Potret Jalan Spiritual
Filosofi Jawa “Kulo nderek kersane Gusti Allah” (Saya mengikuti kehendak Allah) bukanlah konsep hidup jabariyah yang dimaknai secara pasif. Tetapi bentuk ekpresi batin terdalam seorang salik yang dipahami secara sumeleh.
Sumeleh adalah kosakata bahasa Jawa yang pada mulanya mempuyai kesan mencengkram kuat urusan duniawi kemudian perlahan mengudar-bebas. Pendorong mengudar dan bebasnya atas cengkraman duniawi tersebut bisa bermacam cara, antara lain menyengaja tirakat, suluk, ubudiyah, sedekah, berziarah kepada guru mursyid.
Pertanyaanya adalah bagaimana rasanya sumeleh itu? Menggambarkan sebuah rasa memang relative, namun bisa ditandai. Yaitu ketika masa lampau yang buruk tidak lagi mengganduli dan masa depan tidak menghantui adalah sebuah kedaaan yang ringan (sumeleh) untuk mencantolkan diri (robithoh) kepada-Nya.
Kalau sudah mampu menjangkau pada level mencantolkan diri pada-Nya idealnya hidup dan mati sudah di-Aku-kan. Ora ono opo-opo (Tidak ada apa-apa) yang ada hanya Dia semata. Hal ini tercermin dalam doa iftitah yang sering kita baca saat shalat. Tidak mengherankan kalau para sesepuh Jawa yang meruhani berprinsip hidupku, matiku, ibadahku nderek Gusti Allah. Ujung dan pangkalnya wes nang kono kabeh (sudah di sana [Allah] semua).
Apakah konsep hidup seperti ini cocok untuk anak muda yang identik dengan banyak angan-angan? Ada sebuah peryataan yang cukup dikenal oleh kalangan pejalan sunyi yakni bagaimana menyespiritualkan materi atau sebaliknya?
Saya kira jawaban atas rumusan pertanyaan ini akan menepis tuduhan yang dialamatkan para pejalan sunyi sebagai kaum egoisme dan narsisme spiritual, juga tidak jarang menutup mata pada keadaan lingkungan sekitar. Tuduhan seperti itu tidaklah mutlak benar. Memang harus diakui bahwa ada beberapa yang demikian, tetapi tidak semuanya begitu.
Pembahasan terkait menyespiritualkan materi atau mematerikan spiritual tidak akan jauh-jauh dari konsep sumeleh. Penjabaran mematerikan spiritual bisa kita temukan pada perasaan sumeleh yang mencantol pada frekuensi Maha Tak Terhingga yang kemudian menyalur dalam suatu proses penciptaan. Ibarat arus listrik, ia bisa diubah menjadi suhu dingin seperti kulkas, freezer. Bisa juga diubah menjadi suhu panas seperti menanak nasi, merebus air, dan lainnya.
Frekuensi Maha Tak Terhingga yang dimaksud dalam hal ini adalah “Nurun ala Nur” yang bersemanyam di dalam dada Rasululah yang kemudian diwariskan kepada para ahli silsilah. Jika kesadaran semacam ini diperankan oleh setiap manusia yang meruhani dengan latar belakang pekerjaannya masing-masing akan melahirkan sebuah karya yang bermanfaat untuk masyarakat bukan?
Lantas bagaimana dengan menyespiritualkan materi? Kita bisa mengambil tauladan Abu Bakar, Ustman bin Affan lalu Umar bin Khatab yang jor-joran mempersembahkan harta bendanya di jalan ketuhanan. Apa yang oleh para sahabat lakukan itu bukan sekadar memindahkan hartanya dari satu tangan ke tangan yang lain. Tetapi di sana ada pertukaran energi yang hanya bisa dirasakan secara personal. Jadi, bersedekah bukan hanya soal kuantitas tetapi akan diarahkan ke mana arah getaran suatu rasa itu.
Membaca ke dalam diri
Malam ketujuh belas bulan suci Ramadan yang sudah kita lalui, diperingatinya sebagai malam Nuzulul Quran, yang mana Allah SWT menurunkan wahyu pertama melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw berupa pesan perintah membaca.
Peristiwa di Gua Hira yang dialami oleh Rasulullah menurut hemat saya setidaknya mempunyai dua pesan, yakni perintah membaca dan pentingnya akan wasilah.
Pada bagian pertama surah Al-‘Alaq menjelaskan perintah membaca mengharuskan menyebut nama Tuhan. Praktiknya Nabi membaca pada waktu itu berwasilah kepada Malaikat Jibril—yang secara tradisi guru kita, para pendahulu kita ketika akan menuliskan sebuah gagasan atau mau membaca suatu karya selalu berwasilah dengan cara menghadiahkan surah Al-Fatihan dengan menyebut nama gurunya, guru-gurunya hingga ke para sahabat, Rasulullah, Malaikat Jibril, sampai kepada Allah SWT. Ini salah satu adab ngalap berkah suatu ilmu yang diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun.
Menariknya, surah Al-‘Alaq ayat pertama adalah menyeru untuk membaca apa yang diciptakan-Nya. Pertayaannya adalah ciptaan apa yang mesti kita baca? Apa saja, namun yang lebih dekat adalah manusia. Iya kita yang dijuluki dengan nama lain sebagai mahluk mikrokosmos.
Manusia secara fisik dan jiwa memiliki bagian-bagian yang fungsi dan cara kerjanya berbeda-beda. Hal-hal seperti ini perlu kita baca, mengerti, dan mengenalinya. Pekerjaan membaca seperti ini dikenal sebagai perjalanan menuju ke dalam diri untuk menemukan kesejatian.
Dalam perjalanan menemukan kesejatian (spiritual) tentu saja akan ada banyak tanda dan peristiwa yang harus dipilih, dirangkai, dan ditemukan maknanya. Makna yang menyatu ke dalam diri menyimpan berjuta rasa yang selanjutnya akan mengekpresi dalam perkataan dan perbuatan. Di sini pesannya bahwa seruan membaca ke dalam diri dengan menyebut dan menyertakan nama Tuhan adalah awal akan diterangi proses menemukan makna dan kualitas rasa seorang salik.
Jalaluddin Rumi dalam puisinya memberi perumpamaan bahwa diri manusia ibarat suatu pesanggrahan.
“Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang: kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan. Lalu kesadaran sesaat datang sebagai seorang tamu yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap atau kedengkian atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu. Sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu”.
Waallahu’alam
Category : keislaman
SHARE THIS POST