Pandemi, Bulan Suci, dan Muhasabah Diri
Kita tahu sendiri dunia global sedang dilanda wabah yang cukup menggegerkan. Tak terkecuali dengan negara adidaya Amerika Serikat. Di Amerika Serikat ini bahkan hampir 2.000 orang yang terinfeksi virus corona perhari. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kasus positif semakin bertambah setiap harinya. Hal ini tentu saja membuat pemerintah Indonesia mendorong para warganya untuk menjaga jarak dari kerumunan (social distancing). Seperti halnya membatalkan acara resepsi pernikahan hingga pengajian.
Pembatasan sosial (social distancing) ini merupakan bentuk ikhtiar umat manusia untuk dapat mencegah penularan virus. Selain itu, dengan adanya pembatasan sosial ini kemudian banyak masyarakat yang mengharuskan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan aktivitas lain yang biasanya dilakukan di luar rumah harus dikerjakan di rumah. Namun, pembatasan sosial paling berdampak pada ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah yang banyak memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan pendapatan harian yang diperolah.
Terkait kebijakan tersebut, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang masih sulit untuk menerapkan pembatasan sosial ini dikarenakan sudah terbiasa dengan kerja sama dan interaksi sosial. Selain itu, bagi para pekerja kantoran yang sehari-harinya bekerja di lingkungan kantor dan kemudian bergeser menjadi daring di rumah masing-masing tentu akan menimbulkan kejenuhan.
Penulis sempat ngobrol dengan beberapa kawan terkait dengan dampak dari pandemi ini, beberapa di antaranya menghilangkan rasa jenuh dan bosan dengan kembali ke halaman belakang rumah, alias berkebun. Menurut mereka, berkebun menjadi cara merawat kehidupan dan juga solusi bagi kemandirian pangan. Namun bagi mereka yang hidup diperkotaan dengan lahan yang minim tentu dibutuhkan kemampuan yang mumpuni untuk berkebun.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan ini, bagaimanakah sebaiknya kita sebagai umat Islam dalam menyikapi dan memanfaatkan masa pembatasan sosial (social distancing) ini agar tidak jenuh dan membosankan, yang notabene pandemi ini terjadi bertepatan juga dengan bulan suci Ramadhan? Menurut penulis, kenapa kita tidak mencoba memanfaatkan masa pembatasan sosial alias #dirumahaja ini dengan bermuhasabah diri?
Sebagai orang yang beriman, tentu dalam kehidupan sehari-hari kita harus selalu berupaya untuk dapat mengisi waktu dengan melaksanakan perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya. Pada masa pembatasan sosial (social distancing) ini merupakan kesempatan kita sebagai umat Islam untuk bisa muhasabah diri atau introspeksi diri. Muhasabah diri ini secara sederhana diartikan sebagai suatu aktivitas observasi terhadap diri sendiri, mengevaluasi apa kelebihan, kekurangan, bahkan batasan-batasan kita.
Lalu apa pentingnya muhasabah diri? Ya, kita tahu sendiri bahwa pada hakikatnya manusia itu selalu diselimuti oleh dorongan hawa nafsunya yang tak jarang mengarah pada perbuatan yang kurang baik. Sehingga dengan muhasabah diri ini setidaknya dapat meminimalisir dan menjauhkan kita dari perbuatan maksiat dan kesia-siaan dalam menjalani hidup di muka bumi ini. Maka dari itu, jangan sampai kita menjadi manusia yang hanya menuruti kehendak nafsu yang tiada habis-habisnya.
Dalam dunia tasawuf terkenal ungkapan, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, yang kurang lebih artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh dia akan mengenal Tuhannya”. Berdasarkan ungkapan ini, melalui muhasabah diri atau introspeksi diri tentu kita akan mudah melihat diri kita. Apa yang biasanya dalam sehari-hari selalu melihat keluar diri, inilah momen di mana kita harus lebih banyak melihat ke dalam diri sendiri dan menyelaminya.
Diri yang dimaksud dalam ungkapan di atas tentu saja diri manusia sejati yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsu dan kemelekatan dengan duniawi. Jadi diri kita sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri setiap manusia. Dimensi jiwa inilah yang kerapkali kita tinggalkan ketika kita disibukkan dengan berbagai hiruk-pikuk urusan dunia. Setelah memahami diri kita sejati tentu hidup akan menjadi lebih tenang.
Jiwa yang tenang ini di dalam Al-Qur’an disebut dengan “nafs al-muthma’innah”. Dengan kondisi kejiwaan yang tenang inilah kemudian kita akan mudah menyelami siapa diri kita, untuk apa kita diciptakan, dan apa tugas kita dilahirkan di muka bumi ini? Sebagai umat Islam tentu saja jangan sampai kita lalai untuk apa kita diciptakan ke muka bumi ini. Dalam QS Adz-Dzariyat [15] ayat 56 Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.”
Mungkin, bisa jadi Allah menciptakan pandemi ini agar umat manusia menyadari dirinya dan apa tujuan diciptakannya di muka bumi. Mungkin akhir-akhir ini kita sudah banyak lalai tertipu oleh keindahan duniawi sehingga lupa untuk introspeksi diri. Dengan virus corona ini, bisa jadi Allah telah menarik kembali diri kita agar tak terlampau jauh tenggelam di samudera kehidupan duniawi yang fana.
Karena itu, mari kita memanfaatkan masa pembatasan sosial (social distancing) ini untuk bermuhasabah diri atau introspeksi diri agar lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Dan jangan lupa untuk tansah iling sangkan paraning dumadi atau dalam Islam dikenal dengan Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah kami kembali) (QS Al-Baqarah [2]: 156).
Category : kolom
SHARE THIS POST