Ragam Rupa Agama

slider
19 Februari 2021
|
1387

Ucapan selamat untuk perayaan hari besar keagamaan masih menjadi perdebatan sebagian kalangan muslimin di negeri kita. Beberapa orang enggan memberikan ucapan ketika teman, saudara, ataupun orang terdekatnya yang berbeda agama sedang merayakan hari besar keagamaan. Sering kali, kita juga mendengar fatwa bahwa mengucapkan selamat untuk perayaan hari besar keagamaan umat non-muslim, hukumnya haram. Fatwa tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran dan membuat kita menolak mengucapkan Selamat Natal, Selamat Nyepi, Selamat Waisak, ataupun ucapan-ucapan sejenisnya.

Apabila mau melihat secara jujur, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keberagaman dalam hal agama maupun kepercayaan. Melihat kenyataan tersebut, kita sebagai umat beragama sudah semestinya memiliki pemahaman tentang pentingnya menjaga keharmonisan hubungan sebagai sesama manusia. Salah satu usaha mengharmonisasikan hubungan antarpemeluk agama yang dilakukan sebagian umat beragama di Indonesia, adalah dengan mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakan hari besar keagamaannya. Ucapan tersebut ditujukan sebagai wujud toleransi dan perdamaian sesama bangsa.

Di sisi lain, terdapat pula kaum muslimin yang lebih memilih diam. Pikirnya, lebih baik tidak mengucapkan apa-apa daripada mendapatkan dosa. Ada kekhawatiran apabila mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda keyakinan akan menyalahi perintah agama. Mereka berasumsi bahwa secara tidak langsung, ucapan selamat menandakan bahwa dirinya menyetujui keyakinan agama tersebut. Hal itu dianggap membuat dirinya secara otomatis murtad.

Beberapa ulama berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain, bukan berarti mengimani apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam agama tersebut. Ucapan itu tidak pula serta merta mengubah keyakinan seorang pemeluk agama. Ucapan perayaaan bisa saja hanya merupakan sarana penghormatan sebagai sesama manusia.

Saat mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain, kita tetap bisa memegang teguh keimanan. Sebagaimana seorang kapten klub sepak bola yang mengucapkan selamat kepada lawan yang memenangi pertandingan. Dengan memberikan ucapan selamat kepada lawan mainnya, tidak lantas sang kapten serta merta menjadi pengkhianat bagi timnya. Tindakan kapten adalah bentuk rasa hormat dan apresiasi kepada lawannya yang sesama pemain bola.

Kalaupun ada saudara sesama muslim yang tidak ingin mengucapkan selamat atas perayaan hari besar keagamaan tertentu, sebaiknya kita juga menghormatinya. Bisa jadi, ia memiliki alasan yang kita tidak tahu hikmah apa di baliknya. Selama ia tidak menggunakan alasannya untuk menyakiti, kita tidak perlu pula mempermasalahkannya. Kecuali, jika dengan keputusan tersebut ia melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, wajib bagi kita sebagai saudara seiman untuk mengingatkannya.

Kesadaran semacam itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan beragama kita saat ini. Hari-hari besar keagamaan sebenarnya bisa menjadi momen memperkokoh hubungan antarumat beragama. Kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan rasa peduli terhadap keberagaman. Tindakan memberikan ucapan selamat dapat menghadirkan rasa mengasihi dan menyayangi. Gus Dur berkata bahwa mereka yang bukan saudara dalam keimanan, merupakan saudara dalam hal kemanusiaan.

Sikap mengasihi dan menyayangi semakin dibutuhkan. Mengingat, masih kita temui orang yang mengkafir-kafirkan orang lain, padahal kualitas beragamanya sendiri masih patut dipertanyakan. Biarlah penyandangan status kafir terhadap seseorang menjadi prerogatif Allah. Sementara kita, cukup menyibukkan diri untuk menyebar kasih dan sayang antarsesama. Jangan sampai kita melayangkan ketakutan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan. Apalagi, berbuat kekerasan atau menebar kerusakan, seperti membakar rumah ibadah penganut agama lain. Tidak jarang, hal-hal berbau kekerasan dan kerusakan dilakukan atas dasar keyakian bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang paling benar.

Perbuatan semacam itu tidak dibenarkan. Islam memang datang membawa kebenaran dan sebagai penyempurna. Namun, tidak lantas kebenaran agama Islam bisa digunakan sebagai alibi untuk memusnahkan agama-agama yang sudah ada. Islam adalah penyempurna agama, bukan pemusnah agama lama.

Dr. Haidar Bagir menjelaskan salah satu pernyataan Ibnu Arabi mengenai keberagaman agama. Kata beliau, agama Islam itu seperti cahaya matahari. Sementara agama-agama lain, seperti cahaya bintang-bintang. Ketika cahaya matahari tidak ada, cahaya bintang-bintang itu pun tampak. Terbitnya cahaya matahari tidak membuat cahaya bintang-bintang menjadi hilang. Bintang-bintang itu tetap bercahaya, tetapi cahayanya terserap dalam intensitas cahaya matahari yang lebih terang.

Adapun apabila mereka tidak mengakui kebenaran Islam sebagai penyempurna agama, tidak lantas kita berhak memaksanya untuk percaya sebab tidak ada paksaan dalam beragama. Rasulullah Muhammad Saw. memberikan teladan bagaimana berdampingan dengan umat yang berbeda keyakinan dalam satu negara. Walaupun menyiarkan agama Islam, beliau tetap melindungi hak-hak umat beragama lain untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka. Beliau tidak memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinannya.

Keberagaman agama merupakan ketetapan Tuhan dan berada di luar kekuasaan manusia. Keberagaman adalah anugerah. Tuhan sengaja tidak menyeragamkan agama manusia di dunia. Keberagaman itu sendiri dapat menjadi jalan ketakwaan yang berarti hubungan manusia bisa menjadi semakin dekat dengan Tuhan melalui pemaknaan yang benar. Maulana Rumi berkata: Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu, kecuali di akhirat kelak pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil.

Walaupun berbeda, setiap agama sebenarnya memiliki esensi spiritual yang sama. Tiap-tiap agama mengajarkan kita untuk menyakini keberadaan Tuhan, serta menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap semua ciptaan-Nya. Setiap agama mengarah pada satu tujuan yang sama dengan muaranya adalah cinta.

Oleh karena itu, sikap kita sebagai umat beragama hendaknya menerima keberagaman tersebut dengan mata hati terbuka, bahwa keberagaman agama adalah kehendak Tuhan. Kita juga perlu menginsafi kedudukan kita. Mengapa kita yang hanya berkedudukan sebatas sebagai hamba-Nya, justru bersikeras menyeragamkan agama-agama, sedangkan Tuhan sendiri menginginkan adanya perbedaan untuk melihat siapa di antara kita yang paling bertakwa?

Daripada menghabiskan energi memaksa orang lain meyakini apa yang kita imani, alangkah lebih bermanfaat jika kita mengerahkan energi itu untuk berbuat kebaikan. Bukankah Islam lebih menekankan untuk berbuat baik, dibandingkan memaksa orang lain memenuhi keinginan kita? Jadikan kebaikan sebagai pedoman utama untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan semua orang.

Keberagaman itu indah ketika kita memaknainya dengan baik. Kita bisa saling mengenal dan memahami, serta tidak perlu takut terhadap perbedaan. Indahnya pemaknaan yang baik atas keberagaman tergambarkan salah satunya dari azan Masjid Istiqlal yang menyapa Gereja Katerdal di Jakarta. Hidup berdampingan dalam keberagaman dengan berpondasikan cinta. Walaupun berbeda agama, tidak ada alasan untuk tidak saling mencintai.

Al-Hallaj menuliskan puisi indah mengenai keberagaman agama:

 

Sungguh, aku telah merenungi agama-agama

Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang


Jangan kau paksa orang memeluk satu agama

Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam tanah


Biarkan ia mencari akarnya

Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna, lalu ia memahaminya


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.