Relasi Agama dan Negara ala Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan seorang intelektual Muslim yang paling populer dan paling berpengaruh di kalangan umat Islam. Pemikirannya mencakup keseluruhan aspek ajaran Islam. Al-Ghazali memberikan sumbangsih pemikirannya yang kompleks dan signifikan, mulai dari tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, pendidikan hingga politik.
Daya tarik al-Ghazali tersebut hingga membuat generasi sesudahnya berbondong-bondong mengkaji pemikirannya dari berbagai aspek. Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali lahir di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus, Khurasan pada tahun 1059 M/450 H dan meninggal di kota yang sama pada 1111 M/501 H.
Perjalanan intelektual al-Ghazali termasuk cukup sulit dan berliku. Bahkan ia pernah mengalami krisis dalam hidupnya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk melabuhkan diri dalam kehidupan sufistik. Lika-liku perjalanan intelektual Al-Ghazali tak dapat dipisahkan dari lingkungan sosio-politik umat Islam yang terjadi saat itu. Pada masa ini, ia menyaksikan langsung kondisi umat Islam yang sudah mengalami disintegrasi dan demoralisasi (Muhammad Iqbal, 2010: 25).
Kondisi tersebut ditandai dengan adanya beberapa kalangan ulama dan ahli hukum yang tersandung perilaku korup. Selain itu, intrik-intrik politik di kalangan para pimpinan pemerintahan yang inkoheren dengan nilai-nilai Islam marak terjadi pada masa itu. Bahkan, pembunuhan antara sesama saudara dalam perebutan kekuasaan menjadi hal yang lumrah.
Selain itu, kekuasaan Bani Abbasiyah semakin melemah. Ulama dan ahli hukum menjadi boneka dari ambisi politik para oligarki dan persaingan antara pejabat-pejabat tinggi negara dan para panglima militer kerajaan. Para menteri lebih berkuasa dibandingkan khalifah sendiri. (Munawir Sjadzali, 1990: 39).
Sementara di luar istana Baghdad, berdiri negara-negara kecil, baik di bagian timur maupun di barat, yang tidak mau tunduk kepada khalifah. Melihat kondisi demikian, jika masih bersikukuh untuk tetap hidup di tengah-tengah kemerosotan, ia khawatir akan ikut terseret arus dan melakukan perbuatan mungkar. Al-Ghazali sendiri mengecam keras situasi tersebut dan di dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II, ia berkata: “Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin disebabkan oleh kerusakan para ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Siapa yang dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil” (al-Ghazali, 1964: 229). Oleh karena itu, al-Ghazali memutuskan untuk pergi ke Damaskus dan menjalankan kehidupan sufistiknya.
Al-Ghazali memiliki pandangan yang sama dengan al-Mawardi bahwa imamah (pemimpin) adalah wajib. Pemikirannya terkait hal ini terdapat dalam salah satu karyanya Al-Iqtishâd fi al-I`tiqâd (Sikap Lurus dalam I’tiqad). Al-Ghazali menggambarkan relasi antara agama dan kekuasaan politik dengan ungkapan: “Sultan (kekuasan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam yang merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.” (Al-Ghazali, 1969: 215). Al-Ghazali memandang begitu dekat dan kuat relasi antara agama dan kekuasaan politik. Agama sebagai dasar, sementara imam sebagai penjaganya.
Bagi al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tak mampu hidup tanpa bantuan orang lain. Pandangan inilah yang membuat perlunya hidup bermasyarakat dan bernegara. Kendati demikian, al-Ghazali menjelaskan bahwa pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat. Bagi al-Ghazali, kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan akal (rasio), tetapi berdasarkan kewajiban agama (Syar’i).
Al-Ghazali beranggapan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak akan tercapai tanpa pengejawantahan dan penghayatan agama secara benar. Karena itu, bagi al-Ghazali agama dan negara bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari rahim seorang ibu yang sama. Keduanya saling melengkapi. Bahkan, politik (negara) menempati posisi yang sangat urgen dan strategis, yang hanya berada setingkat di bawah kenabian (Al-Ghazali, 1994: 136).
Prinsip kepatuhan kepada kepala negara juga sangat ditekankan oleh al-Ghazali. Dalam karyanya yaitu al-Tibr al-Masbûk (Nasihat Bagi Penguasa), ia menjelaskan bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia. Pertama, para nabi dan rasul Allah. Mereka diutus untuk memberikan keterangan kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan dalil-dalil beribadah kepada-Nya. Mereka juga menerangkan kepada manusia bagaimana cara mengenal Allah. Kedua, penguasa. Kelompok ini diutamakan Allah, karena mereka dapat menjaga umat manusia dari sikap permusuhan antara satu dengan yang lainnya. Kemaslahatan umat manusia di bumi sangat berkaitan dengan keberadaan penguasa ini. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, Allah menempatkan mereka pada posisi yang paling terhormat.
Maka dari itu, lanjut Al-Ghazali, setiap orang harus simpati dan tunduk kepada penguasa serta wajib mematuhi segala perintah mereka. Ia berpandangan bahwa kekuasaan kepala negara adalah suci dan berasal dari Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa kepala negara adalah “bayang-bayang Allah di muka bumi” (zhill Allâh fi al-ardh) (Munawir Sjadzali, 1991: 77-78). Hal ini lalu membuat kepala negara bertanggung jawab bukan kepada rakyat, melainkan kepada Tuhan.
Selain itu, al-Ghazali juga merumuskan kualifikasi kepala negara. Di antaranya, akil baligh, akal yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata, memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan dan wara’. Dari pemikiran al-Ghazali tersebut, ada beberapa catatan yang mesti dikritisi.
Pertama, mengutip pendapat Munawir Sjadzali, al-Ghazali menempatkan penguasa pada posisi sentral negara sebagai pilihan Tuhan. Hal ini membuat bentuk atau sistem pemerintahan negara tersebut bercorak teokrasi dan konsekuensinya akan menumbuhkan bibit-bibit otoritarianisme dalam Islam. Kedua, al-Ghazali terkesan masih berusaha untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan Bani Abbasiyah, yaitu kepala negara harus berasal dari suku Quraisy. Ketiga, pemikiran al-Ghazali terlihat sangat diwarnai oleh sikap keberpihakannya terhadap kekuasaan, dan doktrin politik Sunni begitu kuat dalam pemikirannya.
Rujukan :
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1964. Iß©½ya’ ‘Ulumuddin; Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama. Terj. Tengku Haji Ismail Yakub. Medan: Imballo.
———. 1969. Al-Iqtishâd fi al-I`tiqâd. Beirut: Dar al-Amanah.
———. 1994. Nasihat Bagi Penguasa. Terj. Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail. Bandung: Mizan.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sjadzali, Munawir. 1991. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST