Pengajian Kampung

05 Juli 2019
|
1487

Menapaki tradisi kebudayaan Indonesia, dapat dijumpai berbagai kearifan lokal, budaya, dan tingkat peradaban yang tinggi. Kebudayaan tradisional terlahir sebagai watak dasar sebuah peradaban, sebab tidak dipungkiri bahwa kebudayaan itu merupakan hasil budi dan daya manusia terhadap kondisi kehidupan dan lingkungannya. Hal itu terbentuk menjadi dua sifat yang dapat dikenali—ambil contoh istilah hardware dan software. Dalam budaya mungkin bisa mewujud pada karakter manusia dan karya (artefak; kerajinan tangan). Namun yang namanya peradaban budaya tidak hanya itu saja, tradisi, kebiasaan, nilai dan sistem kemasyarakatan juga termasuk di dalamnya.

Perpaduan budaya tidak hanya berhenti pada satu pola, peradaban memunculkan kebudayaan baru, teknologi, dan perkembangan zaman, menjadikan sebuah peradaban berkembang secara dinamis. Tidak luput juga bidang sejarah, politik, ekonomi, dan agama yang ikut berkaitan di dalamnya. Menjadi naluri harfiah bahwa manusia memiliki kemampuan berpikir dan mengolah kehidupan berserta isinya. Budaya memiliki andil, dan membawa hal-hal tersebut.

Ada istilah “Gotong-royong”, mungkin istilah inilah yang menunjukkan wajah-wajah Indonesia apabila didefinisikan dalam ranah kebudayaan yang beradab. Ciri ini mudah ditemui di pedesaan, kampung-kampung, pondokan, yang mengajarkan nilai-nilai luhur. Ambillah contoh bersih desa/merti desa, ruatan, syukuran, maulidan, yasinan, tahlilan, simakan, sholawatan hingga pengajian kampung. Di dalamnya ada ibadah, doa, dan penyampaian syukur kepada Sang Pencipta. Lebih pas lagi adalah pengajian kampung, berangkat dari kata mengkaji/mengaji (mendalami/belajar), dimana memiliki kecenderungan dalam belajar agama. Sedangkan kampung merujuk pada tempat di pedesaan yang syarat makna tradisional, mengemban nilai-nilai kedekatan sosial. Biasanya pengajian kampung dilaksanakan di tempat terbuka yang lapang atau masjid/mushola/langgar diisi dengan majelis taklim yang dipimpin tokoh masyarakat, alim-ulama, atau kiai yang menjadi panutan masyarakat.

Di mana manusia berkumpul, naluri perdagangan pun akan muncul sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat. Dari segi ekonomi, pengajian kampung menjadikan masyarakat berkumpul dan memiliki pengaruh pada komoditi perdagangan. Pengajian-pengajian kampung ini tidak hanya dihadiri para orang tua saja, remaja, anak-anak, hingga balita juga ikut hadir didalamnnya. Barang dagangan yang disajikan memiliki keragaman jenis. Selain itu pesona utama yang digemari semua orang adalah makanan, ada makanan tradisional, juga ada makanan modern. Ragam jualan jajanan, semisal bakso, mie ayam, sate Madura, cilok, kacang rebus, kebab, sosis menjadi daya tarik. Hal ini menjadikan geliat perdagangan dalam kemandirian ekonomi yang tergerakkan melalui pengajian kampung.

Di sinilah kemudian terbentuk fungsi masyarakat sebagai tempat berkumpul, berinteraksi, bersilaturahmi, berkegiatan secara bersama. Merujuk konsep Pancasila pada sila keempat, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Apabila dimaknai menjadi sebuah usaha bermusyawarah dalam pencarian hikmah. Pencarian tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, dimana itu menjadi jalan manusia mengenali Tuhannya. Jalan bagi manusia dalam merumuskan solusi dalam kehidupan bermasyarakat dan sosial. Membentuk kemandirian dalam asas berjamaah dan persatuan-kesatuan. Menitikberatkan pada pilihan yang jujur, adil, dan terbuka terhadap berbagai kesempatan.

Ketika hikmah muncul, maka akan menimbulkan kesadaran sosial yang tinggi dalam berbuat baik, menciptakan kepedulian tinggi terhadap sesama, maupun alam semesta. Mulailah disusun sebuah konsep “Gotong-royong”. Bentuk nyatanya ada dalam pengajian kampung, dilihat, dengan partisipasi masyarakat, ada yang menjadi panitia, ada yang menjadi koordinator, ada yang sukarela memberikan bantuan tenaga-materi, ada yang kebagian jatah memberikan jaburan (jajan pasar/santapan saat pengajian), ada yang memainkan rebana, sholawatan. Semua bersatu padu dalam nilai “Gotong-royong” kebersamaan.

Atmosfir seperti inilah yang membuat sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat menyatu, dalam pencarian kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Masyarakat berkumpul pada satu tempat secara bersama-sama. Menjadi pemaknaan keindahan dan bekal menuju akhirat. Tidak akan sempat seseorang berprasangka buruk, berbuat zalim atau mencelakai sesamanya, ketika fokus mereka, hanya pada penghambaan kepada Tuhannya. Satu sama lain saling mengamankan sesamanya, yakni saudara, teman, tetangga, keluarga. Mengaji bersama dengan nilai persuasif yang baik, tanpa menebar amarah maupun ketakutan. Orang-orang yang mengikuti pun tenggelam dalam ketenangan dan samudra kebajikan, mengikuti dari awal sampai akhir. Tidak luput juga pujian sholawat dan suluk sebagai hiburan di sela-sela hikmah dan ilmu yang disampaikan para kiai.

Selain itu, konsep pengajian juga menjadi wadah dan bekal bagi lahirnya negara dan bangsa. Adanya faktor peradaban dan kebudayaan, menjadi bekal berdirinya sebuah negara, yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan, dan nilai-nilai spiritual, mewujud sesuatu yang tidak tergoyahkan.

Syaikhona Kholil, sesepuh ulama di Indonesia, membekali muridnya dalam dakwah. Wejangan dakwah beliau untuk Indonesia adalah dengan memerintahkan muridnya berdakwah-belajar agama, sekaligus membangun nilai dan moral masyarakat. Dua murid dibekali kitab, sebagai simbolisasi ilmu, hingga terlahirlah dua organisasi besar NU (KH. Hasyim Asy’ari) & Muhammadiyah (KH. Muhammad Darwis/KH. Ahmad Dahlan). Dua murid yang lain ke Jombang, satu KH. Romly Tamim dibekali pisang, bertujuan membenahi ekonomi masyarakat (ekonomi kerakyatan) mewujud ekonomi dalam ranah pangan, kebutuhan sehari-hari. Satu lagi KH. Imam Zahid dibekali cincin, sebagai simbol persatuan-kesatuan, meredam konflik dengan menciptakan persatuan dan kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, pengajian-pengajian kampung menjadi penting, apalagi dalam membangun negara.

Sama seperti cerita para ulama-kiai terdahulu, kiai kampung juga tidak kalah penting dalam pengajian-pengajian di masyarakat. Pintu-pintu berkah masuk melalui peran para kiai dalam membuka pengajian, keberkahan masuk lewat doa-doa beliau-beliau ini. Sikap taqdzim (adab untuk selalu menghormat), ikram (memuliakan), dan khidmaht (khusyuk dan fokus) seseorang terbentuk dari pengajian-pengajian ini. Kiai-kiai kampung juga tidak sembarangan memberikan dakwah. Malahan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan halus, diikuti dengan sedikit canda, syarat kritik sosial, menunjukkan pemaknaan yang kaya simbolisasi. Tak luput juga memberikan optimisme hidup dengan prinsip “Urip mung mampir ngombe”, dimana target akhirnya adalah kesejatian hidup di akhirat. Sehingga ahklak berupa watak dan karakter masyarakat terbentuk dari nilai-nilai yang disampaikan, menjadikan wajah-wajah bangsa Indonesia berbudi dan beradab.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Aji Muhammad Said

Seorang pemuda