Nasihat Buya Syafii Maarif Untuk Umat Islam
Saya sedang menjamu seorang teman di sebuah Masjid di pinggiran Kota Yogyakarta, ketika kabar mahapenting itu datang mengetuk jendela layar ponsel saya. Seketika beranda ponsel saya pun dipenuhi oleh kabar wafatnya Buya Syafii Maarif; instagram, facebook, twitter hingga status whattsapp dipenuhi oleh ucapan belasungkawa.
Setelah memastikan kebenaran berita duka tersebut, tanpa berbicara panjang lebar, saya meminta sahabat saya untuk sesegera mungkin berangkat ke Masjid Gede Kauman. Sementara saya masih harus menemani teman hingga waktu asar tiba. Sahabat saya pun tiba di Masjid Gede Kauman tempat Buya Syafii akan disalatkan sebelum dikebumikan setelah.
Sesampainya di Masjid Gede Kauman, sahabat saya bergegas menuju ruang utama masjid untuk mengikuti salat jenazah. Di ruang utama masjid itu telah ramai dipenuhi oleh masyarakat umum, mahasiswa, hingga tokoh-tokoh nasional seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X, Haedar Nashir hingga Presiden Joko Widodo juga turut hadir di dalam Masjid Gede Kauman. Mereka semua datang untuk memberi penghormatan terakhir pada sang cendekiawan muslim yang dikenal progresif itu.
Sekilas Tentang Buya Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif atau biasa dipanggil Buya Syafii Maarif merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang sarjana muslim, ulama, cendekiawan, penulis hingga pendiri Maarif Institute. Buya Syafii juga merupakan lulusan pendidikan sejarah di Nothern Illionis University (1973) dan meraih gelar M.A dalam ilmu sejarah dari Ohio University, Athens, Amerika Serikat (1980). Selain mempunyai gelar M.A di bidang akademik, Buya Syafii juga memiliki gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam dari University of Chicago, Amerika Serikat (1983).
Pada bidang pemikiran Islam ini, Buya Syafii menulis karya yang cukup monumental berjudul “Islamic as the basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” (diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Mizan: Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante). Dalam karyanya tersebut, Buya Syafii mengingatkan kepada kita (umat Islam) pada tugas besar untuk membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata keseharian bangsa ini (Ahmad Syafii Maarif, 2017: XIII).
Membaca Nasihat Buya Syafii Maarif
Berdasarkan analisis historis kritis yang pernah dilakukan oleh Buya Syafii Maarif, penulis mendapatkan informasi yang cukup akurat terkait wilayah pelaksanaan ajaran Islam yang telah lama menyempit, namun pada waktu yang sama, selalu dielu-elukan bahkan diasumsikan sebagai doktrin yang serba meliputi.
Menurut Buya Syafii, sebenarnya tidak ada yang salah dengan dengan asumsi di atas. Tetapi persoalan fundamentalnya ialah adanya ketegangan yang bertolak belakang antara asumsi dan kenyataan historis umat Islam, tidak saja di Indonesia, tapi diseluruh belahan bumi Muslim. Ketegangan tersebut meliputi; politik, sosial, ilmu, dan hukum (Ahmad Syafii Maarif, 1995: 17).
Untuk keluar dari ketegangan yang meliputi keempat hal di atas, Buya Syafii berpandangan bahwa kita harus bersedia untuk membongkar secara besar-besaran seluruh bangunan teori kemasyarakatan, hukum, ilmu, sufisme, filsafat, dan teologi yang pernah berkembang dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Dari reruntuhan bangunan pemikiran yang berserakan itu, kita pungut kembali mana yang masih relevan. Sementara bagian yang sudah lama dimakan karat zaman, kita gunakan sebagai cermin gagasan di masanya (Ahmad Syafii Maarif, 1995: 22).
Di atas reruntuhan itu pula, menurut Buya Syafii kita dapat membangun peradaban baru yang lebih setia kepada sumber ajaran: Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dari situ, Islam akan tetap hidup dan dinamis, terutama di Indonesia. Kendati demikian, umat Islam di Indonesia bukan tanpa kelemahan.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang antropolog Jepang, Mitsuo Nakamura, kelemahan itu antara lain tampak dalam kenyataan bahwa Islam masih jauh di langit, di samping terlalu bercorak ideologi. Islam belum turun ke bumi sepenuhnya untuk kemudian berurusan dengan usaha-usaha konkret dan programatik (Ahmad Syafii Maarif, 2017: 266).
Dalam kasus Indonesia, Buya Syafii melihat bahwa masyarakat yang dicita-citakan umat Islam sebagaimana yang tersurat dalam ungkapan Al-Quran: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—suatu masyarakat yang berkebajikan di bawah ampunan Ilahi—(lihat Surah Saba’: 15) masih terlalu jauh untuk dijangkau. Untuk itu umat Islam Indonesia benar-benar membutuhkan suatu fondasi intelektual-spiritual keagamaan yang kukuh, bagi aktualisasi dan pengembangan potensi mereka yang luar biasa itu (Ahmad Syafii Maarif, 2017: 170).
Demi tujuan di atas, Buya Syafii Maarif memberikan tiga kata kunci; pengertian, semangat, dan kreativitas. Tentu tujuan ini akan terealisasi bila ketakutan dan kemalasan intelektual—sebagaimana yang terlihat dimana-mana di dunia Islam termasuk Indonesia—dapat segera diakhiri.
Bertalian erat dengan apa yang dikemukakan ini, Buya Syafii juga menyerukan bahwa ruh ijtihad harus digalakkan dengan kuat; dan semuanya memang memerlukan iklim demokrasi yang sehat. Indonesia pada waktu sekarang, dalam pandangan Buya Syafii masih belum menjadi contoh yang baik untuk tujuan strategis ini, tetapi peluang itu selalu terbuka dan ada. Sebab hingga saat ini Indonesia bukanlah negara totalitarian.
Peluang lain yang dimiliki oleh umat Islam ialah terkait konsep khaira ummah (terminologi Al-Quran untuk umat terbaik), sementara realitas umat hari ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Apa yang diungkapkan dalam tulisan Buya Syafii tersebut hanya dapat dihargai secara wajar bila Al-Quran dan cita-citanya tentang suatu tatanan sosial dikaji secara serius dan diformulasikan dengan sistematis. Kerja keras ini akan membebaskan umat Islam dari kemacetan religio-intelektual.
Pendek kata, bila rekonstruksi sosio-politik umat mau benar-benar dibangun, itu hanyalah mungkin bila inti masalah yang dikemukakan berulang-ulang dalam kajian ini dipecahkan secara berani, jujur, dan bertanggung jawab (Ahmad Syafii Maarif, 2017: 173). Tentu saja untuk membawa petunjuk ini ke dalam kehidupan nyata diperlukan sistematisasi ajarannya.
Nasihat Buya Syafii untuk umat Islam memang merupakan sebuah proyek yang belum selesai. Buya Syafii telah tiada, dan meninggalkan serpih-serpih manuskrip pemikirannya untuk kita.
Kritik Buya Syafii yang tajam, empiris, dan substansial, tetapi jujur, khususnya terhadap berbagai persoalan di Indonesia memang layak peroleh apresiasi yang tinggi. Tentu sebagai bagian dari kelompok intelektual Muslim, kita memiliki kewajiban untuk melanjutkan ide-ide progresif yang ditinggalkan oleh Buya Syafii Maarif demi membangun peradaban Islam yang lebih baik di masa mendatang.
Saya terkejut sebagaimana Buya Syafii menulis keterkejutannya ketika mendengar manusia dengan wajah surga yang pernah ia lukiskan, yakni Kuntowijoyo telah kembali menghadap Sang Ilahi. Selamat jalan Buya Syafii Maarif.
Rujukan
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Bandung: Mizan, 2017).
Maarif, Ahmad Syafii, dkk. Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru (Bandung: Mizan, 1995).
Category : keislaman
SHARE THIS POST