Perempuan yang Mencintai Pisau
Anyir darahnya sungguh menyengat. Menusuk-nusuk saraf penciuman. Padahal, aku tidak benar-benar menggoreskan pisau di tangan anak kecil itu. Cairan merah yang mengalir dari jari mungilnya pun tak seberapa banyak. Dan lagi, aku benar-benar tak suka dengan keamisannya. Aku benci setiap kali harus bertemu dengan bau menjijikkan seperti itu.
Aku lebih suka membaui besi berkarat. Memang, aromanya hampir sama dengan anyir darah. Tetapi, membaui besi berkarat lebih membuatku merasa hidup. Bagaimana tidak, besi adalah bahan dasar pembuatan salah satu mahkluk terindah di muka bumi ini. Apakah kau menyangsikan keindahannya? Baiklah, akan aku ceritakan kisahku agar kau bisa mengenal mahkluk indah dari besi itu.
Oh iya, mari kita berkenalan lebih dulu. D-A-T-U-R-A, panggil aku dengan nama itu. Aku adalah seorang perempuan yang banyak dipuji orang. Laki-laki—perempuan, tua—muda, kaya—miskin, semua memujiku. Mereka bilang aku adalah manusia terindah di kota ini. Tinggiku semampai. Rambutku sedikit ikal sebahu. Warnanya hitam melegam dan berkilau. Pigmen memberikanku warna kulit tubuh kuning langsat.
Bulu mataku sedikit memanjang. Jarak antara bulu mata satu dengan yang lainnya agak jarang. Namun, justru karena tidak terlau rapat, bulu-bulu itu memberikan kesan kuat pada orang-orang yang melihat mataku. Kedua bola mataku sendiri tidak terlalu lebar, juga tidak terlalu sipit. Pupilnya begitu jernih sehingga orang-orang sering mengatakan bahwa tatapanku meneduhkan. Hidungku tidak terlalu mancung. Rasionya pas dengan kontur wajahku.
Dan, bagian yang paling disukai oleh kebanyakan orang adalah bibirku. Aku bukan perempuan yang berbibir besar [baca: seksi]. Mereka pun menyukai bibirku bukan lantaran bibirku terlihat seksi. Mereka terkagum sebab kedua bibir yang tidak teralu merah ini—konon—mampu menghasilkan senyuman yang tidak terlupakan. Eits, bukan aku yang mengatakannya. Orang-orang itu yang berkata demikian. Mereka mengaku sangat suka melihatku tersenyum. Kata mereka, senyumanku mampu memberikan efek kedamaian. Bahkan, hingga tiga puluh hari berlalu, detail senyumanku masih bisa bertengger dalam sudut-sudut ruangan ingatan mereka.
Tak sedikit pula yang mengaku bahwa senyumanku mampu menghidupkan hari gelap mereka. Ranjang-ranjang malam pada setiap rumah di kota ini bisa saja terisi raga-raga mereka, tetapi ranjang-ranjang itu akan ditinggalkan jauh oleh jiwa-jiwa mereka. Jiwa mereka akan mengembara bersama bayangan senyumanku yang terus melekat dalam ingatan. Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak yang mengingat senyumanku tidak akan mengembara dengan jiwa-jiwanya. Bocah-bocah itu akan merengek meminta untuk dipertemukan denganku lagi.
Kalau sudah begitu, para orang tua akan mengusapkan campuran kapur sirih dan parutan kunyit di tengkuk anak-anak mereka. Tetapi, ketika tangisan para bocah semakin menjadi, tak jarang para orang tua itu—dengan sedikit sungkan—mengetuk-ngetuk pintu rumah untuk memintaku mengusap-usap kepala anaknya.
Dan, apakah kalian tahu bahwa tidak ada satu orang pun yang menganggap senyumanku sebagai sebuah petaka? Ya, mereka semua berbahagaia melihat senyumanku. Mereka juga tidak mempermasalahkan kerepotan-kerepotan yang harus dihadapi usai melihat senyumanku.
Dengan gambaran itu, apakah kalian sudah sepakat bahwa aku ini sosok makhluk yang indah? Iya, aku memang cantik. Tak ada yang menyangsikannya. Lalu, jika kukatakan bahwa ada mahkluk yang jauh lebih cantik dan lebih mengagumkan dariku, apakah kau akan mempercayainya? Ah, kau harus percaya! Meskipun, orang-orang itu tidak mempercayainya. Aku ingin kau percaya padaku. Kumohon!
***
DALAM suatu masa, aku mengenal makhluk indah itu. Aku lupa kapan tepatnya. Aku hanya ingat bahwa kali pertama aku mengenalnya di sebuah ruangan yang penuh dengan aroma rempah. Sejak itu, bau dari buah pala, cengkih, dan lada menjadi wewangian kesukaanku. Setiap aku mencium aroma rempah, ingatanku akan langsung meloncat pada makhluk indah itu.
Perkenalanku dengan makhluk indah itu diawali ketika seekor perenjak hinggap di jendela, tepat saat aku mulai melajukan kapal layarku. Sore itu, aku sedang berdiri diam di depan jendela dapur yang memang sengaja kubuka lebar sejak pagi. Sudah hampir sepuluh menit aku mencurahkan konsentrasiku di sana. Sinar matahari yang mulai meredup, menyentuh wajahku lewat kaca. Aku menatap lurus ke depan, ke arah rimbunan pohon-pohon asam.
Aku tersenyum setiap kali angin kencang datang. Ombak-ombak di depanku bergemulung riuh. Tarian-tarian air yang tak beraturan tetapi terus berulang itu seakan-akan ingin memeluk ekor-ekor camar yang bercanggah seperti garpu. Camar-camar itu sendiri menjadi pemandangan mengasyikkan bagiku. Mereka seperti sedang menantang gulungan ombak. Dara laut yang berwarna putih keabu-abuan itu menggunakan kedua sayap panjang dengan ujung meruncingnya untuk mempermainkan ombak. Ombak tidak pernah berhasil memeluk tubuhnya yang langsing. Drama alam itu meneduhkanku.
Lalu, tiba-tiba seekor perenjak datang. Dia terbang berputar sebentar, sebelum akhirnya mendaratkan diri di jendela. Tepat di bagian besi penahan—yang digunakan untuk menyangga agar jendela tetap terbuka—kedua kaki mungil itu bercokol. Dia diam sejenak. Menggerak-gerakkan kepalanya, seperti sedang mengamatiku. Lalu, kiacuan demi kicauan keluar dari paruh mungilnya.
Andai dia berkicau sekali saja, lalu pergi untuk terbang lagi, barangkali aku tak akan merasa terganggu. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia terus berdiri di sana untuk mengeluarkan kicauan. Aku pun mulai merasa terganggu. Suara-suara gemuruh ombak dan racauan camar-camar yang sedari tadi memanjakan soreku, semakin samar terdengar. Lautan dan batas cakrawala juga semakin menjauh. Aku mulai kehilangan mereka.
Tak lama kemudian, aku mendengar bisikan di telingaku. Sebuah bisikan yang kukenal betul sumber suaranya. Aku belum pernah bertatap muka dengan pemilik sumber suara itu. Tetapi, dia sering sekali datang padaku untuk membisikkan berbagai hal. Kedengarannya memang sedikit aneh, tapi aku benar-benar sudah akrab dengannya. Dia selalu datang saat aku kelelahan, marah, dan bahkan kesepian.
Seperti biasa, pada setiap awal kedatangannya aku tidak begitu memahami apa yang dia bisikkan. Jika kalian melihatku menggerakkan bibir tanpa bersuara, maka bisa dipastikan bahwa aku tidak sedang merapalkan mantra. Itu pertanda bahwa dia sedang datang membisikkan sesuatu yang tidak kudengar dan aku sedang memintanya untuk berbicara lebih keras.
Biasanya, caraku itu berhasil. Dia akan menaikkan volume suaranya secara bertahap. Seperti kali ini. Dia membisikkan padaku bahwa perenjak itu adalah utusan iblis. Dia juga berkata bahwa perenjak itu sengaja datang untuk mengambil semua milikku. Jika kali ini perenjak itu bisa mengambil lautan beserta ceracau camar, gulungan ombak, dan kemudi kapalku, maka tidak mustahil juga bahwa dia akan mengambil nyawaku suatu hari nanti. Itu yang dikatakan pemilik sumber suara.
Dalam beberapa saat, aku mencoba bertanya, mendebat, dan menyangkalnya. Aku tidak habis pikir bagaimana makhluk sekecil itu bisa merenggut semua milikku. Ketika aku berusaha untuk berpaling dari jendela, pemilik sumber suara justru meneriakkan perintah yang membuatku terlonjak. Dia menyuruhku untuk tidak pergi dan tetap berdiri di depan jendela. Saat aku membalikkan badan dan menatap kembali perenjak yang masih saja berkicau itu, pemilik sumber suara kembali berbisik. Kali ini bisikannya begitu jelas terdengar di telingaku. Dia membisikkan sebuah kalimat yang mudah kucerna, “Bunuh perenjak itu!”
Kalimat itu terus diulanginya. Suaranya pun semakin meninggi. Mendadak, pikiranku dipenuhi kalimat-kalimat yang terus berulang itu. Aku tidak bisa memikirkan hal lain. Hanya ada sebuah ide yang terus berpusing-pusing dan meminta segera dikeluarkan. “Aku harus membunuhnya!” gumamku.
Maka, tak perlu waktu lebih lama lagi bagiku memutuskan untuk segera melenyapkannya. Aku mengarahkan pandanganku ke sekitar jendela. Sinar matahari yang masih menembus kaca jendela membuat mataku mendaratkan tatapan pada sebuah benda di sudut ruangan. Kilapan benda itu menyilaukan mataku. Tapi aneh, aku merasakan ada sebuah daya tarik yang mempesonakanku pada benda itu. Aku tidak bisa menggambarkan daya tarik seperti apa itu, tetapi aku merasa seperti menemukan sebuah kecintaan.
Aku pun berjalan menghampirinya. Aku ingin melihatnya. Setelah jarak kami begitu dekat, aku mendengar suaranya yang begitu lembut tengah menyapa kehadiranku. Lalu, aku memperkenalkan diri. Dia pun mengatakan bahwa dia senang berkenalan denganku. Aku menjabat tubuhnya yang terbuat dari besi dan berpakaian kayu itu sebagai tanda bahwa aku setuju berteman dengannya.
Aku terus menatap dan tersenyum kepadanya. Aku menikmati saat-saat pertemuan pertama kami. Dialah makhluk indah yang kukatakan. Jika kau bisa berkenalan dengannya sekali saja, maka kau pasti akan terbius sepertiku. Sama halnya ketika kau melihat senyumanku. Tetapi sayang, sepertinya kau terlalu sibuk dengan duniamu sehingga tak pernah mau menyapa makhluk indah itu.
Aku terus tersenyum dan menyentuh tubuhnya yang dingin. Mungkin, aku akan terus melakukannya hingga aku tertidur jika saja dia tidak menegurku. Tidak, makhluk indah itu tidak menegurku karena aku terlalu lama mengusap dan membaui tubuhnya. Dia hanya mengingatkan tujuan semulaku untuk melenyapkan perenjak itu.
Dengan cepat, ingatanku meloncat pada unggas kecil di jendela. Kicauannya masih terdengar. Aku tidak tahu apa yang membuatnya betah bertengger di sana. Aku pun segera meminta izin pada makhluk indah itu untuk menggunakan tubuhnya demi mewujudkan tujuanku. Dia tersenyum membalas permintaanku. Kemudian, aku menggenggamnya begitu erat di tangan kananku. Lalu, aku pun mengendap menuju jendela.
Sesampainya di depan jendela, kupandangi lagi perenjak itu. Satu detik kemudian, tangan kiriku meraih tubuhnya. Dia sempat hampir lolos dari cengkeramanku dan terbang. Tetapi, aku berhasil menguasainya. Kicauannya tidak lagi terdengar, berganti dengan suara cekatan dari dalam laringnya. Detik berikutnya, aku mempersilakan makhluk indah di tangan kananku untuk mencicipi kesegaran darah unggas berisik itu.
Aku melongok ke luar jendela. Di bawahnya, sebuah kepala mungil tergeletak dengan mulut terbuka. Ada darah yang terus berjatuhan ke arah sepasang mata yang terpejam itu. Sementara di tangan kiriku, rasa hangat dari seekor tubuh berbulu—tanpa kepala—mulai memudar. Beberapa bagian wajahku memerah, terciprat darah. Lalu, aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi dan memandangi makhluk indah itu sambil tersenyum puas.
Namun, ketika darah yang menempel di ujung tubuh makhluk indah itu mengalir turun masuk ke dalam genggamanku, lalu terus melaju hingga ke lengan, aku merasa ngilu. Perlahan, kurasakan air mataku ikut mengalir. Aku bergidik melihat makhluk indah itu. Sontak, aku juga merasa tertampar mendapati tubuh mungil berbulu tanpa kepala di genggaman tangan kiriku.
Sekonyong, aku merasakan isi perutku diaduk-aduk dengan cepat. Aku mual. Bau darah itu mengaburkan pandanganku. Tubuh perenjak pun terlepas dari genggamanku. Jatuh ke luar jendela. Mungkin bersatu lagi dengan kepalanya. Aku terduduk. Masih menggenggam makhluk indah itu. Aku amati tubuhnya yang menajam di satu sisi dan tumpul di sisi yang lain. Aku bermain dengan sentuhan-sentuhan pada sisi tubuhnya yang tajam. Sesaat, rasa bergidik itu sirna. Aku mulai mengusap sisa darah yang masih menempel pada tubuhnya.
Kuambil remahan pala, cengkih, dan lada yang bercecer di lantai. Kuusapi tubuhnya dengan remahan-remahan itu. Kubaui tubuhnya yang masih saja tetap dingin. Bau darah sudah menghilang. Tubuhnya kini beraroma wangi. Aku menyukainya. Aroma itu membangun kesan hangat pada makhluk indah itu. Aku juga tak lupa untuk menanyai perihal perasaannya usai bersentuhan dengan darah perenjak. Dia menceritakan tentang banyak rasa padaku. Yang jelas, dia sama sepertiku. Merasakan sebuah kepuasan.
Hingga kemudian, bau anyir darah perenjak itu kembali hadir menyergap dan membuat isi lambungku kembali teraduk. Spontan, kulempar makhluk indah itu menjauhiku. Masih dalam posisi duduk, aku kembali berair mata. Kudekap kedua kakiku. Ketakutan kian merasuki pikiranku. Sebuah penyesalan yang datang tiba-tiba, semakin membuatku merasa bersalah. Aku tak berani menatap makhluk indah yang kini tergeletak di hadapanku. Aku terus menangis di bawah jendela hingga tak menyadari bahwa sinar matahari sudah tidak menembus kaca lagi.
***
PERJUMPAAN pertamaku dengan makhluk indah itu adalah cikal bakal yang merubah pandangan orang terhadapku. Tidak ada yang menyaksikan potongan adegan di jendela dapur sore itu. Tidak juga seorang pun yang mengetahui alur ceritanya. Semua tersimpan rapat—hanya—dalam ingatanku. Tetapi, hampir setiap orang yang dahulu menyukai senyumanku, kini memilih untuk berbalik arah. Sekarang mereka menganggap senyumku begitu mengerikan.
Bagaimana tidak, jika seteah aku berjumpa dengan makhluk indah itu, ada banyak orang yang telah aku lukai. Sekilas, tak ada perbedaan pada kebiasaanku dalam hal tersenyum. Sebelum berjumpa dengan makhluk indah itu, aku memang jarang tersenyum. Begitu pun ketika aku telah berjumpa dengannya. Perbedaannya hanya tampak pada perilaku yang muncul usai aku tersenyum.
Sebelum berjumpa dengan makhluk indah itu, setiap kali selesai tersenyum, aku akan tertawa melihat camar-camar saling berebut ikan di atas gulungan ombak. Lalu, aku akan memeragakan wajah konyolku sambil mengemudikan kapal layarku. Orang-orang itu menyukai perilakuku yang demikian. Mereka merasa senang setiap kali aku tersenyum karena setelah tersenyum, aku akan membawa banyak tawa di hadapan mereka.
Namun, setelah berjumpa dengan makhluk indah itu, aku tidak lagi menemukan camar-camar dan gulungan ombak usai tersenyum. Aku masih bisa tertawa lepas menyaksikan beberapa camar terbang mendekatiku sambil memamerkan ikan hasil tangkapannya. Tetapi kemudian, camar-camar itu semakin menghilang dari pandanganku. Ombak-ombak juga mulai pergi menjauhiku. Kemudi kapalku mulai sulit dijalankan. Jika sudah seperti itu, muka dan telingaku akan memerah. Dan aku pun akan segera mengambil makhluk indah yang selalu kuselipkan di antara kantong-kantong celanaku.
Jenis makhluk indah yang kubicarakan saat ini adalah jenis makhluk indah yang lain. Bukan makhluk indah yang kujumpai di dekat jendela dapur kala itu. Tetapi, makhluk indah yang satu ini masih satu marga dengan mahkluk indah yang kujumpai di dekat jendela kala itu. Tubuh makhluk indah yang satu ini terbuat dari besi secara keseluruhan. Dia bisa dilipat sehingga mudah dibawa ke mana-mana.
Setiap kali aku menemukan makhluk indah itu di dalam salah satu kantong celanaku, maka setiap kali itu pula aku harus menemukan darah. Tak jarang aku menggunakan tubuh dari orang-orang yang menyukai senyumanku untuk mendapatkan darah. Aku yakin bahwa aliran darah mereka akan dapat mengembalikan semua milikku—camar, ombak, dan kapal.
***
AKU tidak kejam. Aku tak pernah menyiksa mereka. Aku hanya meminta mereka untuk membantuku mengembalikan milikku yang terampas. Biasanya, aku akan membuka lipatan tubuh makhluk indah itu, lalu menempelkan bagian tubuhnya yang tajam di atas kulit salah satu dari mereka. Sudah pasti mereka akan merasakan dingin. Aku ingin mereka bertahan sejenak dari dinginnya tubuh makhluk indah itu. Aku ingin mereka mengenal makhluk indah itu. Tetapi, setiap dari mereka selalu menunjukkan wajah yang tak ramah pada makhluk indah itu. Mereka selalu memberontak setiap kali aku mencoba mendekatkan makhluk indah itu ke bagian tubuh mereka. Maka, tak ada cara lain untuk memperkenalkan makhluk indah itu kepada mereka, kecuali dengan sedikit menyayat kulitnya.
Aku tak pernah benar-benar memotong bagian tubuh mereka. Aku hanya sedikit bermain-main dengan kulit bagian atas mereka. Setelah darah mengalir dari sayatan yang kubuat, aku akan merasa lega sebab camar, ombak, dan kapalku akan kembali lagi. Sejak saat itu, orang-orang menjadi segan terhadapku. Mereka tidak terlalu peduli lagi dengan senyumku. Bahkan, ketika aku mulai tersenyum, mereka akan segera lari tunggang langgang menjauhiku. Setiap anak akan diberikan pengertian oleh orang tuanya untuk tidak pernah berada di dekatku. Aku pun memiliki nama panggilan baru: T-E-R-O-M-P-E-T S-E-T-A-N. Dan, bisa ditebak, aku mulai tidak memiliki kawan.
Beruntung aku masih memiliki seorang ibu. Selain sebagai kawan, dia benar-benar menjadi pahlawan bagiku. Dia selalu datang pada waktu yang tepat, saat-saat di mana camar, ombak, dan kapal mulai menjauh dari pandangku. Setiap kali aku mulai tersenyum dan kemudian tertawa terbahak-bahak, ibu akan segera hadir di hadapanku. Dia akan mengusap-usap rambutku dan berkata lembut, “Nak, di sini tidak ada camar. Tidak ada ombak. Dan, tidak ada kapal. Jadi, tidak ada yang hilang dari pandanganmu karena memang semua itu tidak ada di sini.”
Kemudian, aku pasti akan menghentikan tawaku dan memandanginya. Aku akan sedikit marah karena aku merasa bahwa ibu sedang berbohong kepadaku. Jelas-jelas aku melihat semua itu—camar, ombak, dan kapal. Aku juga melihat ketika benda-benda itu mulai pergi dari hadapanku. Karena itu, aku akan selalu memprotes pernyataan ibu. Dalam situasi seperti itu, ibu tidak pernah menyelaku. Dia selalu mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutku sembari terus menatapku hangat. Setelah aku selesai berbicara, ibu akan memelukku. Erat sekali. Lalu, dia akan kembali melihat mataku sambil terus menjelaskan bahwa tidak pernah ada camar, ombak, dan kapal di hadapanku.
Setelah aku merasa sedikit tenang dan tidak lagi emosi, ibu akan memintaku untuk minum obat-obatan itu lagi. Sudah tiga hari ini aku mengonsumsi berbagai jenis obat. Ibu bilang, obat itu akan membuatku jauh dari darah, sesuatu yang kubenci baunya. Ibu juga sudah mengambil semua makhluk indah yang kumasukkan ke dalam kantong-kantong hampir di setiap celanaku. Dia berkata, “Kalau kamu ingin bertemu dengan makhluk indah itu, katakan pada dirimu sendiri bahwa kamu tidak membutuhkan mereka. Mereka sering menyakiti orang-orang kamu sayang, jadi kamu harus menjauhi makhluk indah itu.” Aku mencoba menurutinya, meskipun sangat sulit bagiku mengendalikan diri untuk tidak bertemu dengan makhluk indah itu. Aku sudah telanjur mencintainya. Makhluk indah itu selalu berhasil mengembalikan milikku yang hilang.
***
DATURA, namaku. Nama yang diambil dari sebuah jenis tanaman berbunga, Datura Stramonium. Bunganya yang mirip terompet membuat siapa pun akan terpesona melihatnya. Tetapi ketika mereka mengenalnya lebih dekat, mereka akan menyadari bahwa seluruh bagian dari tubuhnya mengandung racun jenis alkaloid yang mematikan. Tidak bisa membedakan realitas dan halusinasi yang sedang berlangsung adalah efek terparah dari racun yang dihasilkan tanaman jenis ini. Aku tidak tahu mengapa ibu memilihkan nama itu untukku. Aku juga tidak tahu mengapa pada akhirnya aku justru menjadi “racun” bagi orang-orang yang menyukai senyumanku. Satu hal yang kusadari dalam tiga hari belakangan ini: Ibu selalu mengulurkan tangan yang berisi obat-obatan dan menyuruhku untuk menelan semuanya sambil merapalkan mantra.
Rapalan mantra pada obat pertama yang kutelan: Tidak ada camar-camar di depanku!
Rapalan mantra pada obat kedua yang kutelan: Tidak ada gulungan ombak di depanku!
Rapalan mantra pada obat ketiga yang kutelan: Tidak ada kapal yang aku kemudikan!
Rapalan mantra pada obat keempat yang kutelan: Tidak boleh mencari PISAU!
-4 Juni 2014-
*Teruntuk orang-orang dengan program “pengobatan seumur hidup” yang terus bersabar mengonsumsi CPZ (Chlorpromazine), HLD (Haloperidol), THP (Trihexilpenidyl), dan Risperidone—serta para pendamping (orangtua, istri, suami, anak, saudara, teman, juga dokter) yang bermental baja di sisi mereka.
Sumber: kesorean
Category : cerpen
SHARE THIS POST