Nuansa Religiusitas dalam Pemikiran Nietzsche

slider
12 Desember 2024
|
741

Gott is tot atau “Tuhan telah mati”. Ungkapan kontroversial ini sangat lekat dengan seorang filsuf besar Jerman berkumis tebal, siapa lagi kalau bukan Friedrich Wilhelm Nietzsche. Nietzsche, yang gema pikirannya memengaruhi filsuf-filsuf besar lain seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, hingga filsuf Islam Muhammad Iqbal.

Terdengar paradoks memang. Bagaimana mungkin, Tuhan yang kita yakini bersifat abadi dan Maha Segalanya dikatakan oleh Nietzsche telah mati? Ataukah ungkapan itu hanya sebatas ungkapan dari mulut orang gila yang tak berarti apa-apa, dengan bukti bahwa di akhir hidupnya, Nietzsche memang menderita dalam kegilaan?

Untuk menarik kesimpulan dari ungakapan Nietzsche tidak sesederhana itu. Berusaha memahami Nietzsche sama artinya dengan melemparkan diri kita sendiri ke dalam perapian. Jika kita tidak betah dengan panasnya perapian itu niscaya kita akan terbakar. Seketika kita akan mudah tersinggung, marah-marah, dan serta merta menghujat segala pemikirannya.

Apakah Nietzsche ateis atau bukan, itu sama sekali tidak perlu diperdebatkan. Lebih menarik untuk memahami beberapa gagasannya yang dalam tafsiran dari sudut pandang tertentu justru memiliki relevansi dengan religiusitas.

Warta Kematian Tuhan dan Datangnya Nihilisme

Ungkapan “Gott is tot” atau “Tuhan telah mati” digunakan oleh Nietzsche untuk menggambarkan tren yang terjadi di zamannya atau zaman setelahnya sedang mengarah pada nihilisme. St. Sunardi dalam Nietzsche (1996) menyatakan bahwa nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya segala nilai atau segala sesuatu yang bermakna. Hal ini terjadi dalam segala bidang kehidupan yang salah satunya adalah keagamaan (termasuk moral). Manusia kehilangan pegangan dan jaminan untuk memahami dunia dan menjalani kehidupan. Dirinya seolah berada dalam keterserakan.

Bentuk jaminan yang telah hilang itu pertama-tama adalah Tuhan teologis yang mengisi seluruh perjalanan sejarah sebelumnya. Nietzsche melihat perjalanan sejarah semakin mengarah pada kehidupan manusia yang tak lagi percaya atau mencerminkan nilai-nilai agama. Bentuk jaminan lain yang telah hilang adalah apa yang disebut sebagai model-model “tuhan kecil” seperti ilmu pengetahuan dan rasio. Oleh karenanya, Sunardi (1996) menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” adalah ungkapan untuk menggambarkan paradigma seluruh krisis yang terjadi dalam nihilisme.

Kedatangan nihilisme memunculkan dua tipe manusia, yaitu mereka yang secara naif mengiyakan dan secara naif menolak. Mereka yang secara naif mengiyakan nihilisme jatuh dalam pesimisme, menerima begitu saja bahwa dunia tanpa arti dan hidup dalam keputusasaan. Sementara mereka yang secara naif menolak berupaya mencari pegangan-pegangan baru dan menganggapnya sebagai sesuatu yang final dan fiksatif guna mengatasi keterserakan hidupnya.

Nietzsche tidak ingin secara naif mengiyakan maupun secara naif menolak nihilisme. Dalam menyikapi nihilisme, Nietzsche mengatakan “iya” sekaligus “tidak”. Nietzsche menganggap lemah mereka yang jatuh pada pesimisme dan yang secara cepat mendapat kepuasan tatkala mendapat pegangan, apalagi menganggap pegangannya itu telah final. Oleh karena itu, Nietzsche menawarkan suatu cara pandang yakni kemenjadian atau dalam arti lain berproses untuk mengatasi diri secara terus-menerus.

Genealogi dan Kebutuhan untuk Percaya

Melalui ramalan kedatangan nihilisme, Nietzsche hendak menyatakan bahwa realitas sebenarnya adalah chaos (kekacauan) dan nihil (tanpa makna). Dalam pandangan Nietzsche, realitas yang chaos itu tidak dapat disederhanakan ke dalam konsep-konsep, jaminan-jaminan, atau ide-ide final yang berlaku satu kali untuk selamanya. Realitas sama sekali tidak bisa ditangkap secara pasti. Ia akan selalu lolos dari interpretasi atau pemaknaan.

Bertolak dari anggapan realitas yang chaos itu, Nietzsche mengkritik segala macam bentuk pemikiran yang mengarah pada finalisasi. Kritiknya ini dilakukan melalui metode genealogi. A. Setyo Wibowo dalam Gaya Filsafat Nietzsche (2017), menyatakan bahwa genealogi bagi Nietzsche adalah mempertanyakan “apa yang sebenarnya saya kehendaki ketika saya menghendaki sesuatu.”

Kritik Nietzsche menyingkap adanya kebutuhan untuk percaya. Wibowo (2017) menyatakan bahwa kebutuhan untuk percaya merupakan mekanisme internal penghendakan subjek atau manusia untuk mencari sandaran atau pegangan. Manusia memerlukan sandaran atau pegangan untuk menata keterserakan dalam hidupnya (dalam bahasa Nietzsche chaos yang ada di hadapannya). Nietzsche mengakui bahwa sejauh apa pun manusia akan tetap memiliki kebutuhan untuk percaya. Hanya saja, menurut Nietzsche, manusia harus mampu menjaga jarak dengan kebutuhan untuk percaya.

Mereka yang tidak mampu menjaga jarak dengan kebutuhan untuk percaya akan percaya buta pada pegangannya tanpa berupaya mempertanyakannya kembali. Mereka cepat merasa puas sehingga daya kreatifnya mati dan mengalami kemerosotan. Bila sudah demikian, mereka terjatuh dalam fanatisme buta. Hal ini membuat mereka merasa bahwa kepercayaan yang mereka pegang adalah yang paling baik dan benar sedangkan yang lain sudah tentu buruk dan salah. Akhirnya, salah satu puncak manifestasi dari kebutuhan untuk percaya yang berlebih adalah sikap mudah saling menghujat satu sama lain ketika ada perbedaan sedikit saja tanpa mencari tahu dulu apakah yang dihujatnya itu sudah tentu buruk dan salah.

Menjaga jarak dengan kebutuhan untuk percaya artinya manusia harus selalu berupaya melakukan pencarian dan melampaui apa yang sudah ada pada dirinya. Apa yang dijadikan pegangan selama ini pada waktu tertentu harus siap untuk dilepas dan digantikan dengan pegangan yang baru. Manusia diajak untuk terus berproses dan bersikap terbuka terhadap segala kemungkinan.

Kompas Religiusitas

Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa terdapat perbedaan antara religiusitas dengan agama meski sebenarnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Agama lebih identik dengan aturan-aturan, hukum-hukum, dan tata cara yang sudah teratur sedemikian rupa berdasarkan wahyu-wahyu dan kitab suci. Sementara religiusitas lebih jauh ke dalam, sebagai bentuk penghayatan akan nilai-nilai agama yang mengakar kuat dalam nurani individu, yang termanifestasikan dalam tingkah laku dan menekankan pada keberdampakan terhadap kehidupan kemanusiaan serta alam seluruhnya.

Tentu kita bertanya-tanya bagaimana mungkin pemikiran Nietzsche (yang tampak tidak religius) justru memiliki relevansi dengan religiusitas? Jika mungkin, bagaimana bentuk relevansi itu? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kisa mesti melihat terlebih dahulu apakah kepercayaan pada pegangan mendapat tempat dalam pemikiran Nietzsche. Sebab relevansi semacam itu hanya bisa terjadi jika kepercayaan pada pegangan mendapat tempat dalam pemikiran Nietzsche.

Melihat pokok gagasan Nietzsche yang telah diuraikan sebelumnya, jelas sudah bahwa kepercayaan pada pegangan mendapat tempat dalam pemikiran Nietzsche melalui konsepsinya tentang kebutuhan untuk percaya. Hal ini memang sulit untuk dibantah. Diakui atau tidak, setiap dari kita butuh untuk percaya pada sebuah pegangan. Tak terkecuali Nietzsche sendiri, ia butuh percaya bahwa realitas adalah chaos dan tidak dapat disederhanakan atau diidentifikasi ke dalam konsep-konsep yang bersifat fiksatif.

Maka sebenarnya, terdapat kebebasan untuk percaya, termasuk percaya akan eksistensi Tuhan. Hanya saja, bagaimana kita bersikap terhadap apa yang kita percayai itu benar-benar perlu diperhatikan. Cara pandang mengenai realitas yang akan selalu lepas dari identifikasi yang bersifat fiksatif dapat kita jadikan pendekatan dalam memahami eksistensi atau realitas Tuhan. Tuhan merupakan realitas kekuatan terakhir yang kita afirmasi akan selalu lepas dari identifikasi akal kita. Sebagaimana keyakinan kita bahwa Tuhan sama sekali lain dari makhluk. Pencipta sama sekali berbeda dengan ciptaannya.

Pendekatan tersebut mengarahkan kita untuk semakin mengafirmasi bahwa Tuhan tidak akan pernah bisa kita pahami melalui akal semata. Eksistensi dan realitas keilahian perlu kita hayati dan resapi secara lebih mendalam. Dengan begitu kita akan semakin mengarah pada kemurnian dalam pemahaman mengenai-Nya.

Penting untuk kita menjaga jarak dengan kebutuhan untuk percaya, sekalipun dalam religiusitas. Seolah bahwa, di sini kita ditagih untuk mempertanggungjawabkan keimanan. Jangan sampai, kita mengaku religius tetapi ternyata tidak lebih daripada sekadar ikut-ikutan. Pendekatan ini apabila digunakan dalam konteks religiusitas akan menghindarkan kita dari dogma-dogma yang terkadang justru memunggungi kemanusiaan. Kita harus memiliki sikap terbuka sekaligus berjarak dalam religiusitas. Hal ini agar kita tidak menjadi kaum yang over fanatik dan buta.

Sebagaimana sering kita lihat fenomena yang ada di sekitar kita, mereka yang mengaku religius justru sering terlihat tidak terlihat religius sebab tidak bisa menjaga jarak dengan kebutuhan untuk percaya. Mereka menganggap bahwa aliran mereka, atau institusi keagamaan yang mereka ikuti adalah yang paling benar dan baik sedangkan yang lain sudah tentu salah dan buruk. Mereka menyamakan antara agama dengan religiusitas. Hasilnya, banyak konflik kemanusiaan yang justru muncul dari over fanatisme terhadap agama atau kepercayaan. Agama yang datang untuk kemanusiaan, oleh manusia yang over fanatisme hal tersebut dibalik, sehingga demi agama manusia sering melupakan kemanusiaannya. Akhirnya menjadi ironi, ketika agama menjadi hanya sebatas teks-teks kering, tanpa pemaknaan dan penghayatan dalam bentuk religiusitas.

Dengan demikian, pemikiran Nietzsche justru dapat menjadi kompas untuk religiusitas. Eksistensi dan realitas keilahian kita afirmasi tidak dapat ditangkap oleh akal semata sehingga perlu kita hayati dan resapi secara lebih mendalam. Dalam upaya mengafirmasi, menghayati, dan meresapi itu, kita perlu memiliki sikap terbuka, sebab kebaikan dan hikmah bisa datang dari mana saja. Kita diajak untuk menjalani religiusitas yang bersifat melampaui. Religiusitas menjadi peziarahan tiada henti dalam upaya menjadi manusia sekaligus hamba yang semakin dekat dan mengenal-Nya. 

Referensi:

Sunardi, St. 1996. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS.

Wibowo, A. Setyo. 2017. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Femas Anggit Wahyu Nugroho

Lahir di Pati, Jawa Tengah. Mahasiswa Universitas Muria Kudus. Pengikut setia Ngaji Filsafat melalui Youtube. Penyuka seni, sastra, dan filsafat. Beberapa tulisannya dimuat di media online lain