Nomophobia
Telepon seluler atau biasa disingkat dengan ponsel atau yang kini lebih dikenal dengan gadget atau gawai merupakan perangkat komunikasi yang hari ini hampir dimiliki setiap manusia. Sejak tahun 1983, saat pertama kali telepon seluler dikomersialkan hingga medio 2014, tercatat mencapai hampir lebih dari tujuh miliar pengguna ponsel diseluruh dunia.
Perkembangan telepon seluler dari masa ke masa terus mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mulai dari ponsel yang memiliki bobot hampir 2kg hingga yang hanya memiliki bobot sekitar 130 gram. Dari yang hanya memiliki layanan seperti pesan singkat, MMS, atau surat elektronik hingga yang dapat mengakses layanan internet dan memiliki kemampuan setara dengan komputer, yang lebih dikenal dengan ponsel pintar atau smartphone.
Kini telepon seluler hampir dimiliki semua orang. Bahkan setiap orang bisa memiliki 2-3 telepon seluler atau lebih. Penggunanya tak memandang strata sosial dan usia. Mulai dari tukang gali kubur, tukang ojek, mbak-mbak warteg hingga bos-bos besar. Mulai dari bocah kecil, bocah tanggung, abang-abang hingga aki-aki yang udah memasuki masa tenggang. Semua punya.
Namun perkembangan telepon seluler juga tidak mulus-mulus amat. Ponsel pintar atau smartphone yang mungkin jadi klimaks dari fase perkembangan telepon seluler hari ini, juga tidak berbanding lurus dengan ke-smart-an penggunanya. Penggunanya telah menyimpang alias durhaka kepada jargon smartphone for smart people.
Bagaimana tidak, dibeberapa kesempatan seringkali kita melihat anak-anak usia 7-8 tahun yang harusnya sedang asyik bermain layang-layang atau main ke kali atau permainan-permainan yang melatih kreativitas anak, justru malah terpaku pada game-game online dilayar smartphone. Atau kalau mau contoh yang lebih ekstrem, kita juga sering lihat bayi-bayi usia 2-3 tahun sedang asyik menatap layar ponsel dengan tayangan visual yang macam-macam.
Di era seperti hari ini, melihat anak-anak cenderung lebih senang berlama-lama di depan layar ponsel ketimbang di depan buku atau hal-hal lain yang lebih bermanfaat pada perkembangan anak, tampaknya menjadi pemandangan yang lumrah. Seperti cermin, seolah sedang menjawab begitulah kondisi kita dewasa ini. Sekilas memang tidak ada yang salah. Tetapi di situlah letak ketidak-smart-annya.
Tentu jelas yang tidak smart bukan si anak, melainkan orang tuanya. Orang tua—orang tua tidak smart ini, memilih memberi ponsel kepada si anak sebagai jalan pintas yang ekstrem untuk menghindar dari tangis sang anak. Orang tua-orang tua tidak kreatif yang tidak tahan pada rengek sang anak ini memilih “membunuh” perkembangan anak dengan memberinya ponsel agar tidak menganggu pergumulannya di Facebook, Instagram, Twitter, atau WhatsApp.
Lantas orang tua-orang tua tidak smart ini berdalih dengan “katanya” memberikan konten-konten positif pada layar ponsel sang anak. Dalih ini justru menambah dan mempertegas ketidak-smart-an orang tua. Padahal, bayi atau anak kecil mana yang mengerti dunia perkontenan!
Kritik hubungan anak pada ponsel atau gawai itu bukan terletak pada isi konten. Tetapi semata sebagai langkah awal untuk menghindari anak akan kecanduan dan ketergantungannya pada ponsel. Ketergantungan pada ponsel ini bukan hanya menjangkiti anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Lha orang dewasa yang sudah memiliki kendali pada diri dan hidupnya saja kecanduan, cemas minta ampun, bagaimana dengan anak-anak?
Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut sebagai nomophobia. Nomophobia atau akronim dari no mobile phone phobia adalah sindrom ketakutan yang berlebih jika jauh atau tidak memiliki akses pada telepon seluler. Seorang nomophobia biasanya akan merasa cemas bila terpisah atau jauh dari ponsel miliknya.
Sebuah organisasi penelitian di Inggris pada 2010 melakukan penelitian untuk mempelajari perilaku pengguna ponsel. Studi ini menemukan bahwa sebanyak 53% pengguna ponsel cenderung merasa cemas saat mereka kehilangan ponsel atau berada di luar jaringan.
66% populasi manusia telah menderita nomophobia. Dengan 77% remaja usia 18-24 tahun, 68% orang dewasa berusia 25-34 tahun. Dan kini di dunia, penderita nomophobia sudah mencapai 70% perempuan dan 66% laki-laki.
Kalau kejauhan sampai ke Inggris, di Indonesia pun fenomena ini sering kita temui. Di Bekasi, dua remaja mengalami gangguan kejiwaan akibat kecanduan game pada ponsel. Keduanya dirawat di yayasan gangguan jiwa setempat (CNN Indonesia, 17 Oktober 2019). Seorang bocah menangis dan meronta-ronta saat menolak diajak pulang kampung karena ketiadaan jaringan (Tribunnews.com, 8 Juni 2019). Di Jawa Barat, seorang bocah mengamuk dan menghancurkan pintu saat meminta ponselnya di-charge dalam keadaan mati listrik (Detiknews, 10 Oktober 2019). Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang berada di sekeliling kita.
Apa tidak ngeri? Hanya karena kebodohan kita sebagai orang tua, diam-diam kita membunuh tumbuh kembang anak secara slow motion alias perlahan.
Memang telepon seluler ini semakin banyak diproduksi semakin menegaskan bahwa keberadaannya tak ubah seperti benalu atau virus. Diam-diam menggerogoti lalu merusak. Begitu banyak kerusakan-kerusakan yang disebabkan monster kecil yang hampir selalu ada di kantung-kantung baju atau celana kita.
Daya rusak yang disebabkan oleh ponsel di luar efek sampingnya yang membuat orang kecanduan dan ketergantungan juga bisa kita lihat pada duet maut antara ponsel dan media sosial. Begitu banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Penipuan, doxing, merisak, mem-bully, hingga meneror orang lain.
Tentu ponsel beserta tetek bengeknya bukan penyebab utama dan satu-satunya dari semua kerusakan yang ada. Justru manusialah yang mungkin barangkali menjadi hulu dari itu semua. Karenanya, manusia harus punya kendali atas gerak, diam, serta keputusan yang ia ambil. Sebab tanpa kendali, manusia bisa larut, hancur, dan punah.
Category : kolom
SHARE THIS POST