Potret Historis Ikhwanul Muslimin

slider
16 Maret 2022
|
2555

Mengkaji dinamika Islam kontemporer tidak mungkin untuk tidak menyebut nama Ikhwanul Muslimin (IM) di dalamnya. IM bisa dibilang merupakan organisasi politik Islam terpenting dalam rentang waktu seratus tahun terakhir. IM menjadi pendahulu dari berbagai gerakan politik setelahnya yang mewarnai percaturan kehidupan umat Islam. Kelompok macam Al-Qaeda, Jamaah Takfir wal Hijrah dan al-Jamaah al-Islamiyah adalah sebagian dari berbagai organisasi politik Islam yang bisa dibilang dipengaruhi oleh IM.

IM berdiri pada April 1928 dengan Syaikh Hassan al-Banna sebagai pemimpinnya. Banna oleh beberapa umat muslim dinilai sebagai ulama moderat yang menjadi inisiator utama pendirian IM bersama lima pendiri lainnya. Organisasi ini menyerukan umat muslim agar kembali ke ajaran Islam sebagaimana yang terdapat pada Al-Qur’an dan Sunah, menerapkan syari’at Islam ke dalam realitas kehidupan dan ingin mengembalikan Islam pada kejayaan dan menolak sekularisasi di kawasan Arab, secara khusus, dan dunia Islam secara umum.

Ikhwanul Muslimin Era Hassan al-Banna

Dalam anggaran dasar IM, disebutkan bahwa tujuan dari organisasi ini adalah melakukan dakwah Islam yang benar, menyatukan umat Islam, menjaga kekayaan negara untuk menyejahterakan rakyat, meningkatkan keadilan sosial, dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Beberapa tujuan IM yang lain ialah untuk pembebasan seluruh negeri Arab dari kekuasaan asing, mendorong liga Arab dan Pan-Islamisme, membentuk negara yang melaksanakan semua hukum Islam secara utuh dan mendukung kerja sama internasional untuk melindungi hak dan kebebasan, serta berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian dan mengembangkan peradaban kemanusiaan yang baru.

Dalam perjalanannya, IM memiliki agenda gerakan yang meliputi berbagai macam hal, mulai dari dakwah melalui media massa, mengirim delegasi ke dalam dan luar negeri, pendidikan dan pengaderan untuk anggotanya dengan sistem usroh/tarbiyah, mengupayakan terwujudnya aturan publik yang dianggap lebih Islami, mendirikan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan lembaga-lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Pada mulanya organisasi ini hanya diminati oleh golongan masyarakat kelas bawah yang serba kekurangan. Namun lambat laun, golongan kelas menengah terdidik mulai tertarik pula untuk tergabung ke dalam gerakan ini. Anggota IM di awal pendirian bahkan bukan hanya kelompok terdidik biasa, tapi juga beberapa pemimpin/tokoh yang memiliki pengaruh di masyarakat mulai ikut bergabung dengan IM. Hal demikian terjadi tidak lepas dari peran Banna yang bukan saja orator ulung, tetapi juga seorang organisatoris yang luar biasa.

Gerakan IM memulai langkahnya dari provinsi Ismailiyah. Di kota inilah awal mula cita-cita besar IM diperjuangkan. Setelah cukup berkembang di Ismailiyah, pusat perjuangan IM kemudian bergeser sampai ke Kairo. Ketika di Kairo, IM  kemudian berkembang ke berbagai desa dan daerah di Mesir. Pada akhir 1940-an cabang dari organisasi ini sudah mencapai 3.000 buah dengan puluhan ribu jumlah anggota yang tersebar di seantero Mesir.

IM di Mesir memosisikan dirinya sebagai organisasi dakwah Islam. Mereka memiliki ratusan ribu kader da’i yang handal dan siap untuk didistribusikan mendidik masyarakat. IM melakukan berbagai aktivitas seperti mendidik kader-kader gerakan dakwah, mengelola ribuan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan nadwah-nadwah ilmiyah, memakmurkan masjid di seantero Mesir hingga mengelola badan-badan sosial, kesehatan, dan olah raga.

Pada masa kepemimpinan Banna, IM mulai dianggap sebagai kekuatan politik yang patut disegani. Mereka memiliki jutaan kader dan anggota yang terorganisasikan sangat rapi dengan tingkat penghayatan Islam dan kesadaran politik yang kuat. IM juga memiliki ormas-ormas underbow yang mengakar di akar rumput. IM juga mendominasi organisasi-organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, dan asosiasi-asosiasi profesional, seperti dosen, guru, advokat, kedokteran, pengusaha hingga seniman. IM bahkan memiliki Nizam Khas, sebuah sektor kesatuan bersenjata dengan militansi dan keahlian yang sangat tinggi.

Namun, pada masa kepemimpinan Banna juga, terjadi peristiwa besar yang menjadi pukulan balik bagi keberhasilan dakwah IM. Pada tahun 1947, pecah tragedi pembunuhan Perdana Menteri (PM) Mesir yang dilakukan oleh kader IM. Peristiwa ini mengubah citra IM yang awalnya baik menjadi buruk di mata pemerintah maupun masyarakat sipil. Banna menolak tuduhan bahwa IM melakukan tindakan tersebut. Banna menyatakan bahwa IM tidak pernah menghalalkan jalur kekerasan. Aksi yang dilakukan kader IM bukan menjadi representasi organisasi.

Akan tetapi, Banna tidak bisa mengelak bahwa ajaran dari organisasinya memang berpotensi melahirkan pemikiran-pemikiran radikal seperti yang terwujud dalam pembunuhan PM Mesir. IM kemudian secara perlahan-lahan digulung oleh pemerintah setelah peristiwa pembunuhan tersebut. Hassan al-Banna bahkan mati dibunuh orang tak dikenal kurang lebih dua tahun setelah tragedi pembunuhan PM Mesir. Siapa pembunuh Banna tidak ada yang tahu. Sebagian mengira orang pemerintahan yang melakukannya, sebagian lagi mengatakan pembunuhan itu dilakukan oleh lawan politiknya. Tidak ada yang bisa memastikan. Semuanya serba simpang siur.

Ikhwanul  Muslimin pasca Meninggalnya Hassan al-Banna

Terbunuhnya Hassan al-Banna tidak kemudian membuat IM ikut mati. Justru kematian Banna membuat pergulatan di internal IM menjadi semakin keras dan fanatik. IM makin sering menyerang pemerintahan yang dipandang bertentangan dengan ideologi IM. Hal ini lalu mencapai titik kulminasi berbarengan dengan kekecewaan para opsir (Free Officers Revolution) muda yang tak sejalan dengan Raja Faruk selaku kepala pemerintahan Mesir kala itu.

IM berkolaborasi dengan para opsir muda pimpinan Gamal Abdel Nasser untuk menggulingkan pemerintahan Raja Faruk. Gerakan ini berhasil dan membuat Nasser naik menjadi pemimpin Mesir yang baru menggantikan Raja Faruk.

Awalnya, IM dan pemerintah memiliki hubungan yang harmonis. Namun hubungan ini hanya bertahan sebentar. IM dan Nasser mulai bergesekan secara politis dan ideologis. Presiden Nasser tidak mau berbagi kekuasaan dengan IM dan justru bergerak dengan gagasannya sendiri yakni Pan-Arabisme yang bercorak sosialis. Gagasan IM tentang pemerintahan Islam ditolak oleh Nasser. IM kembali merasa dikhianati atas peristiwa ini.

Sayyid Qutb yang menjadi ideolog sekaligus salah satu pemimpin IM pasca meninggalnya Hassan al-Banna merasa penguasa pada saat itu telah berbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik IM membuat Qutb dan pemimpin lainnya bersikap lebih agresif terhadap lawan-lawan politiknya. Akibat hal ini, ia dan para pemimpin IM ditangkap dan disiksa di penjara oleh pemerintah.

Dari dalam penjara, Qutb menyerang penguasa melalui berbagai tulisan-tulisannya. Ia menuduh siapa pun yang tak mengikuti ideologinya sebagai kafir, murtad, dan halal darahnya. Karya-karyanya sangat berpengaruh di dunia Islam pada masanya. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Ma’alim fi Tariq, Qutb menyebut bahwa sistem pemerintahan yang tidak islami dan bukan lahir dari gagasan Islam, seperti Komunisme, Sosialisme, Sekularisme, Demokrasi, dan lainnya sebagai bentuk Jahiliyah Modern sehingga harus ditolak dan ditentang.

Gagasan tersebut membuat situasi politik di Mesir berada pada situasi yang sangat panas antara pemerintah dan IM. Banyak orang terpengaruh atas tulisan-tulisan Qutb. Tidak lama setelah beredarnya tulisan Qutb, pemerintahan Nasser menggantung Qutb dan beberapa pemimpin IM lainnya di lapangan Tahrir pada 1966. IM kemudian dibubarkan karena dianggap organisasi radikal.

Pembubaran IM tidak membuat ajarannya kemudian pudar. Justru setelah pembubaran, gagasan IM menyebar luas ke seantero dunia Islam. Berdiri berbagai cabang IM di luar Mesir yang sangat berpengaruh di zamannya. Bahkan kemunculan beberapa kelompok baru seperti Al-Qaeda, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan al-Jamaah al-Islamiyah tidak lepas dari pengaruh para aktivis IM di dalamnya. Untuk konteks di luar Arab, pengaruh IM juga masuk ke Indonesia.

Awal mula IM masuk ke Indonesia terjadi pada periode 1970-an melalui gerakan tarbiyah di berbagai kampus. Gerakan ini yang nantinya membesar dan bertransformasi dalam bentuk partai politik yang masih eksis hingga hari ini. Demikian.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kamal Cholid

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta