Polemik Kebudayaan: Pertikaian dan Pertukaran Gagasan
Judul: Polemik Kebudayaan | Penulis: Sutan Takdir Alisjahbana, Sutomo, Sanusi Pane, dkk. | Penerbit: Balai Pustaka, cet ke-4, 2008 | Tebal: xvi + 234 halaman | ISBN: 979-666-195-0
Siapa yang dapat menjamin bahwa baik Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Teungku Umar tidak akan menyerang bagian kepulauan yang lain sekiranya mereka dulu mendapat kesempatan?—Sutan Takdir Alisjahbana—
Dalam esai “Memahami Takdir” (Kompas, 18/07/22) yang ditulis Iwan Pranoto, kita seperti dipaksa untuk mengingat kembali pertikaian dan pertukaran gagasan dari para tokoh ampuh tahun 1930-an. Pranoto mencoba mendedahkan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan mitra-mitranya itu untuk kemudian menariknya ke dalam konteks kiwari.
Bagi Pranoto, ada permata yang terpendam di situ, yang seharusnya kita gali ulang dan momelesnya untuk masa depan Indonesia yang beragam. Di samping, ia juga sangat menyayangkan keberagaman pemikiran seperti diteladankan para tokoh ampuh dulu kian hari makin terancam, serta punahnya tradisi berpolemik yang dilandasi dengan kejujuran dan ketulusan.
Perdebatan pemikiran yang kemudian hari kita sebut Polemik Kebudayaan itu terjadi hampir 90 tahun lalu. Meski telah lalu, rekaman dari setiap perkataan yang berpolemik masih bisa terikuti oleh kita.
Achdiat K. Mihardja berjasa dalam hal ini karena telah dengan insaf mengumpulkan rekaman perdebatan dan kemudian dibukukan dengan judul Polemik Kebudayaan: Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (2008).
Dalam sekapur sirihnya kita kutip “Polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan lawan-lawannya adalah salah satu pernyataan tentang adanya unsur-unsur reaksi di dalam kebudayaan feodal yang sudah beku itu. Namun, sekalipun para polemis itu berhadap-hadapan sebagai pihak berselisih, dalam satu hal mereka itu adalah sependapat bahwa kebudayaan kita yang telah beku itu harus dibikin cair supaya mungkin bergerak lagi, mengalir terus ke arah muara kesempatan”.
Buku yang kali pertama terbit pada 1948 ini, di dalamnya menghimpun sembilan belas tulisan dari delapan tokoh yang berpolemik, di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sanusi Pane, Purbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (KHD). Tulisan-tulisan awalnya beredar diberbagai koran-koran masa itu, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita.
Polemik yang konon terbesar dalam sejarah Indonesia ini bermula ketika STA muda menerbitkan satu artikel bertajuk “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Prae Indonesia” di Pujangga Baru (1935).
STA membagi dua babakan perjalanan Indonesia dalam artikelnya itu. Indonesia adalah “yang timbul dikalangan bangsa kita, tidak dapat dilepaskan dari perasaan dan semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi abad kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan bangsa”.
Berbeda dengan babakan pra-Indonesia, hakikat semangat Indonesia tidak ditopang oleh masa silam, kemauan untuk bersatu yang didesak oleh kesadaran akan kepentingan dan cita-cita bersama. Tetapi “Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia, itu setinggi-tingginya hanya dapat menegaskan pandangan dan pengertian lahirnya zaman Indonesia. Namun, zaman Indonesia sama sekali bukan kelanjutan atau terusan dari zaman sebelumnya”.
Oleh karenanya, penulis Layar Terkembang itu mengajak pembaca untuk tidak melihat ke belakang ataupun mengulang gaya berpikir yang menyebabkan bangsa besar ini terjajah. Katanya, “Dan sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat”.
Tulisan yang pedas dan keras. Kita kemudian membayangkan para pembacanya, terutama tokoh-tokoh kebudayaan kala itu mendidih saat membaca artikel yang meletakan masa silam di bawah sol sepatu kulit yang mengilap. Tanggapan demi tanggapan pun datang.
Dimulai dengan Sanusi Pane yang keberatan dan mengatakan, “Tuan Sutan Takdir rupanya tidak cukup menunjukan kenyataan bahwa sejarah adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya.”
Peringatan agak keras datang dari epigrafi perintis bangsa Indonesia, Purbatjaraka, “Janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan mabuk kebaratan juga. Ketahuilah dua-duanya, pilihlah mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di hari yang akan datang kelak”.
Belum selesai dengan itu semua, lagi-lagi STA muda menulis artikel bertajuk “Semboyan yang Tegas” sebagai kritiknya terhadap prasaran pada Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang pertama di Solo (Juni, 1935). STA kecewa sekali lagi. Ia menganggap kongres tersebut hanya mempertahankan kedangkalan berpikir masyarakat Indonesia.
Katanya, “Yang hendak saya nyatakan hanyalah bahwa prasaran itu kebanyakan mengandung semangat anti-intelektualisme, anti-egoisme, dan anti-materialisme. Di samping yang negatif, yang anti itu ternyata kebanyakan menghendaki kembali ke yang lama, lari ke pesantren”.
Pesantren yang telah mengakar sejak berabad-abad lalu itu menurut STA adalah penyebab mandeknya, matinya, tiada bersemangatnya masyarakat bangsa kita. Dan, sekali lagi ia dengan berapi-api mengajak untuk melihat ke Barat. “Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat!”
Dalam kasus ini, tokoh-tokoh yang kemudian ikut menyambut dengan antusias tantangan pertukaran dan pertikaian gagasan pertama kali ialah Sutomo, diikuti oleh Tjindarbumi, Adinegoro, M.Amir, dan KHD. Para tokoh ini bersahut-sahutan sama kerasnya untuk mempertahankan setiap argumen-argumen yang sebelumnya telah terlontarkan.
Kendatipun sama-sama kerasnya dari kedua pihak yang berpolemik itu, yang tidak boleh terlupakan oleh kita ialah kedua pihak sama-sama ingin mencari arah yang terbaik untuk masa depan bangsa Indonesia dengan berlandaskan ketulusan, kejujuran, dan kesantunan.
Kita kutip pernyataan KHD, “Kami tidak tahu siapa yang akan menang; aliran ‘futura’ atau aliran ‘realita’; anak cucu kitalah yang akan dapat menetapkan. Akan tetapi, keturunan kita niscaya akan berterima kasih dan akan bisa menghargai pihak kita, asalkan mereka tahu bahwa pertentangan yang sudah berakhir itu, berlangsung dengan kejujuran dan ketulusan”.
Menyambut 50 tahun Polemik Kebudayaan, diadakan sebuah diskusi yang tampaknya menarik di Taman Ismail Marzuki. Dikatakan menarik karena ada pula yang ingin mempolemikkan Polemik Kebudayaan tersebut. Kita bisa melihatnya dari buku Catatan 50 Tahun Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana (2009).
Kita kutip misalnya dari tulisan bertajuk “Polemik Kebudayaan, ‘Puncak Kelemahan’ Berpikir Intelektual” oleh Purwaningsih Endang. Alih-alih sebagai puncak kekuatan, bagi Endang, Polemik Kebudayaan adalah puncak kelemahan atau puncak tragedi karena “inti permasalahannya perdebatan orientasi Barat dan Timur. Orientasi tersebut hanya merupakan peniruan saja”. Juga “hasil pemikiran yang ada dalam polemik kebudayaan hanya (dari) membaca dan menerjemahkan itu tampak pula pada para intelektualnya”.
Endang menulis demikian sembari membaca dan menerjamahkannya dari Ignas Kleden. Agak kontrakdiktif memang. Jikalau mengaggap Polemik Kebudayaan merupakan “puncak kelemahan” agaknya kurang tepat.
Polemik Kebudayaan terjadi 10 tahun sebelum bangsa Indonesia ada, terbentuk, dan merdeka. Apa yang ada kala itu hanya dari segelintir tokoh yang ingin membebaskan bangsa dari cengkeraman kolonial Belanda. Dan, belum jelas pula dari dan sampai mana batas-batas wilayahnya, serta siapa masyarakat penghuni dari negara yang sedang dicita-citakan itu.
Karena ketidakjelasaannya, STA juga sudah mengatakan bahwa “Indonesia dipakai untuk melingkupi seluruh wilayah penduduk di daerah yang membentang dari Pulau Formosa sampai Pantai Samudra Hindia, dari Madagaskar sampai ke Nieuw Guinea”. Belakangan hari, bila membaca The Idea of Indonesia karya R.E. Elson (2009), tahulah kita maksud dari pernyataan STA tadi.
Kata “Indonesia” kali pertama dicetuskan oleh pelancong Inggris, Windsor Earl (1850) dengan “Indu-nesians” dengan maksud “ras-ras berkulit coklat di Kepulauan Hindia” hanya dirujuk sebagai istilah etnografis.
Kemudian, kolega Earl, James Logan (1850), merujuk “Indonesia” sebagai geografis dan etnologis. Katanya, “Saya lebih menyukai istilah geografis ‘Indonesia’, yang sekadar pemendekan istilah ‘Indian Island’ atau ‘Indian Archipelago’”. Logan bahkan membagi “Indonesia” menjadi empat kawasan geografis terpisah, membentang dari Sumatra sampai Formosa.
Setelah itu, kata “Indonesia” menjadi santer tergunakan dengan muatan geografi oleh para ilmuwan, terutama para Indologi. Baru kemudian memiliki muatan politis ketika tergunakan sebagai nama Indonesiche Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1924.
Menurut John Ingleson (2018), pengambilan nama itu karena mahasiswa yang berada di Eropa saat sudah terbiasa dengan kata “Indonesia” yang memiliki muatan geografis dalam studi mereka, dan kemudian mengambilnya dengan disisipi muatan politik.
Hal ini sebenarnya juga belum memberi kejelasan sama sekali sejelas kita memahami Indonesia sebagai negara bangsa belakangan hari. Artinya, dengan segala ketidakjelasannya, para tokoh yang berpolemik demi Indonesia yang lebih baik, mencarikan jati diri, dan memilihkan proses pengajaran terbaik.
Adapun dengan perihal kutip-mengutip, bukanlah suatu tanda kemunduran. Bangsa Yunani yang agung itu, yang pemikiran tokoh-tokohnya merangsek ke dalam alam pikir manusia sedunia, juga melakukan pengutipan-pengutipan ide-ide dari bangsa sekitarnya.
Kata Eric Weiner (2016), “Bangsa Yunani dengan sigap ‘meminjam’ gagasan asing ini jika mereka bersikap murah hari, dan akan ‘mencurinya’ jika tidak…. Atau seperti kata Plato, dengan kebanggaan diri yang nyata, ‘Bangsa Yunani menyempurnakan apa yang dipinjam dari bangsa asing’”.
Jadi yang terpenting dalam pengutipan gagasan dari bangsa lain itu haruslah ada proses penyaringan untuk memilih dan memilah yang cocok, yang khas, untuk kemudian disempurnakan oleh bangsanya. Dan hal itulah yang dilakukan oleh STA dan mitra-mitranya dalam Polemik Kebudayaan.
Perdebatan tentang kebudayaan yang terjadi atas bangsa yang masih belum jelas ada dan merdekanya kala itu, meminjam gagasan-gagasan dari bangsa lain yang sudah mapan untuk kemudian disempurnakan. Lumrah bila kita menjelaskan rasanya madu kepada orang yang belum sekali pun mencicipi madu, tentu kita akan mengais sana-sini dari makanan ataupun minuman yang memiliki rasa dan tekstur menyerupai madu itu pula.
Polemik Kebudayaan masih relevan untuk kita ikuti di era kiwari. Dengan tidak berfokus pada orientasi Barat-Timur yang ada di situ, kita akan menemukan hal-hal kecil, yang hanya dibahas sekilas oleh STA muda kala itu.
Apalagi, mengingat pemerintah ataupun masyarakat yang sering ribut-ribut dominasi satu suku, agama, ras, bahasa yang tak berkesudahan itu, membuat tulisan STA perlu untuk terus kita ingat dan hayati bersama.
Katanya, “Semangat Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa ataupun ras yang satu”. Jauh-jauh hari STA mengingatkan bahwa Indonesia akan menjadi dan tetap beragam untuk selama-lamanya. Jangan paksakan kebijakan, aturan, dan pemikiran yang beragam menjadi satu, tapi menjadi bersatulah dengan dasar keberagaman.
Category : resensi
SHARE THIS POST