Panggilan Jiwa Ryonen

slider
slider
12 Oktober 2019
|
1171

Sekitar tiga abad lampau, di istana Jepang, tinggal seorang gadis yang cantik jelita. Ia disebut-sebut sebagai perempuan paling cantik di seantero Jepang kala itu. Tapi, ia bukan putri kaisar. Hanya pelayan permaisuri yang mulai mengabdi di istana sejak umur 17. Gadis itu bernama Ryonen.

Ikatan batinnya dengan sang ratu sangat erat. Bagi sang ratu, Ryonen lebih dari sekadar bawahan, pembantu, ataupun rakyat. Mereka sudah seperti sahabat karib. Hati sudah manunggal.

Karena itulah, ketika permaisuri meninggal, Ryonen begitu terpukul, begitu berduka, begitu kehilangan. Lama ia terbenam dalam renungan mendalam. Akhirnya, ia menemukan hikmah kematian permaisuri.

Segala kefanaan akan berlalu. Yang hidup bakal mati. Yang ada bakal lenyap. Yang dimiliki bakal diambil. Yang digenggam bakal lepas. Sebab, jiwa manusia memang didesain, diundang, dan dibimbing untuk naik ke level kehidupan yang lebih tinggi.

Hikmah kuno ini menjadi benih kegelisahan spiritual di hati Ryonen. Saat benih itu tumbuh, ia seolah ditarik energi mahakuat untuk menapaki jalan spiritual sebagai pertapa Zen.

Orang tuanya tak mengizinkan. Betapa pun juga, Ryonen masih gadis belia. Ia harus hidup “normal” seperti perempuan umumnya yang lahir, tumbuh sebagai gadis, menikah, lalu menjadi ibu anak-anaknya. Orang tua Ryonen sudah menyiapkan calon suami. Suka tak suka, ia harus menikah.

Ryonen setuju, tetapi dengan syarat. Keluarga dan calon suami harus membolehkannya menjadi pertapa setelah ia melahirkan tiga anak.

Ryonen pun lantas benar-benar hidup sebagai perempuan “normal”. Hingga usia 25. Setelah memberikan tiga anak buat suami, ia sepenuhnya menempuh jalan spiritual. Siapa pun dan apa pun tak bisa menghalang-halangi langkahnya.

Ryonen mengembara mencari guru. Pergi ke Kota Edo untuk bertemu dengan pertapa Zen terkenal, Tetsugyu. Hasilnya hanya kecewa. Sang pertapa menolak Ryonen sebagai murid. Alasannya sungguh terasa pahit: Ryonen terlalu cantik. Kecantikan akan menjadi petaka besar bagi murid-murid lelaki di padepokannya.

Tak patah asa, Ryonen mengunjungi guru lain. Pertapa bernama Hakuo ini juga tak mau mengangkatnya menjadi murid. Alasan seperti Tetsugyu terdengar lagi.

Apa Ryonen pergi ke padepokan Zen lain? Tidak. Untuk memasuki sekolah, ada ujian masuk. Demikian pula, untuk memasuki “sekolah” spiritual, calon murid disyaratkan lulus ujian masuk.

Sebelum memasuki “sekolah” spiritual, senantiasa ada hal berharga yang mesti diikhlaskan. Catatannya, berbeda jiwa, berbeda pula apa yang mesti diikhlaskan.

Sebagai pribadi yang tekun menggali ke dalam diri, Ryonen paham betul apa yang mesti ia ikhlaskan, apa yang harus ia lepaskan. Maka, ia pun mencari besi yang membara. Dan ia menempelkan besi itu pada wajahnya sendiri.

Ternyata, yang harus Ryonen lepaskan adalah kecantikannya. Ini tentu kasus ekstrem dalam konteks memutus ikatan hati terhadap hal-hal fana. Karena itu, kita tak dituntut, juga tak disarankan, mengikuti lelaku ekstrem Ryonen.

Sekali lagi dikatakan, berbeda jiwa, berbeda pula apa yang mesti diikhlaskan. Cara melepaskannya pun boleh jadi berbeda. Anthony de Mello, penulis buku Doa Sang Katak, dari mana kisah Ryonen ini saya sadur, mengingatkan bahwa tangga yang sudah pernah digunakan seorang jiwa tercerahkan untuk naik ke langit, tak bisa lagi kita gunakan.

Namun demikian, apa pun yang mesti kita lepaskan dan bagaimana pun cara melepaskannya, kehidupan niscaya memaksa kita untuk mengikhlaskan apa/siapa yang kita cintai sebelum kita belajar di “sekolah” spiritual, sebelum lotus jiwa dibikin mekar. Kawruh jiwa memang mahal. Dan akan selalu mahal hingga kapan pun. Kehilangan adalah harga yang sepadan untuk membeli kawruh jiwa.

Kehilangan kecantikan adalah harga yang sepadan bagi Ryonen untuk memekarkan lotus jiwanya. Dengan wajahnya yang kini bopeng, Ryonen kembali menemui Hakuo. Ia kemudian diterima sebagai murid.

Setelah lama mendalami seluk-beluk Zen dan menghayati ajarannya dengan segenap hati, kelak sejarah mengenang perempuan buruk rupa itu sebagai santo. Satu dari sekian banyak bintang di langit peradaban Jepang.

Selain menjelaskan bahwa kawruh jiwa hanya bisa dibeli dengan kehilangan yang diikhlaskan, biografi Ryonen juga menerangkan bahwa panggilan jiwa ibarat banjir bandang yang bahkan menjebol tanggul beton. Demi mencapai evolusinya yang tertinggi, jiwa akan mematahkan segala rintangan.

Dan sekali saja bunyi lonceng panggilan jiwa terdengar, maka kita tak bisa berbuat lain kecuali menuruti kehendaknya. Jika tak dituruti, secara rohani kita akan “mampus dikoyak-koyak sepi”. Jiwa retak, terbelah, dan terasing. Hati ke utara, pikiran ke selatan. Ucapan ke barat, perbuatan ke timur. Dan kita tergeragap saat ditodong pertanyaan “Siapa sesungguhnya aku?”.

Karena itulah, dalam novel Sang Nabi, Kahlil Gibran menulis sebuah kearifan yang sudah sering kita dengar, yang sudah menjadi klasik dan klise, walaupun belum usang. “Apabila cinta memanggil,” ujarnya, “ikutlah dengannya meskipun jalan yang akan kalian tempuh terjal dan berliku. Dan apabila sayap-sayapnya merengkuhmu, pasrah dan menyerahlah, meskipun pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, meskipun ucapannya membuyarkan mimpimu bagai angin utara memporak-porandakan taman.”

Panggilan jiwa adalah juga panggilan cinta. Jiwa merupakan nama lain bagi cinta. Sebab, sifat alami jiwa adalah mencintai tanpa syarat. Dan ketika jiwa yang selalu penuh cinta ini memanggil, Gibran menganjurkan kita untuk mengambil tiga sikap terpadu: mengikuti panggilan itu, pasrah dan menyerah kepadanya, serta mempercayai kata-katanya. Pendek kata: mengalir saja seperti air.

Tatkala jiwa memanggil, lazimnya muncul ketakutan. Kita sudah tahu apa yang terbaik buat kita. Tapi, kita enggan menjalaninya karena kita takut untuk berubah.

Persisnya, kita takut meninggalkan apa yang sudah jelas untuk kemudian mengikuti apa yang belum bisa dipastikan akal. Kita takut untuk melepaskan apa/siapa yang kita miliki dan cintai.  Kita takut kehilangan. Takut ikhlas.

Di sinilah keunggulan Ryonen dibandingkan golongan awam seperti kita. Ryonen tak takut kehilangan. Ia ikhlas mengikuti panggilan jiwa. Tak peduli apa pun yang akan terjadi. Tak memikirkan apa pun kata orang.

Ryonen pasrah dan menyerah kepada Sang Jiwa. Percaya penuh kepada kata-katanya. Sikap Ryonen terhadap panggilan jiwanya adalah seperti jenazah di tangan orang yang memandikannya.

Sebab itu, Ryonen tak ragu merusak wajahnya sendiri dengan besi membara. Ryonen tak takut lagi dengan iblis perasaan kehilangan. Toh, kehilangan itu pasti belaka. Jika bukan saat ini, tentu suatu saat nanti kehilangan bakal menghampiri. Jika tidak ditinggalkan apa/siapa yang kita cintai, kita pasti meninggalkannya saat maut menjemput.

Ajaibnya, bagian dari filosofi “mati sebelum mati” atau “mati sak jroning urip” yang kelihatan fatalistis ini, justru menyuplai daya hidup yang luar biasa besar. Dengan penuh optimisme dan keyakinan, Ryonen menghadapi dan menyingkirkan semua hambatan dalam rangka mengikuti panggilan jiwanya. Hambatan sebesar apa pun menjadi tak berarti.

Bagaimana memahami kontradiksi ini? Logika adalah satu hal. Kawruh jiwa adalah hal lain, yang harus dirasakan, diamalkan, dan dihayati langsung. Tak hanya dipikirkan dan diperdebatkan. Dalam pengamalan, kontradiksi internal yang terkandung dalam suatu kawruh jiwa bisa saja lenyap. Dunia akal serba lurus dan selaras. Serba jelas. Di sisi lain, kehidupan nyata adalah misteri.

Biografi Ryonen merupakan bukti misteri kehidupan. Siapa yang menyangka bahwa gadis secantik Ryonen, yang tentu dikagumi dan dikejar-kejar para pangeran Jepang, akhirnya mengkhatamkan kitab hidupnya sebagai pertapa Zen buruk rupa?


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lev Widodo

Blimbing sukmo