Obral-Obrolan Pedagang Mie Ayam
Pak Rochim adalah seorang penjual mie ayam dan bakso urat yang dengan ikhlas menjajakan masakannya di emperan halaman rumahnya, tepat bersebelahan dengan pemakaman umum. Awalnya saya mengira, warungnya akan mudah mendapat bantuan dari beberapa penunggu kuburan karena mereka bertetangga.
Seperti yang dahulu banyak orang bilang, kalau warung di tempat yang kurang strategis, apalagi dekat dengan kuburan—tidak bertempat di pinggiran jalan besar atau jalan utama—tapi bisa rame, mungkin siapa pun yang makan di situ sedang memangku pocong, atau makanannya diludahin makhluk kecil semacam tuyul. Kalau makanannya dibungkus lalu kita makan di rumah, rasanya akan berubah menjadi kurang mantap dan tak begitu sedap.
Saya pernah mencobanya untuk beli dan dibungkus supaya saya bisa membuktikan apa kata bapak saya. Dan benar! Rasanya tidak senikmat makan di warung Pak Rochim. Terlepas dari suudzon saya kepada keluarga dan masakannya, saya mencoba jajan berulang kali, meski tidak saya bawa pulang karena sambal dan kecapnya tidak bisa saya tuang ke mangkuk dengan yak-yakan.
Saya mendapatkan hasil mengapa makan di warungnya bisa begitu nikmat, Pak Rochim dan istrinya selalu memberikan pelayanan dengan baik dan begitu ikhlas, penuh senyuman, dan suka mengajak bicara saat saya hendak membayar. Apalagi di depan warungnya ada hamparan sawah yang memanjakan mata hingga nikmatnya seruputan terakhir kuah di mangkuk. Bagi saya itu cukup untuk menghapus suudzon saya, kendati tidak pernah dikasih diskon atau rambak gratis meski cuma seplastik.
Bagian unik dari Pak Rochim dan istrinya bagi saya adalah salah satu dari mereka pasti nimbrung sejenak saat menyajikan pesanan pelanggan di atas mejanya. Terutama pada saya. Padahal saya cenderung sebagai orang yang pendiam dan sedikit omong kalau tidak sama orang yang benar-benar sudah mengenalnya. Meski begitu, hampir tiap minggu pasti saya membeli mie ayam Pak Rochim. Malah kadang seminggu bisa dua sampai tiga kali.
Kemudian, mereka mulai menanyakan sesuatu, entah pekerjaan, entah kabar kesehatan atau sesuatu hal yang tidak bisa diprediksi. Berbeda seperti orang pada umumnya yang sudah bisa dipastikan template obrolan yang begitu-begitu saja. Pak Rochim cukup sering dengan tiba-tiba membahas tentang masa depan, masa lalu, dan isu-isu yang sedang terjadi di masyarakat.
Memang, tempat Pak Rochim berjualan dengan rumah saya tidak terlalu jauh. Mungkin butuh waktu kurang dari lima menit kalau naik motor. Sehingga, kami bisa lebih dekat karena berada pada satu wilayah yang sama. Pak Rochim juga tahu beberapa tetangga saya.
Tapi masalahnya adalah banyak topik obrolan Pak Rochim yang cukup “aneh” untuk dijadikan sebagai obrolan di warung mie ayam. Saya kira akan menjadi lebih enak kalau menjadi topik obrolan di warung kopi.
Tempo hari saya ngiras lagi. Kebetulan saya datang selepas maghrib dan masih sepi. Ia begitu konsisten menjadi penjual yang selalu menyegarkan kepala konsumennya. Tapi saya menemukan sosok lain yang sepertinya tidak ia munculkan ke permukaan. Ia membuka obrolan tentang masjid. Mulanya ia menilai masjid mana yang ia sukai; tempatnya besar, bersih, teduh, ramai, takmir dan jamaahnya baik-baik, dan tidak berdiri di atas golongan.
Pak Rochim mulai menggebu-gebu setelah mengucapkan kalimat terakhirnya tentang golongan dalam agama. Katanya, sekarang sangat banyak ustaz dadakan yang muncul di media, bahkan di kampungnya sendiri yang menjadi panutan warga. Padahal ustaz itu masih pakai dalil ‘katanya, katanya, dan katanya’.
Dengan wajah lugu dan murah senyum, Pak Rochim mengulas habis apa yang dipikirkannya tentang fenomena ustaz masa kini dengan sangat halus dan lembut, tanpa kritik yang membabi buta seperti beberapa ustaz yang dibicarakannya.
Sebut saja ustaz halal-haram yang intoleran dan suka mengkafirkan orang, pun suka mengganggu ketenangan. Kalau kita sudah bungkam, mereka menuduh kita mengganggu keamanan dan menuduh kita subversif, hanya ada satu kata: LAWAN! Tidak. Tidak seperti itu.
Pak Rochim hanya menyorot pada sikap ustaz, sikap kebanyakan orang yang selalu berdasarkan pada ‘katanya’. Kata ustaz ini, kata ulama itu, kata kyai ini. Sedangkan orang-orang yang dianut berdasarkan ‘katanya’ itu juga sama-sama berdasarkan ‘katanya’. Lho, kan jadi serba katanya.
Pak Rochim juga bilang, “Selama kita berdasar pada Qur’an dan Hadis, kita akan berada pada jalan yang benar. Aja pakai katanya, katanya, katanya. Itu kan tafsir. Wong mazhab juga beda-beda, ta? Hadis juga banyak yang palsu. Kan nanti juga ada hitungan jarak waktu selama Nabi bersabda sampai wafatnya, nasab para sahabatnya.”
Lalu saya pancing dengan pertanyaan, “Lha kan kalau kita belajar dari Qur’an dan Hadis tanpa mengikuti mereka-mereka yang dipercaya sebagai ulama yang bisa bantu kita memahami agama, kan tafsirnya nanti juga beda-beda, Pak. Sama juga nggak bisa satu arti.”
“Ya, makanya kita harus belajar. Intinya belajar, Mas. Kita juga wajib cari tahu apa yang mereka katakan. Jangan ditelan mentah-mentah terus langsung diikuti gitu aja.”
“Lha terus kalau tentang khilafah, menurut njenengan gimana, Pak?” saya coba njebak lagi. Tapi, jawabannya malah saya sendiri yang terjebak, “Jadi, begini, Mas. Selama ada sesuatu yang saya belum tau, saya tidak berani berpendapat. Semua itu harus dipelajari ilmunya dulu, baru bicara. Selama saya belum belajar itu, ya saya diem wae. Intinya jangan menyalahkan orang lain yang beda pemikiran dan pendapat. Pokoknya belajar dulu, tahu dulu ilmunya. Dan selama kita belajar dari Qur’an dan Hadis, kita tidak akan tersesat, Mas. Percaya sama saya.”
Batin saya misuh-misuh saat itu. Sempat saya jebak lagi dengan pertanyaan supaya saya tahu Pak Rochim ini condong ke ormas mana. Siapa tau kepleset dan kebongkar rahasianya. Lalu, ia menjawab dengan tegas, “Saya ikut Qur’an dan Hadis, Mas. Tidak ikut ormas mana pun.”
Lalu, saya ambil kesimpulan. Walaupun celananya cingkrang, tapi pikirannya panjang. Ya kalau nanti kesrimpet, saya yakin kesrimpetnya juga bakal elegan. Dan nggak perlu klarifikasi di media biar memancing iba dari warga.
Obrolan itu sampai bikin saya lupa sudah pesan mie ayam. Mie saya sudah mbededheg, es teh saya juga sudah mbeleber ke mana-mana. Langsung saya makan dan dengan cepat saya telan. Untung mie ayamnya sudah matang dan tidak panas lagi.
Category : buletin
SHARE THIS POST