Refleksi ÔÇ£MemahamiÔÇØ dari Pemikiran Schleiermacher

slider
01 Maret 2020
|
1810

Pernahkah kita memikirkan tentang bagaimana cara memahami yang benar? Terutama tentang bagaimana cara memahami sebagai cara berempati terhadap suatu kejadian di lingkungan tempat kita tinggal. Kata “memahami” dapat diartikan sebagai suatu proses menangkap makna atau maksud dari sesuatu. Misalnya di dalam kehidupan sehari-hari kita berbicara dengan orang lain dan kita menangkap maksud atau makna kata-kata dari pembicaraan lawan bicara kita itu. Sampai di sini kita butuh yang namanya seni memahami.

Baca juga: Seni Memahami (Hermeneutik) Schleiermacher

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher yang didaulat sebagai bapak hermeneutik modern berpendapat bahwa kita perlu membedakan dua macam memahami terlebih dahulu, yaitu “memahami secara spontan” dan “memahami dengan upaya”. Dalam kehidupan sehari-hari kita berbincang satu sama lain tanpa suatu kesulitan karena kita bertolak dari suatu pemahaman bersama. Misalnya dalam satu keluarga, organisasi, maupun teman kuliah dan kerja, akan dengan mudahnya saling memahami satu sama lain, sebab kosakata maupun percakapan yang dilakukan berkutat di dalam wilayah pemahaman bersama. Sehingga akan saling memahami secara spontan terhadap apa yang dibicarakan maupun apa yang dilakukan.

Pemikiran romantisme hermeneutik Schleiermacher merupakan pemikirannya yang berangkat dari kegelisahannya yang lahir di zaman romantik. Schleiermacher dilahirkan pada 21 November 1768 di Breslau, Silesia, yang sekarang masuk wilayah Polandia, dan meninggal pada 1834. Berangkat dari kegelisahannya itulah ia memutuskan untuk mendalami studi filsafat, teologi, dan filologi di Universitas Halle. Di universitas itulah Schleiermacher untuk pertama kalinya membaca filsafat kritis Immanuel Kant.

Selain itu, perkenalannya dengan kepustakaan ilmiah dan filosofis serta roman-roman non-religius, antara lain yang ditulis oleh Johann Wolfgang von Goethe, membuatnya mulai bimbang untuk menjadi pengkhotbah atau ilmuwan.

Schleiermacher kemudian berkenalan dengan filsuf Friedrich Schlegel yang mendorongnya untuk menerjemahkan dialog-dialog dari filsuf besar Yunani, Plato. Pengaruh romantisme inilah yang membawa berminat pada kajian hermeneutik. Romantisme sendiri merupakan gerakan yang kritis terhadap Pencerahan abad ke-18 di Eropa. Sehingga Schleiermacher lebih dikenal sebagai teolog dan pengkhotbah daripada sebagai filsuf. Namun, kesibukannya dengan hermeneutik mewarnai karir perjalanan intelektualnya. Terutama sejak ia mengajar di Halle pada 1805 sampai tutup usia.

Dalam menjalani kehidupan keseharian, menurut Schleiermacher, kunci utama yang harus kita miliki ialah pemahaman, sedangkan ketidaksepemahaman ialah perkecualian. Kemudian barulah apabila terjadi kesalahpahaman, hermeneutik dibutuhkan. Sehingga hermeneutik modern lebih condong pada kesalahpahaman rutin sebagai titik tolak.

Menurut Schleiermacher, hermeneutika bertolak bukan dari pemahaman, melainkan sebaliknya yaitu dari kesalahpahaman. Jadi, situasi yang menjadi titik tolaknya adalah kesalahpahaman, sebagaimana sering terjadi antara satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. Hal tersebut bagi Schleiermacher disebut “kesalahpahaman sebagai hal yang sudah barang tentu”. Artinya masyarakat modern memiliki ciri khas sebagai masyarakat yang melahirkan kemajemukan cara menjalani hidup.

Menurut Schleiermacher lagi, kesalahpahaman muncul karena prasangka. Lebih lanjut, Schleiermacher menjelaskan bahwa apabila kita mementingkan perspektif kita sendiri sehingga salah memahami maksud pembicara atau penulis, maka kita telah berprasangka terhadapnya. Oleh sebab itu, pokok gagasan utama pemikiran romantisme hermeneutik Schleiermacher ialah bagaimana mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis, dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya.

Sedangkan kata “seni” sendiri di sini dimengerti sebagai “kepiawaian”; seperti yang dapat kita temukan pada seniman yang menghasilkan fine art. Hermeneutik yang coba ingin disampaikan oleh Schleiermacher ialah bagian dari seni berpikir, dan karena itu bersifat filosofis. Kesenjangan antara kata dan pikiran diatasi dengan upaya rasional yang disebut “interpretasi”. Dalam arti ini hermeneutik harus lebih dimengerti sebagai seni mendengarkan daripada seni berbicara, dan harus lebih dimengerti sebagai seni membaca daripada seni menulis.

Contoh seni lainnya adalah cinta, yang pada hari ini orang banyak salah mendefnisikan tentang cinta. Cinta didefinisikan sebagai rasa suka pada sesuatu dan ini sifatnya seperti kebetulan atau seperti anugerah. Jadi tiba-tiba ada rasa yang tiba-tiba suka pada sesuatu. Maka istilahnya adalah jatuh cinta atau fall in love. Namun hakikat cinta harusnya melampaui definisi di atas, di mana cinta itu seperti seni, harus dipahami dan dipraktikkan. Jadi urusannya bukan apa yang dicinta tapi bagaimana mencintai. Sedang hari ini orang fokus mencari apa yang ia suka dan apa yang ia cintai. Untuk jadi pribadi yang mencintai fokuslah pada bagaimana cara mencintai yang baik. Jadi cinta itu bukan urusan cinta kepada yang tertuju, tapi urusan bagaimana cara mencintai. Intinya ada pada seni, ia harus dipelajari terlebih dahulu.

Problem dari cinta lainnya yang kerap kita temui adalah banyak orang yang mencintai, tapi ia tidak sadar justru malah merusak yang dicintai. Atau sebaliknya merusak dirinya sendiri yang mencintai. Hampir semua manusia sepakat bahwa relasi yang agung antar manusia itu adalah cinta. Maka cinta itu bukan standing, bukan fall in fall, tetapi standing in. Bukan jatuh cinta tapi mendirikan cinta. Seperti perintah shalat, bukan hanya sekadar melaksanakan shalat, tapi juga mendirikan shalat.

 

Referensi:

F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015).

Ngaji Filsafat 142 edisi: Filsafat Cinta Erich Fromm bersama Dr. Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada 08 Februari 2017.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Asep Saepullah

Mahasiswa Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta