Puisi-puisi Shela Kusumaningtyas
Menjajakan Iman
tubuh diseka air
debu bercampur nista terbilas
tujuh rongga terperciki
pinta melangit mengetuk pintu-pintu kabul
lalu berbaris mengatur posisi
pria wanita terhalang gorden supaya mata tak berkelana menaruh pikat
sebab pandang rawan tercegah untuk jatuh jadi degup
tangan merogoh gawai
mengumbar buai soal patuh
disertakan pula muka diri beratribut
banyak taat terjerembab dulang pujian
sehingga takwa mudah ditemukan
dalam sibakan manekin-manekin yang luruh riuh kerumun pembeli
Menumpahkan Sedih
Di atas pusaramu yang selalu basah
Oleh tangisku yang membuncah
Aku selalu dihinggapi rindu yang buta arah
Kepadamu yang jauh terpisah
Aku ingin bertukar kisah
Yang kulalui penuh resah
Hanya kamu yang dengarkanku tanpa lelah
Selalu pandu aku agar tak keliru langkah
Doakan aku tak berkubang dalam salah
Karena seringkali bertingkah
Dan didekap bingung yang gundah
Menyaingi Ibu
hari ini aku sombong
berkata lantang ingin menyaingi ibu
pagi benar ku sudah bangun
mata masih berontak
karena tidur begitu larut
ku seka muka supaya segar
harusnya aku rapikan kamar dulu
tapi lupa, biarkan saja
nanti juga bisa
rupanya ibu keburu masuk kamarku
tangannya gatal melihat sprei yang lepas di sudut-sudut kusur
sekejap rapi tiada merapal mantra
lalu giliran dapur yang ku sambung
melongok bahan makanan yang bisa diolah
oh rupanya sangat mudah
tinggal racik tuang sana-sini
lalu masukkan panci, rebus, dan angkat
singkat tanpa perlu potong-potong sayur dan uleg bumbu
sebab ibu sudah siapkan
ah mungkin kebetulan saja ibu rajin, pikirku begitu
ternyata aku terlalu acuh dengan ibu
ia punya kebiasaan pantang leha-leha sepulang kerja
lebih baik diisi dengan mengiris sayur dan mengepaknya ke dalam kontainer
supaya mudah kalau ingin masak
lalu ku bangunkan adik
kupingnya ku jejali usic paling kencang
tentu tentu bocah sd itu terperanjat dari tidurnya
namun diiringi teriakan kesal
dasar kakak
seperti ibu dong bangunkannya
usap pelan sembari berbisik
aku kabur, lepas dari tanggung jawab
ibu kembali mendatangi adik
memintanya tak usah marah
soalnya aku sedang latihan
menjadi ibu
belum dua jam aku jadi ibu
aku sudah menyerah
hal-hal kecil saja ku tak becus
amarahku sudah memuncak
padahal tanpa sadar, ada bantuan ibu
aku cuma bisa mematut
apa yang ku kerjakan?
hanya mencurahkan sedikit perhatian ke ibu saja tak mau
padahal ibu tak pernah menolak
ketika ia ku ajak bersandiwara
menutupi hobiku menari
pura-pura mengantarku les nyanyi, padahal aku pergi menari
supaya ayah tak marah
ibu jago jaga rahasia
ia juga paling pandai sembunyi
menutupi sakitnya memergoki
ada penyakit yang bersarang di tubuhnya
benar-benar picik
bila aku ingin mengalahkan ibu
ia selalu menang
melindungi kami
Penggerutu
Keduanya bertekuk di atas perkabungan
Sesekali kalam mengulur ke langit
Meski tak pernah berhasil mengetuk pintu-pintu penyucian
Hanya singgah di lorong yang bersaput debu-debu gelegar
Mereka mengawang
Mematut diri di hadapan lengking-lengking yang tercekat
Petak yang Ramai
Pagi membangunkan jiwa yang menghampiri asal
Air mengguyur raga yang siap berdekap
Busa membilas daki
Senyum terlebar menggurat di wajah insan yang pulang
Kaki melangkah menuju petak
Menyambangi mereka yang lelap terbaring
Mengusap lalu membisiki
Bahwa kasih selalu bertaut
Meski rangkul belum menjamah
Dan erat hanya berbayang tanpa jabat
Namun petak ini kembali gembira
Dari semula hening menunggu giliran
Kini riuh dengan mata yang memejam
Serta jemari yang menari
Dalam ujaran yang melangit
Petak kembali redup
Tatkala kemenangan berganti hari perjuangan
Kendati harap tetap dilambungkan
Kelak tahun yang datang ada yang menjumpa
Pemakaman Sendangguwo
Category : cerpen
SHARE THIS POST