keadilan dan kehidupannya.

Dalam salah satu dialognya, Andy mengatakan kepada temannya, Red (diperankan Morgan Freeman), “Remember Red, hope is a good thing, maybe the best of things, and no good thing ever dies.

Harapan adalah part of life, ia menyatu bersama keberadaan diri kita dan mustahil untuk dipisahkan. Sebab hidup kita adalah bangunan yang tersusun dari harapan-harapan. Kita menjalani hidup dengan dan melalui satu harapan ke harapan yang lain. Saat sekolah kita punya harapan untuk bisa memahami materi pelajaran dengan baik, lalu berharap mendapat nilai yang juga baik, sehingga bisa lulus dengan baik. Kemudian kita melanjutkan hidup dengan harapan-harapan yang baru: untuk memperoleh pekerjaan yang baik, pasangan yang baik, keturunan yang baik, lingkungan yang baik, masa tua yang baik, sampai akhir hidup yang baik—juga kehidupan setelah kematian yang baik.

Harapan memberikan kita arti dan tujuan hidup, serta berperan krusial untuk membukakan jalan (dan mengalahkan berbagai rintangan) untuk mencapai tujuan tersebut. Sebaliknya, seseorang yang menolak atau tidak memiliki harapan sama seperti orang yang “bunuh diri”, mereka memilih “hidup dalam kematian”. Tanpa harapan, hidup menjadi meaningless—hidup menjadi tak terarah, tak mempunyai sesuatu yang mesti dicari dan diperjuangkan.

Bahkan pada titik paling ekstrem, seseorang yang berputus asa atau pesimis, yaitu seseorang yang tidak punya atau berhenti percaya pada harapan, akan amat dibenci oleh Allah. Sampai-sampai dikatakan dalam surah Yusuf ayat 87, “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” Disebut kafir karena mereka yang berputus asa sama dengan mengingkari anugerah dari Allah. Allah menganugerahkan harapan sebagai fitrah umat manusia, dan karenanya, berputus asa merupakan suatu bentuk kekufuran.

Ada dua sisi dari putus asa yang mesti dipahami. Putus asa dapat berarti ketidakyakinan akan kemampuan diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Bisa pula, yang lebih parah, berarti ketidakpercayaan pada harapan itu sendiri. Pada pengertian yang pertama, seseorang masih meyakini harapan itu ada, hanya saja dirinya merasa tidak mampu untuk menggapai atau mewujudkannya. Pada pengertian yang kedua, seseorang sudah membuang harapan tersebut, tidak percaya lagi bahwa harapan itu ada, dan (sekalipun ia mampu) tak akan berusaha mewujudkannya.

Keduanya jelas perilaku mental yang buruk. Untuk itu, sebagai upaya guna menjaga harapan senantiasa hidup dan bersemai dalam diri, serta menjauhi sikap putus asa, ada beberapa hal kunci yang mesti kita lakukan. Antara lain ialah memperbanyak pengetahuan dan meningkatkan keterampilan, membentuk lingkungan sosial yang suportif dan setujuan dengan harapan yang kita miliki, dan, yang paling, meningkatkan religiusitas—kepercayaan pada Allah adalah sumber terbaik optimisme.

Merumuskan Harapan

Harapan memang bersifat bebas. Kita bisa saja mengharapkan apa pun. Bahkan, dalam konteks penemuan besar (dalam berbagai bidang kehidupan), yang menghasilkan beragam kemajuan bagi dunia, sering kali diawali dari harapan-harapan yang bersifat imajinatif. Namun, tetap saja kita mesti menginsyafi diri bahwa kita memiliki keterbatasan—agama juga memberikan batasan terkait apa-apa yang boleh dan tidak boleh kita harapkan.

Dengan demikian, kita mesti merumuskan harapan yang tepat. Setidaknya, harapan yang tepat itu, pertama, ialah yang dapat dicapai secara rasional—harapan yang bisa terjadi dan terwujud. Seorang mahasiswa yang sudah semester empat belas tentu tidak rasional apabila masih mengharapkan bisa lulus dengan predikat cum laude. Seorang yang sudah berumur empat puluh tahun tidaklah logis kalau masih menginginkan jadi pemain badminton profesional.

Karena itu, kedua, kita mesti memancang harapan yang dapat kita kendalikan, harapan yang dapat kita jangkau dengan kemampuan dan usaha. Misalnya, seseorang yang sudah berumur empat puluh tahun memang tidak mungkin menjadi pemain badminton profesional, tetapi ia dapat menjadi pengurus organisasi badminton—itulah harapan yang mungkin dan mampu untuk ia kejar.

Ketiga, harapan yang tepat adalah harapan yang penting bagi individu yang bersangkutan. Poin ini mensyaratkan kemampuan kita untuk menyeleksi. Mengupayakan harapan yang penting dan membawa manfaat bagi hidup kita, serta menyisihkan harapan yang bukan prioritas dan minim faedah. Dengan begitu, kita tidak mudah kecewa akibat harapan-harapan sepele yang tidak tercapai. Misalnya, kita berharap memenangkan pertandingan saat bermain Playstation dengan teman kita. Kalaupun kita ternyata kalah, toh itu bukan harapan yang penting, sehingga tidaklah jadi soal.

Keempat, harapan yang tepat adalah harapan yang dapat diterima dan sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan sosial, moral, dan agama. Adalah tidak bijaksana kalau kita mengharapkan sesuatu yang tidak selaras dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat, serta bertentangan dengan ajaran moral dan ketentuan agama. Untuk itu, kita perlu berhati-hati dalam mengharapkan sesuatu. Harapan yang tidak direstui lingkungan sosial dapat memberi dampak yang buruk bagi diri kita, bahkan, kalau tidak sejalan dengan nilai agama bisa menjerumuskan kita pada dosa.

Penyempurna Harapan

Meskipun harapan adalah sumber kehidupan, tetapi harapan juga bisa menjadi sumber kehancuran. Ada yang bilang, hanya orang yang berharaplah yang akan merasakan kecewa. Sampai taraf yang paling berbahaya, kekecewaan tersebut dapat menjelma kebencian, dan akhirnya, kebencian itu melahirkan konflik.

Untuk menghindari paradoks harapan itu, kita tidak boleh hanya bertumpu pada harapan dan usaha diri semata. Sebab memang kita tidaklah seratus persen punya kuasa atas hidup kita. Oleh karena itu, kita harus menyempurnakan harapan dan usaha dengan satu unsur penting yang bernama doa.

Dengan berdoa, kita menyadari keterbatasan dan kelemahan kita. Kesadaran itulah yang nantinya mengantarkan kita pada kerelaan atas hasil apa pun yang Allah berikan terhadap harapan dan usaha kita. Kalau pengharapan yang kita usahakan tercapai, kita bersyukur. Kalaupun tidak, kita akan rida. Toh semuanya merupakan kehendak Allah, dan Allah selalu tahu yang lebih baik untuk kita.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febrian Eka Ramadhan

Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid #5. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Penulis buku Satu Hal Yang Tak Boleh Sirna: Esai-Esai Pilihan (2022).