Refleksi Pemikiran Byung-Chul Han Mengenai Masyarakat Pasca-Modern

slider
11 November 2024
|
635

Perkembangan teknologi informasi di era pasca-modern telah menyebabkan terjadinya informasi yang berlimpah (information overload). Kemajuan tersebut berdampak pada memudarnya ikatan sosial antarmanusia. Relasi sosial yang dahulu dilandasi oleh semangat solidaritas dan kebersamaan kini mengalami fragmentasi. Konsep “kita” yang sebelumnya merujuk pada kolektivitas yang saling mendukung, saat ini semakin melemah akibat menguatnya individualisme dan kelelahan yang disebabkan oleh tuntutan zaman.

Pembacaan Hikmat Budiman dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan (2006) menyatakan bahwa dunia manusia abad ke-21 ini adalah dunia yang penuh dengan huru-hara tanpa rasa haru. Informasi datang bertubi-tubi, silih berganti dalam kehidupan manusia, mengalir tanpa henti. Lewat koran, majalah, televisi, dan ketika internet berkembang pesat, informasi juga menyebar masif lewat dunia maya. Portal berita online, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan layanan pesan instan seperti WhatsApp dan Line, adalah rumah bagi informasi tentang apa pun dan dari siapa pun.

Kita memasuki zaman yang disebut kelebihan informasi. Aliran informasi yang begitu melimpah tidak lagi menyisakan ruang untuk pemaknaan yang mendalam. Masifnya informasi terutama dalam media sosial membuat seolah segala pertanyaan terjawab pada pasar digital. Hal ini berefek tidak adanya lagi batasan privat dan ruang publik. Tak jarang bermuara pada hilangnya rasa penasaran, kritis terhadap informasi, karena disebabkan tidak terkendalinya informasi yang overload.

Alih-alih membawa pencerahan, kelebihan informasi membuat manusia kerap kehilangan makna, visi, dan problem internal manusia itu sendiri seperti memaknai jati diri.

Salah satu dari sekian filsuf yang memetakan kajiannya pada problematika masyarakat pasca-modern adalah Byung Chul Han. Seorang filsuf dan kritikus budaya asal Korea Selatan yang saat ini berdomisili di Jerman. Han lahir pada 11 Februari 1959. Ia awalnya belajar metalurgi di Korea Selatan sebelum beralih ke filsafat ketika pindah ke Jerman.

Setelah beralih fokus ke filsafat, Han melanjutkan studi di Universitas Freiburg di bawah bimbingan filsuf terkenal, seperti Hans-Georg Gadamer. Han kemudian mengajar di berbagai universitas di Jerman, termasuk Universitas Basel dan Universitas Berlin, tempat ia mengembangkan karya-karya filsafat yang sangat berpengaruh.

Beberapa karya sudah dialih bahasakan ke bahasa Indonesia seperti The Bornout Society yang kali pertama diterbitkan pada 2015. Selain itu masih banyak karya terkenalnya seperti Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (2014), The Agony of Eros (2017), dan The Disappearance of Rituals: A Topology of the Present (2019).

Eksploitasi Diri dalam Masyarakat Prestasi

Byung Chul Han mengkaji fenomena masyarakat pasca-modern yang ia sebut sebagai “masyarakat depresi.” Menurut Han, tekanan untuk menjadi produktif, kompetitif, dan individualis dalam masyarakat saat ini semakin meningkat, menciptakan kondisi psikologis yang rentan terhadap depresi, kecemasan, dan kelelahan. Hal ini berbeda dengan masa lalu di mana ikatan sosial lebih kuat dan tekanan tidak sebesar sekarang.

Han juga menggagas konsep “masyarakat prestasi” (achievement society), di mana individu dituntut untuk selalu berprestasi, produktif, dan memperbaiki diri. Setiap orang dianggap sebagai proyek yang harus terus ditingkatkan. Namun alih-alih menciptakan kebahagiaan, tekanan berprestasi ini justru sering berujung pada krisis psikologis.

Han berpendapat bahwa dalam masyarakat prestasi, tekanan tidak lagi berasal dari kekuasaan eksternal seperti dalam masyarakat disiplin di masa lalu, melainkan dari dalam diri individu sendiri. Mereka mengeksploitasi diri sendiri demi memenuhi standar yang dipaksakan masyarakat. Hal ini menyebabkan peningkatan signifikan dalam kasus depresi, kecemasan, dan burnout.

Salah satu fenomena yang kerapkali terjadi terutama menimpa para remaja adalah isu pernikahan. Di Indonesia terkhusus, ketika seorang remaja memasuki usia kisaran 20-an, lingkungan sosial kerap memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat privatisasi. Pertanyaan seperti, kapan menikah? Apakah sudah memiliki pasangan atau calon? Pertanyaan-pertanyaan yang kerapkali akan menghantui setiap telinga para remaja. Tekanan sosial yang semacam ini bisa berasal dari tetangga, keluarga atau bahkan teman selingkungan. Meskipun tidak ada paksaan fisik atau formal, pertanyaan-pertanyaan tersebut menciptakan tekanan internal bagi individu untuk segera menikah.

Dalam pandangan masyarakat prestasi, tekanan ini terinternalisasi oleh individu, yang akhirnya merasa bahwa mereka harus mencapai “prestasi” berupa pernikahan agar sesuai dengan ekspektasi sosial. Tanpa sadar, individu mulai mengeksploitasi diri mereka sendiri dengan mempercepat proses pernikahan, bahkan tanpa mempertimbangkan kesiapan mental, emosional, atau finansial.

Sering kali, remaja yang terus menerus menerima pertanyaan semacam ini mulai merasa tidak nyaman atau merasa tertinggal jika belum menikah, meskipun mereka sebenarnya belum siap. Mereka terdorong untuk mengambil keputusan besar ini hanya untuk memenuhi standar sosial dan merasa “aman” dari cibiran atau komentar negatif dari lingkungan sekitar.

Tekanan sosial ini dapat menghasilkan keputusan yang tergesa-gesa. Beberapa individu mungkin menikah hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, bukan karena kesiapan pribadi. Akibatnya, dalam banyak kasus, mereka yang menikah terlalu cepat tanpa persiapan yang matang sering kali menghadapi masalah dalam pernikahan, seperti konflik emosional, kurangnya stabilitas keuangan, atau ketidakmampuan untuk menangani tekanan rumah tangga.

Alih-alih menemukan kedamaian dari keputusan menikah yang dipercepat, banyak dari mereka justru mengalami stres, depresi, atau bahkan burnout dalam hubungan rumah tangga. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial mengakibatkan ketidakbahagiaan jangka panjang, karena pernikahan yang dijalani tidak didasarkan pada kesiapan dan pemikiran yang matang, melainkan semata-mata untuk menghindari stigma sosial.

Masif Sosial Media dan Masifnya Depresi Masyarakat Pasca-Modern

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, masifnya sosial media di era ini, memungkinkan segalanya terekspos layaknya dunia konkret. Sulit membedakan mana yang mesti menjadi urusan privat dan publik. Seakan-akan semuanya adalah publik. Media sosial sering kali tampak seperti solusi bagi segala kebutuhan informasi, tetapi di sisi lain, ia justru membawa kita pada krisis makna dan tekanan internal. Krisis makna di sini melahirkan depresi bagi seseorang.

Menurut Han, depresi merupakan penyakit khas dalam masyarakat prestasi modern. Berbeda dengan masa lalu ketika depresi banyak disebabkan oleh represi eksternal, depresi dalam masyarakat saat ini lebih banyak berasal dari tekanan internal individu untuk terus berprestasi. Ketika individu tidak mampu mencapai standar yang diharapkan masyarakat, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri, yang pada akhirnya menimbulkan depresi.

Dalam buku The Burnout Society, Han menjelaskan bahwa depresi dalam masyarakat prestasi ini seringkali disertai dengan kelelahan yang mendalam, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Kelelahan ini disebabkan oleh ekspektasi yang tidak realistis dan tekanan untuk terus berproduksi secara konstan. Seperti contoh, influencer dan conten creator sosial media Tiktok yang mengeksposyur a day in my life. Dalam tren ini, pengguna memvideokan seluruh aktivitas harian mereka, mulai dari bangun tidur, bekerja, berolahraga, healing, dan bahkan makan malam. Tak jarang tren a day in my life mengindikasikan tips hidup bahagia, bagaimana menikmati hidup seharusnya, dan lain sejenisnya.

Para influencer dan conten creator mempresentasikan kehidupan mereka seolah-olah semuanya adalah prestasi yang layak untuk dibagikan. Bagi sang pembuat video, mereka merasa harus selalu menampilkan versi terbaik dari diri, seolah-olah sedang berkompetisi dengan standar sosial yang tidak nyata dan tidak realistis.

Sedangkan bagi sang penikmat video, munculnya rasa ingin menggapai prestasi yang begitu, padahal dalam kehidupan sehari-hariannya tidak semacam itu. Tidak sanggupnya memenuhi ekspektasi hidup yang semacam itu membuat seseorang mengalami depresi, mental yang buruk dan galau. Bagi pembuat video, selalu ingin menunjukkan “kesempurnaan” padahal secara nyata kehidupannya tidaklah begitu dan kerap melelahkan.

Belum lagi, para influencer dan conten creator mendorong pengikutnya untuk melakukan hal yang sama dengan pesan-pesan seperti, “Kerja keras sekarang, nikmati hasilnya nanti” atau “Jika kamu tidak produktif, kamu tertinggal.” Fenomena semacam ini memberikan tekanan terselubung bagi banyak orang untuk terus berprestasi.

Alih-alih merasakan kebebasan, individu dalam masyarakat prestasi merasa terbebani oleh ekspektasi internal. Mereka mulai merasa gagal jika tidak bisa mengikuti standar yang dipromosikan oleh media sosial. Akibatnya, mengalami kelelahan mental, kecemasan, bahkan depresi karena merasa tidak pernah cukup produktif atau sukses.

Bagaimana Seharusnya? Solusi Byung Chul Han

Han mengidentifikasi pergeseran paradigma dalam struktur masyarakat dari apa yang disebut Michel Foucault sebagai “masyarakat disiplin” menjadi apa yang ia istilahkan sebagai “masyarakat kinerja.”

Dalam masyarakat kinerja, individu tidak lagi didominasi oleh larangan dan kewajiban eksternal, melainkan oleh tuntutan internal untuk terus-menerus meningkatkan produktivitas dan pencapaian.

Han berpendapat bahwa pergeseran ini telah menghasilkan bentuk eksploitasi yang lebih halus namun lebih intensif, di mana individu menjadi “subjek kinerja” yang secara sukarela mendorong diri mereka melampaui batas-batas yang wajar.

Han berpendapat bahwa kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kinerja sebenarnya adalah ilusi yang menjebak. Meskipun tampaknya individu memiliki lebih banyak kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan ini justru menjadi alat untuk eksploitasi diri yang lebih intensif.

Motivasi internal untuk sukses dan berprestasi menggantikan paksaan eksternal, menciptakan lingkaran setan di mana seseorang terus-menerus berusaha melampaui batas mereka sendiri. Akibatnya, fenomena burnout, depresi, dan kelelahan kronis menjadi endemik dalam masyarakat kontemporer atau pasca modern.

Han juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai krisis negativitas dalam masyarakat modern. Menurutnya, masyarakat pasca-modern telah kehilangan kemampuan untuk “mengatakan tidak”, “untuk berhenti”, atau “untuk menerima keterbatasan.” Segala sesuatu harus positif, produktif, dan transparan, menghilangkan ruang untuk kekosongan, kebosanan, dan kontemplasi yang menurutnya penting untuk kreativitas dan pemaknaan jati diri.

Bagi Han, masyarakat pasca-modern mesti memiliki kapasitas untuk diam, merenung, dan tidak selalu produktif sebagai respons terhadap masyarakat kinerja yang terobsesi dengan aktivitas tanpa henti. Kemampuan untuk tidak melakukan, untuk berhenti, beristirahat, dan merenung  adalah solusi mengatasi epidemi kelelahan mental dalam masyarakat kontemporer.

Terakhir, solusi yang ditawarkan Han bukanlah penolakan total terhadap aktivitas atau produktivitas, melainkan pencarian keseimbangan baru. Ia menganjurkan kultivasi “pedagogi pengelihatan” yakni kemampuan melihat secara mendalam dan penuh renungan, yang berbeda dengan cara kita biasanya mengonsumsi informasi secara cepat dan dangkal di era digital ini.

Referensi:

Han, B. C. (2015). The Burnout Society. Stanford University Press. USA.

________ (2015). The Transparency Society. Stanford University Press. USA.

Budiman, Hikmat. (2006).  Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Azmi Wahdani. (2024). “Konsep Manusia Modern”, Skripsi. Bandung:  UIN Sunan Gunung Djati.

Peter Gordon Roetzel. (2019). “Information overload in the information age: a review of the literature from business administration, business psychology, and related disciplines with a bibliometric approach and framework development”. Business Research. Vol. 12, No 2. Hal. 479–522.

Anang Sugeng Cahyono. (2017).  “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia.” Publiciana. Vol. 9, N0. 1. Hal. 140-157.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Hariyanto

Santri Ngaji & Mahasiswa Afi S2 Uin Sunan Kalijaga