Puisi-puisi Saiful Bahri
Dini Hari
Jatuh, tertidur membakar surat-sayap putih merpati
Mengubur segala dosa yang terpancar epilog makna
Diam. Sengat janji julur merasuk pundi-pundi airmata
Mengeja semilir angin yang menebus segala ingin
Malam dan aku masih ragu. Istri tidur. Berjumpa dengan
seluruh pundi kasih tiada perih. Berlabuh tuah Subuh.
Suara motor di lorong kata. Segala penjuru ke rusuk kali
Merajam seraut masa, tegak meringkus suara peristiwa.
Kantuk, lesu, nakal, terlihat di putih gedung-gedung kata.
Sudah sekian kubuang seperti dan ibarat. Kau, memukau.
Cukup, cukup di sini perjumpaan malam dengan puisi
Kurasa itu baik, walau malam terus meraksi iga kelam.
(Sumenep, 23 Oktober 2019)
Kasidah Malam
Petang. Lampu-lampu kumatikan
Kerudung putih berserah tabah
Terciduk suasana ekspresi doa
Kasidah malam. Bersenandung
setubuh gigil-gigil khayalan waktu
Merasuk siluet resital di putik kata
Beberapa kali malam memberi
segumpal darah daging arwah
Entah, entah kenapa sebab luka
Hingga semua berserah dalam
tiada kasih, pasrah walau gelisah
(Sumenep, 23 Oktober 2019)
Gundah
Bimbang sedih musim gelisah
Tersimpan nada gundah gulana
Kosong. Hampa luka semusimnya
Pecah dalam tangis airmata makna
Semusim air bermain musim hujan
Semusim hangat diam merantau
ke lembah sawah-sawah kemarau
Gundah, kelam, sesuram peristiwa
yang kau bawa ke laman rumah
tanda tanya. Pertanggal dua tiga.
Dalam rinduku, gundah memukul
leher kepala penuh kizib-kizib darah.
(Sumenep, 2019)
Semadi Kalbu
Iring gelora khayal mencubit suci hati
Melewati lorong sejarah penuh tempuh
Diam di hati yang kausiram dengan api.
Semadi kalbu, ibarat yang dirahasiakan.
Hasrat yang tiada, tiada pernah bernama.
Tuhan, tempat malam pulang membawa
setulus angin menyebrang kata-kata ingin
Tiada kata hingga, tiada kata ia berjumpa.
Perjumpaan yang dijadikan perumpamaan
Akan kalah sama jejak yang ditempuh suara.
(Sumenep, 2019)
Kasidah Sunyi
Senyum sepi kasih menyebrang alunan lagu-lagu waktu
Menyampaikan himpunan sepi, yang terbakar api-api.
Pagi. Sumsum tulang tubuh menjalang ke tanah rantau
Angin pergi, berkunjung ke sebuah puri tanpa penghuni.
Imperium sandiwara terbata linglung setengah gila
Menukar sanggar gelora, menari, bernyanyi-berpuisi.
Sajak-sajak menaruh selendang skenario musim waktu
Bertandang tujuh kembang di batas kota-kota bayang.
Jangan kaurencanakan perselisihan ambigu dengan api
Lantas kemarau, kaubiarkan merantau ke pulau-pulau.
Kita pernah berjanji, kalau jarak tak pernah menuntut
jalan jauh. Walau temu lebih dulu ada sebelum tempuh.
(Pangabasen, Oktober 2019)
Category : sastra
SHARE THIS POST