Potret Pendidikan Kita
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya menurut Paulo Freire, seorang pemikir dan pejuang pendidikan terkemuka Amerika Latin, yaitu untuk membebaskan kaum tertindas dari penindasan, juga kaum penindas dari hati nurani yang tidak jujur telah melakukan penindasan. Maka pendidikan harus diletakkan dalam kerangka penyadaran (conscientization) kritis.
Akan tetapi, pendidikan sebagai pembebasan tersebut, tidak akan terjadi ketika metodologi yang digunakan dalam pendidikan tidak tepat. Freire sendiri memang dikenal sebagai pemikir dan aktivis yang mempunyai kepekaan mendalam terhadap persoalan kemiskinan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Perhatian Freire terhadap persoalan tersebut dipengaruhi juga dari pengalaman pahitnya sebagai warga dunia ketiga yang hidup di daerah miskin. Freire sendiri lahir pada 1921 di Recife, Brazil.
Hal itu yang saya rasa menjadi salah satu faktor yang membentuk pemikiran Freire. Bahwa pendidikan seharusnya menjadi pembebas. Pendidikan mestinya juga menjadi sarana untuk membangun kesadaran kritis, termasuk mengenai apa-apa yang menyebabkan adanya keterindasan, kemiskinan dan sebagainya. Akan tetapi, pendidikan yang diidealisasikan oleh Freire berikut tujuannya tersebut menjadi sulit terwujud ketika metodologi pendidikan masih menekankan pada mode pendidikan “gaya bank”.
Menjadi pertanyaan menarik, apa yang disebut sebagai “gaya bank” itu? Mengapa metodologi “gaya bank” dipersoalkan? Dan bagaimana seharusnya metodologi pendidikan bekerja?
Gaya Bank dalam Dunia Pendidikan
Salah satu buku paling masyhur yang ditulis oleh Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (2008). Dalam buku tersebut, Freire menjelaskan yang disebutnya sebagai pendidikan dengan “gaya bank”; watak bercerita (narrative) yang mendasari hubungan antara guru dan murid. Dalam hubungan tersebut melibatkan seorang subjek yang bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (murid).
Dengan kata lain, murid diperlakukan sebagai objek, dan guru adalah subjek. Tugas guru sebagai subjek yaitu, “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan. Pendidikan bercerita, mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis segala isi pelajaran yang diceritakan.
Lebih buruk lagi, murid diubahnya menjadi wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh ia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi, semakin baik pula mereka sebagai murid.
Freire (2008) menulis: “Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan”.
Dengan kata lain, pendidikan justru menjadi ajang indoktrinasi. Disadari atau tidak, pola hubungan guru dan murid, yang didasarkan pada guru si pemilik pengetahuan secara mutlak dan murid sebaliknya. Dalam pola hubungan yang kontradiksi antara guru dan murid tersebut, justru mencirikan watak dari ideologi penindasan. Pengetahuan yang semestinya diletakkan sebagai sesuatu yang lahir berdasarkan pencarian secara terus menerus pun tidak terjadi, karena yang terjadi adalah pengetahuan berdasarkan suatu penanaman.
Jelas saya, pendidikan gaya bank ini akan menumpulkan potensi daya kritis dan kreativitas para murid. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, maka mereka pun semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut.
Freire (2008) menegaskan, bahwa kemampuan pendidikan gaya bank merupakan suatu hal yang mengurangi bahkan menghapuskan daya kreasi para murid, menumbuhkan sikap mudah percaya, dan ini menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau berubah. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi yang menguntungkan diri mereka sendiri.
Dengan kata lain, tumpulnya daya nalar dan kreativitas para murid, dapat mengakibatkan semakin langgengnya “status quo”. Murid yang sejak di pendidikan sudah terbiasa pasif, dikhawatirkan akan dapat diarahkan untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada, meskipun situasi tersebut jelas menguntungkan kaum penindas.
Freire (2008) melanjutkan: “Pendidikan gaya bank dalam pendidikan, tidak akan pernah menyarankan kepada para peserta didik agar mereka melihat realitas secara kritis”. Dari sinilah, Freire kemudian melihat ada kontradiksi terkait relasi antara guru dan murid.
Sementara itu, dalam buku Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (2007), Freire menegaskan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk pembebasan. Pendidikan merupakan proses pemerdekaan, dan bukannya penjinakkan sosial budaya (social and cultural domestication). Hal itu penting, mengingat secara gamblang Freire menjelaskan bahwa hal yang mendasar bagi orang-orang yang tersisihkan (tertindas, miskin, dan sebagainya) untuk menjawab segala realitas kongkret yang dihadapi. Hal itu hanya dimungkinkan jika “kesadaran kritis” itu tumbuh.
Sketsa “Kontradiksi” Guru dan Murid
Bagi Freire, raison d’etre pendidikan yang membebaskan, yaitu terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Pendidikan harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi guru-murid tersebut, dengan merujukkan kutub-kutub dalam kontradiksinya sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid.
Dengan kata lain, saya menyebut relasi antara guru dan murid tersebut ada pada relasi intersubjektif, keduanya adalah subjek. Antara guru dan murid, bisa saling belajar antar satu dengan yang lain. Murid belajar kepada guru, guru pun diperlukan suatu kerendahan hati untuk dapat belajar kepada murid. Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan kritisisme, bukannya indoktrinasi atau pun objektivikasi terhadap murid.
Saya rasa, pendidikan di Indonesia memerlukan suatu pondasi filsafat pendidikan yang kokoh. Pemikiran Freire, dengan reputasinya yang mentereng, baik dari segi intelektualitas maupun aktivitasnya sebagai pejuang pendidikan, tentu sangat perlu dipertimbangkan.
Selain itu pengertian disiplin dalam dunia pendidikan, bukan disiplin sebagai “penurut”, yang mengaminkan begitu saja setiap pernyataan guru ataupun otoritas lainnya. Akan tetapi, disiplin untuk berpikir kritis, skeptis, dan sebagainya. Sudah barang tentu, prinsip tersebut sejalan juga dengan yang disebut sebagai sikap ilmiah.
Terlebih lagi, dalam konteks Indonesia yang juga masih dihadapkan pada persoalan ketimpangan, penekanan pada pendidikan kritis jelas menjadi hal yang relevan. Pendidikan kritis yang menekankan pada penyadaran diri ini memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab, di samping juga akan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencarian afirmasi diri sendiri.
Tapi terlepas dari itu semua, perbaikan pendidikan di negeri ini perlu waktu panjang dengan upaya yang tidak sebentar. Dan kita bisa ambil bagian di dalamnya. Demikian.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST