Pemikiran Mustafa 'Abd ar-Raziq
Mustafa ‘Abd ar-Raziq merupakan seorang filosof Islam, pengajar, penulis, dan menteri kabinet Mesir. Ia lahir di Abu Jirj, Provinsi Minya, Mesir Tengah, pada 1885, dan meninggal pada 15 Februari 1947. Adik kandung dari Mustafa ‘Abd ar-Raziq adalah Ali ‘Abd ar-Raziq.
Ar-Raziq memulai pendidikannya di Desa Kuttab dan tidak kurang dari tiga belas tahun belajar di Al-Azhar, dari 1895 sampai 1908, di bawah bimbingan Muhammad Abduh.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar, Mustafa ‘Abd ar-Raziq sempat mengajar sebentar di sekolah kehakiman dan Universitas Mesir; sekarang Universitas Kairo. Kemudian ia meneruskan studinya di Sorbone, Prancis bersama dengan Emile Durkheim. Ar-Raziq mengajukan tesis mengenai Imam Syafi’i.
Pada 1909 ar-Raziq dipercaya untuk mengajar filsafat Islam di Paris dan Lyons. Pada 1912, ia kembali ke Kairo namun hanya sebentar, lalu kembali lagi ke Prancis selama dua tahun di sebuah Sanatorium sebagai penulis tidak tetap di al-Jarida (Arthur Goldschmidth, 2000: 8).
Sewaktu al-Jarida bangkrut pada 1915, ar-Raziq merintis sebuah majalah Mingguan bertema pembebasan bernama al-Sufur.
Pada saat yang bersamaan, ia diangkat menjadi Dewan Sekretaris Jenderal Al-Azhar, berselang lima tahun kemudian ia menjadi inspektur di pengadilan agama tahun 1920, dan menjadi profesor filsafat di Al-Azhar pada 1928. Ia menjadi Menteri Wakaf pada 1937 dan terpilih kembali pada 1940.
Pada 1940 ini pula ar-Raziq bergabung menjadi anggota akademi bahasa Arab, serta menjadi rektor Al-Azhar pada 1945 menggantikan Mustafa al-Maraghi (Arthur Goldschmidth, 2000: 8).
Buku karya Mustafa ‘Abd ar-Raziq di antaranya Pengantar Sejarah Filsafat Islam atau Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah.
Penyingkapan fakta dalam buku tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam telah memainkan peran penting dalam mengklarifikasi wilayah pembahasan yang tidak hanya terbatas pada filsafat Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail, Ibn Bajjah, dan Ibn Rusyd, di bawah pengaruh filsafat Yunani (Mohamed Othman Elkhost, 2019: 11).
Sebagaimana karya-karya yang ditulis Muhammad Abduh, buku yang ditulis Mustafa ‘Abd ar-Raziq tersebut berdasarkan konteks rasionalisme abad ke-19.
Berawal mengikuti anggapan Joseph Ernest Renan terhadap filsafat Islam yang menurutnya filsafat Islam bukanlah artian penting dalam Islam (tidak memiliki tempat nalar, hanya terpengaruh oleh filsafat Yunani), memicu ar-Raziq menulis buku tersebut dan digunakan untuk mengajukan kritik kepada Renan dengan menjelaskan tempat nalar Islam (Albert Hourani, 2013: 163).
Ar-Raziq menjelaskan nalar Islam dengan melakukan penelitian ilmiah tentang ra’y (secara harfiah berarti pendapat dan pertimbangan) sebagai sumber hukum Islam—atau dalam arti yang lain ini merupakan bagian dari ushul fikih.
Ia pun membuat seruan kepada pemikir Islam kala itu untuk membuktikan bahwa ra’y memang ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw, dan dalam sejarahnya Nabi memang pernah mengizinkan para sahabat untuk melakukannya.
Dalam melakukan penelitian, ar-Raziq sangatlah dipengaruhi oleh dispilin pengkajian Barat sehingga ia sangat hati-hati terhadap sumber-sumber sejarah, dan konteks perkembangan sejarah (Albert Hourani, 2013: 168).
Dalam pandangan ar-Raziq, ilmu ushul fikih merupakan bagian dari filsafat Islam (Mohamed Othman Elkhost, 2019: 11). Pada 1944, ar-Raziq menyampaikan pandangannya dan tercatat sebagai orang yang pertama kali menyampaikan pemikiran tersebut.
Alasan ilmu ushul fikih masuk dalam klasifikasi filsafat Islam, karena ilmu ushul fikih termasuk bidang pengetahuan yang berfokus pada filsafat hukum dan mirip dengan metodologi dengan ilmu kalam—menempatkan wahyu sebagai sumber primer dan akal sebagai sumber sekunder.
Lebih lanjut, bahkan ushul fikih juga membahas dasar-dasar kalam yang notabene merupakan wilayah kajian ilmu kalam itu sendiri. Selain itu, jika dikatakan filsafat kenabian sebagai ciri khas filsafat Islam, maka wujud nyata filsafat kenabian itu ialah ilmu ushul fikih.
Ilmu ushul fikih mengantarkan manusia memahami pesan misi kenabian Muhammad Saw pada kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Riza Zahriyal Falah, 2015: 427).
Kedudukan ilmu ushul fikih di kalangan umat muslim sangatlah urgen untuk melakukan pengambilan dan penetapan hukum, oleh karena itu ilmu ushul fikih memiliki peran yang sama dengan logika.
Seperti halnya logika yang dapat menghindarkan seseorang dari kesalahan dalam berargumentasi dan berpikir, ilmu ushul fikih juga mencegah seorang mujtahid melakukan kesalahan dalam melakukan pengambilan atau penetapan hukum (Riza Zahriyal Falah, 2015: 427).
Mustafa ‘Abd ar-Raziq ingin “membuktikan kompatibilitas filsafat Islam tradisional dengan rasionalisme pemikiran modern”. Selain itu, ar-Raziq berhasil mendirikan sekolah penelitian yang merupakan titik balik dalam sejarah peradaban umat muslim dunia dengan menjadikan filsafat menjadi bidang akademik ilmu formal.
Murid Mustafa ‘Abd ar-Raziq seperti Mustafa Helmi, Abu al-Ela Afifi, Ahmad Fuad al-Ahwani, Osman Amin, Ibrahim Bayumi Madkour, Ali Sami Al-Nashar, Muhammad Abdul Hadi Abu Reida, Muhammad Ali abu Rayyan, dan Taufik Al-Taweel, merupakan tokoh-tokoh terkenal yang digolongkan sebagai tokoh reformis.
Mustafa ‘Abd ar-Raziq dengan ciamik telah melahirkan murid-murid yang hebat, dan ini menunjukkan bahwa ada ikatan perubahan keilmuan filsafat di dunia muslim dengan reformasi Islam.
Murid-murid Mustafa ‘Abd ar-Raziq seperti yang telah disebutkan, juga telah berkontribusi dalam berbagai bidang studi, seperti filsafat Islam, termasuk kritik Islam terhadap logika Aristotelian, sejarah filsafat dari zaman Yunani hingga zaman modern, tasawuf, teologi skolastik Islam, dan metodologi pemikiran Islam (Mohamed Othman Elkhost, 2019: 12).
Ada dua poin penting dari pemikiran Mustafa ‘Abd ar-Raziq.
Pertama, ia memasukkan ilmu ushul fikih bagian dari filsafat Islam, karena menggunakan ra’y—ini juga berfungsi untuk membantah tuduhan Renan terhadap filsafat Islam—untuk menentukan suatu hukum masalah yang berkembang di masyarakat yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadis Al-Maqbulah.
Kedua, ar-Raziq sangat berhati-hati dalam menerima sumber-sumber sejarah, ini meniscayakan bahwa dirinya orang yang skeptis. Sedangkan kontribusinya, ar-Raziq berhasil membuka sekolah penelitian dan memasukkan studi filsafat dalam rancangan akademik, sehingga untuk pertama kalinya filsafat masuk dalam dunia akademik Islam berikut sukses mencetak murid-murid yang berpengaruh.
Referensi:
Elkhost, Mohamed Othman, “Contemporary Islamic Philosophy Respone to Reality and Thinking Outside History”, dalam Journal of Humanities and Applied Social Sciences, Vol. 1, No. 1, 2019.
Falah, Riza Zahriyal, “Filsafat Islam dalam Ilmu Ushul Fikih”, dalam Yudisia, Vol. 6, No. 2, 2015.
Goldschmidth, Arthur, 2000, Biographical Dictionary of Modern Egypth, Colorado: Lynne Rienner.
Hourani, Albert, 2013, Arabic Thought in The Liberal Age 1789-1939, UK: Cambridge University Press.
Category : filsafat
SHARE THIS POST