Raden Saleh dalam Dua Arus

slider
24 November 2021
|
1799

Judul: Pangeran dari Timur | Penulis: Iksaka Banu & Kurnia Effendi | Penerbit: Bentang Pustaka | Cetakan: Februari 2020 | Tebal: 585 halaman | ISBN: 978-602-291-675-8

Saya mengira membaca buku “karya bersama” bagaikan menumpang mobil dua kemudi. Apalagi sebuah buku utuh, bukan antologi. Agak sulit dibayangkan bagaimana pembaca menikmati dua gaya penulis yang berbeda. Plus tidak banyaknya buku yang ditulis dengan cara serupa. Dalam arti, mereka menyatukan perbedaan gaya dalam satu narasi.

Akan tetapi, justru hal itu yang membuat menarik dari novel Pangeran dari Timur ini. Perbedaan gaya bahasa kedua penulis tak mengubah warna serta ciri khas novel karya Iksaka Banu, novelis yang meraih Khatulistiwa Literary Award 2014 dan Kurnia Effendi, cerpenis peraih penghargaan Sastra Badan Bahasa 2013.

Mereka berhasil menarasikan sejarah menjadi sebuah cerita yang disertai riset ke Negeri Kincir Angin, Belanda. Konon katanya, novel ini membutuhkan waktu 20 tahun-dimulai dari 1999 hingga 2019-untuk menyelesaikan dan menjadi sebuah buku yang dapat dinikmati saat ini. Tenggang waktu yang cukup seumpama untuk memulai bisnis dari miskin hingga kaya raya. Namun, rentang waktu menjadi cerita lain bagi dunia sastra.

Karena itu, patut diapresiasi keistikamahan kedua sastrawan itu dalam mengaduk bumbu berbeda menjadi satu rasa sehingga menghadiahkan kepada kita jejak tersisa maestro kesenian Hindia: Raden Saleh Syarief Bustaman. Raden Saleh yang barangkali hanya dikenal melalui mitos, kini hadir dalam bungkus novel.

Buku tebal mirip bantal ini mengandung dua plot bagian, yang berarti menampilkan dua alur dalam satu lintasan. Pada masing-masing plot memuat garis zaman dan rentang tahun yang berbeda. Kalau direka-reka, membacanya ibarat menggiring dua kelinci ke arah yang sama. Mereka menuliskannya berdasarkan runtutan tahun. Tidak mundur walaupun sejenak.

Plot pertama, cerita dimulai pada tahun baru 1926. Sebuah pesta para pemuda yang mempertemukan Syamsuddin dan Ratna (hlm, 4). Syamsuddin mengagumi Raden Saleh sekaligus jatuh cinta pada Ratna, gadis jelita berdarah Belanda. Syamsuddin pun menularkan minatnya pada Ratna. Mereka berdiskusi tentang riwayat Raden Saleh di tengah semerbaknya aroma pergerakan, pergerakan Partai Komunis Indonesia.

Salah satu anggota PKI, Syafei, dipertemukan dengan Ratna di sebuah kafe megah milik kaum borjuis. Sejak awal pertemuannya, Syafei jatuh hati dengan Ratna (hlm, 62). Syafei dengan caranya yang radikal terlibat dalam cinta segitiga dan berhasil merebut Ratna dari Syamsuddin.

Selain itu, Syafei bercita-cita memerdekakan bumiputra dari jajahan Belanda bersama teman-temannya: Timbul, Dasep, dan Daryanto. Sayangnya, gelora perjuangan mereka kandas di tengah jalan. Pada peristiwa penangkapan PKI 1926 di Jawa Barat, mereka ditangkap (hlm, 340). Ratna yang terlanjur mencintai Syafei pun turut berduka. Cinta mereka terhalang jarak dan waktu.

Pada kesempatan itu, Syamsuddin melamar Ratna. Padahal, sebelumnya Ratna hanya mencintai Syafei, bahkan mereka sempat bercinta di biro arsitek milik Syamsuddin. Sebuah kisah romantis yang berakhir ironis. Syafei diasingkan ke Digul bersama Bung Hatta dan Sultan Sjahrir (hlm, 418), sedangkan Syamsuddin dan Ratna menikah.

Tapi tak berapa lama di tempat pengasingannya, Syafei meninggal tragis. Tubuhnya tak mampu menahan deras penyakit algid malaria (hlm, 541). Sementara Ratna dan Syamsuddin tetap melanjutkan perjalanannya mencari Raden Saleh ke Prancis untuk melihat lukisan terkenal Raden Saleh yang berjudul “Antara Hidup dan Mati” (hlm, 472). Sebuah lukisan yang mengandung seloka, pesan sindiran yang tersembunyi. Sebab, Raden Saleh sendiri dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.

Pelopor seni modern? Bagaimana awal kiprahnya? Pada plot kedua-lah diceritakan riwayat hidup Raden Saleh. Semua bermula dari kedekatan paman Raden Saleh, Bupati Terbaya, Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V, dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Baron van deer Capellen.

Pertemuan kedua bangsawan itu menjadi titik awal bagi jalan lukisnya Raden Saleh. Gubernur Jenderal Hinda melihat bakat melukis Raden Saleh yang memukau. Raden Saleh muda kemudian meniti karier dunia seni dengan berguru pada Antonie Auguste Jean Joseph Payen, pelukis Belgia (hlm, 19). Lalu, ia bekerja membantu gurunya di biro Buitenzorg dengan menjadi asisten juru gambar.

Barulah pada usia 19 tahun, di tengah kecamuk berlangsungnya Perang Jawa, Raden Saleh menerima tawaran Menteri Koloni yang tak bisa ditolaknya. Ia berangkat menuju Belanda menekuni dunia lukis. Sendiri dan terasing, jauh dari negerinya. Di Belanda, ia tinggal di Herengracht bersama keluarga J.W Nibbelink, seorang pegawai pemerintah. Bersamaan dengannya, ia belajar di sekolah lukis Cornelis Kruseman yang kelak menjadi gurunya (hlm, 81).

Awal kehidupannya di Eropa tidak begitu mulus. Meskipun sempat berguru pada pelukis pemandangan terkenal, Andreas Schelfhout, di sisi lain ia sering menerima tuduhan rasisme lantaran kulitnya yang coklat-kehitaman dan sempat menjalin hubungan dengan seorang wanita Belanda (hlm, 84). Walaupun begitu, ia tetap menjadi pelukis kelas atas di s’Gravenhage. Raden Saleh mendapat pengakuan dengan gelar “Bintang Ksatria Takhta Pohon Oak” dari Raja Willem II (hlm, 186).

Puncak paling gemilang dalam karier keseniannya ialah, ia diterima di Jerman. Orang-orang dari Coburg, Dussedorf, Frankfurt, Berlin hingga Dresden mengakui keramahan, kejeniusan dan kecakapan Pangeran dari Jawa itu. Di sinilah ia bertemu Friedrich Anton Serre, bangsawan yang membangun sebuah Masjid Biru di Maxen, Dresden (hlm, 246). Dalam pintu masuk Masjid Biru tertulis moto hidupnya: Hormatilah Tuhan dan Cintailah Manusia.

Di Eropa Raden Saleh tidak hanya berteman dekat dengan para bangsawan maupun raja. Para pesohor sastra semacam Alexandre Dumas, Alphonse Karr, Hippolyte Lucas, Ida von Reinsberg-Duringsfeld, pelukis Horace Vernet, dan Pangeran Kwasi Boakye. Semua dikenalnya dengan baik.

Memang, Raden Saleh bagi dunia Barat adalah seniman yang turut meramaikan aliran Romantik. Namun, capaian tersebut tidak dikenal saat ia kembali ke di Hindia Belanda. Sekembalinya ke Jawa pada 1851, seolah ia harus menanggung beban yang dahulu diperjuangkan Pangeran Dipanegara (hlm, 242). Semua pengakuannya di Barat tertimbun peraturan-peraturan Pemerintah Koloni.

Pergulatan hidupnya baru dimulai ketika menerima fitnah dari Pemerintah Koloni. Raden Saleh dituduh sebagai dalang yang memimpin peristiwa Pembantaian Berdarah Tambun 1869 (hlm, 348). Meski akhirnya terbukti tidak bersalah, sebagai akibatnya ia menjadi pusat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Para Menteri Koloni diam-diam mengawasinya dengan mengutus pembantu sebagai mata-mata.

Raden Saleh sangat risih dengan tuduhan yang mencoreng namanya. Setiap gerak-gerik hidupnya selalu dicurigai. Hal inilah yang membuatnya kemudian kembali mengunjungi rekan-rekannya di Eropa bersama istrinya, Raden Ayu Danudireja dan sempat bersua dengan Pangeran Ernst II untuk kali terakhir (hlm, 445). Raden Saleh kemudian kembali lagi ke Jawa, dan menghembuskan napas terakhir pada 23 April 1880 (hlm, 579).

Secara keseluruhan, novel Pangeran dari Timur tak hanya mengisahkan riwayat Raden Saleh dan Pergerakan Merdeka. Sekonyong-konyong semacam pintu gerbang untuk menelusuri sejarah pada tahun-tahun yang tercatat. Di dalamnya disertakan sejarah lain yang berkaitan. Seperti misalnya, Perang Jawa, Revolusi Prancis, Perang Saudara di Amerika 1861, Pemberontakan PKI 1926, Bandung Lautan Api, Peristiwa Afdeling B 1919, Pengasingan Digul, hingga Perang Dunia II. Novel yang sarat akan sejarah.

Namun, setelah semua cerita selesai dan buku diletakkan, pembaca seakan terasa ganjil. Mulai dari perjalanan hingga akhir hidupnya, kepada siapakah Raden Saleh memihak? Bumiputra atau Pemerintah Koloni? Barangkali itulah mengapa Iksaka Banu dan Kurnia Effendi menampilkan dua plot dalam karyanya.

Mereka berupaya mengambil sudut pandang berbeda tentang Raden Saleh. Dari kiri dan kanan. Betapa banyak kalangan patriotisme menganggap Raden Saleh antek Belanda. Sementara banyak pula ahli seni rupa menafsirkan ia sebagai pahlawan Indonesia melalui lukisan.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taufik Ismanto

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS jilid#5