Riwayat Pejuang Keadilan yang Hilang
Judul Buku : Laut Bercerita | Penulis : Leila S. Chudori | Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta | Tahun Terbit : Oktober, 2017 | Tebal : xiii + 379 halaman | ISBN : 978-602-424-694-5
Cerita dalam novel Laut Bercerita yang baru selesai saya baca membuat saya tersentak sekaligus mengelus dada. Tema yang diangkat cukup kontoversial, yakni tentang sejarah kelam masa Orde Baru. Penulis Leila S. Chudori seolah membangkitkan kembali ingatan kita dengan peristiwa kelam yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru. Salah satunya adalah pelanggaran HAM berupa penculikan paksa dan penghilangan aktivis ‘98.
Sebagaimana lazimnya diketahui, masa Orde Baru menjadi masa paling suram sejak republik ini berdiri. Kesejahteraan hidup hanya dimiliki oleh para penguasa. Mereka bertindak sewenang-wenang. Tanpa rasa bersalah mereka merugikan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sedangkan rakyat yang berani menentang akan mendapatkan hukuman. Bahkan tidak jarang nyawa menjadi taruhannya.
Cerita pada novel ini bermula ketika Laut, Kinan, Alex, Sunu, Daniel, dan teman-teman mahasiswa Yogyakarta lainnya membentuk organisasi Winatra dan Wirasena sebagai perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru. Mereka semua adalah mahasiswa kritis dan idealis yang peduli terhadap nasib rakyat kecil. Dengan semangat dan perjuangannya, mereka percaya bahwa suatu saat rakyat dapat terbebas dari cengkeraman pemerintahan Orde Baru. Mereka juga meyakini Indonesia akan segera mengalami reformasi dan segera membentuk tatanan baru yang lebih memihak pada mereka yang kurang beruntung.
Laut dan teman-temannya memulai pergerakannya dengan mencari basecamp yang aman dari pengawasan aparat. Mereka pun menemukan sebuah kontrakan di Desa Pete Margodadi Godean (hlm. 16) yang jauh dari kampus dan pusat kota. Di tempat itulah mereka merencanakan dan menyatukan tujuan mulia guna menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ikatan kekeluargaan yang terbentuk semakin meyakinkan mereka dalam memperjuangkan nasib rakyat yang kurang diuntungkan.
Berbagai kegiatan dilakukan untuk menghidupkan ruh organisasi. Seperti mengadakan diskusi sebagai tambahan khazanah intelektual hingga menyusun strategi aksi. Setelah rencana disusun, para aktivis Winatra dan Wirasena mulai bergerak ke beberapa daerah, salah satunya Jawa Timur dalam aksi tanam jagung di Blangguan (hlm. 112) sebagai bentuk solidaritas kepada para petani. Namun aksi itu gagal karena aparat menjaga ketat daerah tersebut.
Gerakan demi gerakan yang dilakukan Laut dan teman-temannya lamat-lamat tercium oleh aparat. Status mereka beralih menjadi buronan. Gerakan yang mereka lakukan dinilai ingin menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Satu persatu dari mereka pun ditangkap dan ditahan oleh aparat di sel bawah tanah. Di tempat gelap itu, mereka mendapatkan siksaan pedih, mulai dari dipukul, ditendang, disetrum listrik, dibaringkan di atas balok es, dan berbagai siksaan yang membuat tubuh mereka terluka parah.
Setelah berbulan-bulan berada dalam tahanan, mereka akhirnya dibebaskan. Namun hanya tiga orang yang dikembalikan ke keluarganya, yaitu Alex, Daniel, dan Naratama. Sedangkan Laut, Kinan, Sunu, serta 9 aktivis lainnya (total 13 orang) dihilangkan. Mereka mati dengan cara tragis, dimasukkan ke dalam tong besar dan ditenggelamkan ke dasar laut. Tindakan seperti ini bukan hanya kejam, tapi tidak lagi memanusiakan manusia.
Hilangnya para aktivis Winatra dan Wirasena menimbulkan luka mendalam bagi keluarga korban. Bapak dan Ibu Laut belum bisa menerima kenyataan kalau putra sulungnya sudah meninggal. Mereka percaya bahwa Laut, sosok pendiam yang sering berkata lewat tulisan, suatu saat pasti akan kembali. Dalam imajinasi orang tuanya, Laut selalu hadir di meja makan setiap Minggu sore yang memang menjadi waktu milik keluarga. Bahkan ibunya tetap menyediakan kursi dan semangkuk tengkleng untuk Laut.
Melihat keanehan orang tuanya, Asmara adik Laut, mencoba memberikan pengertian agar tidak perlu mengharapkan lagi kabar Laut. Apalagi setelah ia bersama Anjani (kekasih Laut), dan korban yang selamat, dengan bantuan Komisi Orang Hilang, sudah berusaha melacak jejak para aktivis yang dihilangkan (hlm. 239). Mereka juga terus mendorong pemerintah untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun berbagai usaha yang dilakukan tetap tidak membuahkan hasil. Mereka yang hilang tetap tidak ditemukan meskipun dalam bentuk seonggok mayat.
Secara garis besar novel Laut Bercerita mengisahkan perjuangan mahasiswa dan aktivis dalam menegakkan keadilan di Indonesia. Tetapi perlawanan mereka justru berujung pada siksaan tragis hingga harus bersua dengan ajal. Meskipun fiktif, ide cerita dalam novel ini diilhami oleh kisah nyata di masa pemerintahan Orde Baru. Dalam prosesnya, penulis yang juga merupakan wartawan Tempo melakukan investigasi berdasarkan pengalaman aktivis ’98 yang selamat, keluarga korban, maupun pihak lain terkait. Bahkan beberapa karakter dalam novel ini juga terinspirasi dari para aktivis ’98 yang pro-demokrasi.
Novel ini dengan cepat membawa memori kita ke belakang dalam tragedi kemanusiaan. Kasus pelanggaran HAM yang mengorbankan para aktivis menjadi kejahatan berat yang masih belum rampung dan bertemu ujung. Tercatat, ada banyak aktivis yang hilang dan belum ditemukan sampai saat ini. Salah satu di antaranya yang terkenal dan kerap menjadi simbol perlawanan adalah penyair Wiji Thukul.
Di novel ini kita bisa melihat bahwa karya sastra merupakan pantulan dari realitas kehidupan masyarakat. Novel Laut Bercerita menjadi semacam album yang menampilkan potret kelam masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu juga sebagai saksi bahwa di balik kebebasan yang tengah kita rayakan belakangan ini, terdapat perjuangan besar para aktivis yang rela kehilangan segalanya.
Sebagai pungkasan, ada kutipan menarik dari novel ini, “Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.” Atas nama kepentingan, setiap teman bisa menjadi orang pertama yang menegasikan perjuangan kita demi iming-iming kedudukan.
Category : resensi
SHARE THIS POST