Paradigma Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman
Moeslim Abdurrahman adalah bagian dari generasi emas cendekiawan muslim Indonesia yang seangkatan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, Ahmad Syafii Maarif, Dawam Raharjo. Sebagai seorang muslim yang terpelajar, sebagaimana teman-teman segenerasinya, Moeslim ingin menjawab tantangan-tantangan yang sedang dihadapi oleh umat Islam dalam merespon proses modernisasi dan pembangunan yang sedang berkembang saat itu (hingga saat ini).
Dari pergumulannya dengan realitas, Moeslim melihat bahwa proses globalisasi dan modernisasi tidak berhasil memberikan kesejahteraan yang merata kepada semua orang. Ada kelompok-kelompok sosial yang tidak terakomodasi dan malah tersingkirkan secara ekonomi dari proses pembangunan yang didorong oleh globalisasi dan modernisasi itu.
Sebagai seorang doktor bidang antropologi lulusan University of Illionis, Amerika, ia menemukan masalah jurang kesenjangan ekonomi yang dahsyat antara orang-orang yang diuntungkan dengan orang-orang yang dirugikan oleh proses pembangunanisme modern. Dan dalam konteks dimana ia hidup sebagai seorang muslim jebolan pesantren, kemiskinan itu banyak diderita oleh kaum muslim di negeri tempat ia dibesarkan.
Dari hasil pergulatan-pergulatan realitas sosial dengan keislaman yang ia yakini dan pelajari secara akademik itulah yang kemudian membuahkan gagasan “Paradigma Islam Transformatif”. Menurut Moeslim dalam buku Islam Sebagai Kritik Sosial (2003) menjelaskan bahwa ajaran Islam harus terus dikontekstualisasikan dengan fakta realitas sosial dimana orang-orang muslim itu hidup. Ajaran Islam harus mampu menjawab problem yang sedang diderita oleh orang-orang muslim yang mengimaninya.
Menuju tafsir transformatif
Upaya untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam agar dapat menjawab realitas kemiskinan yang banyak diderita oleh banyak muslim dengan cara penafsiran baru, yaitu penafsiran yang berwatak transformatif. Menurut Moeslim perlu adanya sebuah teologi Islam baru yang bisa dijadikan oleh kaum muslim menjadi alat ideologis yang dapat membebaskannya dari belenggu-belenggu kesengsaraan sosial.
Jika dahulu zaman seorang cendekia Pan-Islamisme asal tanah Mesir bernama Muhammad Abduh (1905) mengarang kitab tafsir al-Manar yang menjadi panduan bagi cendekia muslim untuk membangkitkan peradaban Islam dari kejumudan dan kebodoahan zaman itu. Menurut Moeslim, zaman ini juga perlu ada kitab semacam al-Manar yang dapat dijadikan panduan yang disebutnya sebagai idologiekritik untuk menjawab permasalahan umat yang tak terakomodasi atau malah tersingkirkan dari arus modernisasi.
Tafsir seperti apa yang dibutuhkan oleh muslim zaman ini? Moeslim menyebutnya sebagai penafsiran yang berangkat dari kondisi objektif realitas sosial. Realitas objektif yang kini sedang terjadi pada kehidupan kaum muslim adalah realitas ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Dengan demikian, tafsir transformatif adalah upaya penerjemahan pesan-pesan dalam al-Quran dengan keberpihakan kepada kaum miskin dan tertindas tersebut.
Untuk mampu memproduksi penafsiran yang transformatif dan berwatak emansipatoris, perlu adanya perangkat-perangkat keilmuan yang dikuasai oleh seorang cendekiawan muslim transformatif. Pertama, ilmu-ilmu sosial yang memihak. Ilmu sosial yang memihak diperlukan agar cendekiawan muslim lebih dalam membaca dan menganalisis konstruk-konstruk sosial yang membelenggu kehidupan sosial. Kedua, sebuah tradisi teologi yang kritis dan memihak. Al-Quran perlu dibaca secara kontekstual dengan dibenturkan dengan realitas sosial dan dicari makna barunya sesuai tantangan sosial dimana kaum muslim tinggal dan hidup.
Moeslim mencontohkan penafsiran secara transformatif terhadap apa yang disebutnya sebagai “kemungkaran”. Dalam penafsiran arus utama, istilah kemungkaran adalah kondisi dimana perilaku yang dilakukan oleh seorang muslim melanggar ketentuan syariah dan moralitas ajaran Islam. Hal ini seperti perilaku perjudian, pemerkosaan, pencurian, mabuk-mabukan dan sejenisnya.
Penafsiran secara personal dan moralis sebagaimana penafsiran arus utama tersebut oleh Moeslim diperluas dan dikontekstualisasi definisinya. Definisi kemungkaran dinaikkan level dari sekedar penghakiman moral personal menuju bentuk-bentuk kemungkaran yang bersifat sosial dan publik yang menyengsarakan banyak orang. Menurut Moeslim dalam Islam Sebagai Kritik Sosial (2003), di zaman ini tak ada kemungkaran yang lebih memprihatinkan selain ketimpangan ekonomi antara mereka-mereka yang kaya dengan mereka-mereka yang miskin. Sementara itu dalam buku Islam Transformatif (1995: 40-41), Moeslim menjelaskan bahwa transformasi itu:
Sepatutnya menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu menghantarkan kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan yang melahirkan aksi solidaritas. Yakni bertujuan mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh Tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota kaum itu sendiri.
Transformasi rupanya memang jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi, pada dasarnya juga adalah gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisme dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris. Suatu cita-cita yang melambangkan perjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, keyakinan orang dihargai dan perbedaan pendapat menjadi tradisi.
Agamawan organik dan post religious
Jika kondisi sosial yang menindas sudah mampu dijawab dengan cara penafsiran yang transformatif, lantas apa yang perlu dilakukan selanjutnya? Moeslim menjelaskan bahwa perlu adanya sosok “agamawan organik”. Sosok agamawan organik adalah agamawan yang mampu mengartikulasikan keadaan dan dapat menemukan religious voice (suara-suara agama), kemudian memperkuat artikulasi tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai kekuatan tandingan (counter hegemony) terhadap kekuatan sosial yang membelenggu.
Seorang agamawan organik itu memiliki dasar keislaman dari Al-Quran yang memberikan perintah kepada orang-orang muslim untuk berlaku “amar ma’ruf nahi munkar”, memberikan perintah baik dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks zaman ini bentuk kemungkarannya adalah kemungkaran sosial yang berupa ketimpangan antara si miskin dengan si kaya. Dengan demikian, agamawan organik adalah agamawan yang memperjuangkan Islam untuk mencegah kemungkaran yang hadir dalam konteks zaman ini.
Poin penting lain yang menjadi catatan Moeslim dalam memperjuangkan keadilan dan ketertindasan adalah istilah “kesadaran pasca agama” atau post religious. Pada kenyataannya kemiskinan itu diderita atau menimpa dari kalangan mana saja, tak pernah memilah-milah apa identitas agamanya. “Kalau sudah lapar, orang tak bisa dibedakan antara merasakan lapar secara Islam atau lapar secara Kristen” kata Moeslim.
Maka perlu ada kesadaran spiritualitas baru bagi para agamawan organik dengan melampaui perdebatan keagamaan yang bersifat kekanak-kanakan, menang sendiri, apalagi yang sedikit-sedikit mudah mengafirkan orang lain. Sebab kemiskinan itu adalah musuh semua agama, dan terlebih lagi Islam.
Terakhir, sebagai catatan, gagasan tentang “Islam Transformatif” dari Moeslim Abdurrahman ini memiliki karakter dan model yang sedikit berbeda dengan cendikiawan muslim lainnya. Gagasan tentang “Islam Transformatif” Moeslim Abdurrahman lebih berupa kritik yang tidak berorientasi pada kemapanan dan kebakuan gagasan. Sebagaimana dikatakan Moeslim sendiri, bahwa gagasan yang dibuatnya lebih berupa ideologiekritik dan moda interpretasi orto-praksis untuk menjawab permasalahan sosial. Jadi ia memilih posisi yang anti kemapanan dan memiliki spirit aktivisme emansipatoris. Barangkali, sifat emansipatoris itulah letak keunggulan dari sumbangsih gagasan Moeslim, “sang ulamanya kaum tertindas” kepada kita semua.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST