Musik Dangdut Sebagai Counter Culture

slider
slider
18 Maret 2020
|
1558

Judul: Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada | Penulis: Moh. Shofan | Penerbit: Imania Mizan, 2014 | Tebal: xi + 293 halaman | ISBN: 978-602-7926-12-7

Gendang, goyang, dengung “dang” dan “dut” yang keluar dari alat musik, mencirikan musik dangdut. Dari musik dangdut kita mendapatkan gambaran dunia yang semarak dan penuh keriyuhan. Dari balik ruang kemunculan musik dangdut yang penikmatnya menyentuh hampir semua kalangan dan lapisan masyarakat, ternyata terdapat bait-baik lirik perbincangan kehidupan dan kritik kebudayaan. Musik dangdut Rhoma Irama dengan Soneta Group adalah contohnya.

Kemunculan musik dangdut Rhoma Irama dengan Soneta Groupnya di ruang publik, patut mendapat apresiasi dan perhatian. Namun, sayangnya perhatian khusus, atau kajian secara ilmiah masih terbilang sangat minim, sepi dari perhatian publik ilmiah akademik. Kemunculan musik dangdut Rhoma Irama tidak jauh hanya dinikmati dan dimaknai sebagai ruang hiburan di tengah masyarakat, seperti yang sering kali kita temui di sudut keramaian, hajatan, pasar, terminal, rumah, gang kecil, kampung dan pedesaan.

Dari sini terlihat ada semacam keenganan untuk mengkaji musik dangdut secara umum. Menyebut beberapa kajian akademis tentang dangdut dari berbagai disiplin di antaranya, sejarah (Frederick 1982), musik (Hatch 1095; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000), dan belakangan ada kajian dari sudut pandang budaya sebagaimana yang lakukan Weintraub 2012 (hlm. xx).

Diakui atau tidak, memang usia musik dangdut masih terbilang sangat muda dan belia. Bila dibandingan dengan usia musik Rock misalnya. Istilah musik rock sendiri pertama kali muncul sekitar tahun 1940-an melalui lagu Good Rockin Tonight dari Roy Brown (1947), All She Want to Do Is Rock dari lagu Wynnonie (1949), Rockin With Red dari lagu Piano Red (1950), dan Rock Me Alla Night Long dari lagu The Revents (1952). Kemunculan genre musik ini pada awalnya dikaitkan dengan simbol pendobrakan atas musik klasik menjadi yang berisik.

Kemunculan istilah musik dangdut, baru sekitaran awal 1970-an antara 1972-1973. Istilah dangdut lahir berdasarkan onomatopoeia, atau lebih tepatnya hasil dari pembentukan bunyi “dang” dan “dut” akhirnya populer dan bergeser menjadi musik Melayu Deli atau orkes Tabla. Istilah ini pada awalnya dianggap sebagai ejekan dan cemohan, karena musiknya hanya mengambil bunyi gendang. Kelahiran dangdut berakar juga pada bunyi Tanjidor dan dan Keroncong pada masa Kolonial. Pada dekade 1950-an dan 1960-an populer musik Melayu yang disebut Melayu Deli dan sampai era 1970-an musik dangdut semakin populer (hlm. 40).

Perumusan musik dangdut

Sepertinya sejak dari awal muncul musik dangdut sudah ditakdirkan lahir sebagai musik kultural-sosiologis yang sangat khas Indonesia. Mendengarkan musik dangdut “seakan-akan” sama halnya dengan membaca dokumentasi perubahan sosial-budaya masyarakat Indonesia sejak dulu hingga kini.

Pada awal kemunculan musik dangdut di Indonesia menimbulkan kontroversi dari kaidah perkembangan musik dunia yang ada di Indonesia. Perumusan musik dangdut banyak mendapatkan cemoohan, cercaan, dan olok-olok dari berbagai kalangan karena dinilai tidak autentik dan berlanggam tiruan. Selain itu, musik dangdut kurang mendapat apresiasi layaknya musik rock, pop, jazz, atau keroncong yang besar dinikmati kalangan masyarakat.

Kendati demikian itu, Rhoma Irama dan Soneta dipandang sebagai salah tokoh yang berjasa besar dalam memperjuangkan serta mengangkat martabat musik dangdut. Rhoma melakukan perombakan besar-besaran musik orkes Melayu menjadi musik dangdut dari berbagai aspek, baik instrumen, syair, kostum pemusik. Bahkan dapat ditemukan pada judul lagu dangdut ada berisi pesan “perlawanan”.

Irama musik Melayu memperoleh predikat yang sangat tepat sebagai musik dangdut. Di saat mendapatkan predikat sebagai musik dangdut merujuk pada efek suara gendang sebagai irama khas yang bisa mengundang banyak orang bergoyang, justru dis ini pula ruang ekspresi musik dangdut berjuluk “orkes Melayu” semakin memperoleh cemoohan dari publik perkotaan yang umumnya pengemar musik pop atau musik rock dari Barat. Keberadaan orkes Melayu dicemooh karena suara gendang yang selalu menoton: “dang” dan “dut”, dan syair-syairnya dianggap kekanak-kanakan (hlm. 41).

Kisah cemoohan diawal kemunculannya musik dangdut merupkan pintu masuk untuk melisankan musik dangdut itu sendiri. Said Effendi yang tidak senang dengan penggunaan istilah musik “dangdut” sebagaimana laporan koran Tempo (04 Mei 2003) menyatakan, “Istilah itu muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti musik Melayu”. Penolakan ini diyakini sebagai bentuk lain dari semangat menjaga keaslian musik Melayu, yaitu musik Melayu Deli.

Ejekan lain juga dilontarkan oleh Billi Silabumi sebagimana laporan majalah Femina (13 Juli 1994) atas musik dangdut yang dikatakan lebih dekat dengan kaum marginal, pinggiran, dan ndeso, serta hal-hal terkait disharmonisasi yang sering kali dikritik tak berkualitas. Jack Lesmana menganggap musik dangdut sebagai musik setingkat gado-gado, dan musik jazz adalah bistik. Lebih parah daripada itu, ejekan dan hinaan juga datang dari salah satu anggota group musik rock Giant Step, Benny Subardja, yang mencap sebagi “musik tai anjing” untuk musik berpola irama rancak gendang berbunyi “dang” dan “dut” (hlm. 42).

Sebenarnya, pada awal perumusan musik dangdut, Rhoma Irama dan group Sonetanya menolak menggunakan istilah “dangdut”. Rhoma sendiri tetap bersikeras dan menyebutkan bahwa genre musik yang baru dirumuskan itu adalah musik “orkes Melayu”. Walaupun pada akhirya Rhoma dengan rendah tetap mengambil operan untuk sebutan “dangdut” sebagai genre musik yang selama ini diperjuangkan. Karenanya, berkat perjuangan dan kepopuleran Rhoma Irama mendapat gelar kehormatan sebagai sang “Raja Dangdut”.

Eksperimen Rhoma Irama dan Soneta Group sebagai seorang musikus dan group musik telah memantapkan diri sebagai avant garde di dunia musik dangdut. Walaupun masih muncul anggapan bahwa keberadaan musik dangdut Rhoma Irama mencangkok aliran musik cadas, tidak memiliki orisinalitas, imitasi, menghamba pada selera massa dan tidak menjaga patokan-patokan kebudayaan, patut kita hargai dan apresiasi yang tinggi.

Satu catatan penting yang perlu kita sadari bahwa perumusan awal musik dangdut memang mengandung berlipat-lipat dimensi lokal. Antara lain catatan tentang upaya perumusan kebudayaan Indonesia modern dalam narasi pertemuan kebudayaan Barat-Global (rock, pop dan jazz) dan Timur-Lokal (Melayu dan keroncong).

Nyanyian moralitas

Perumusan kebudayaan Indonesia modern, khususnya dalam bidang musik dangdut yang dilakukan Rhoma Irama, tidak hanya sekadar tontonan tetapi sekaligus tuntunan. Apalagi hanya sebagai struktur bunyi-bunyian atau iringan tari-tarian yang mementingkan sisi permukaan, penampilan, penampakan, dan liburan. Akan tetapi lebih dari semua itu, Rhoma Irama menawarkan dan memasukkan unsur nilai agama dalam musiknya sebagai bagian dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Rhoma dan Soneta Group benar-benar menyadari dan mengamati struktur keadaan masyarakat Indonesia, baik struktur kelas bawah dan kelas menengah yang memang tengah mengalami era modern, lambat laun akan mengeser peran agama sebagai sumber moralitas. Peradaban modern memiliki potensi besar memalingkan manusia dari Tuhan.

Kesadaran akan modernitas yang sedang dan akan terus berjalan ini oleh Rhoma Irama dan Soneta Group dituangkan dalam lagu berjudul “Modern”. Dalam lagu digambarkan bahwa menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji. Kita simak lirik lagunya: Modernisasi yang kini melanda dunia / Menjadi masalah / Ternyata masih banyak yang salah menafsirkannya / Di dalam berkiprah / Modern dicerna sebagai kebebasan / Bebas lepas tanpa adanya batas.

Melalui lagu berjudul “Modern” ini Rhoma melakukan counter culture dan kritik sosial. Lirik yang mengetengahkan nasihat yang sarat dengan seruan moralitas agama. Kritik modernitas tersebut memang perlu dan harus, sebab modernitas yang selama ini berkembang kerap diidentikkan dengan kehidupan yang serba kebebasan, serba boleh, bebas seks, bebas minum-minuman keras, dan berprilaku amoral. Modern yang seperti ini tentu telah melewati batas, melangkahi fondasi, menyalahi moralitas.

Diakui atau tidak, pada dasarnya modernitas selalu bergerak pada satu titik ekstrem yaitu ke arah fatalitas yang pada akhirnya membawa pada apa yang oleh Anthony Giddens dalam Beyond Left and Right (1984) menjuluki manusia modern sebagai manufactured uncertainty, suatu masa dimana manusia diliputi ketidakpastian dan mengarah kepada high consequence risk.

Sayangnya, kajian yang dilakukan Moh. Shofan terlalu baik sangka pada musik dangdut Rhoma Irama dan Soneta Group. Analisis terkait politik dakwah dalam nada memang bisa dikatakan sangat menusuk kalangan yang selama menganggap musik hanya sebagai penampilan, penampakan, dan liburan.

Intinya, musik dangdut bukan suatu korban cemoohan dan cercaan, melainkan pelaku. Memang Rhoma dan Soneta Group sering kali meneriakkan kritik atas modernitas. Namun, teriakkan itu bisa jadi hanya ilusi, sebab Rhoma dan mondernitas telah bersenyawa. Di Indonesia banyak penyanyi dangdut besar dan tenar karena adanya peran modernitas.

Pada akhirnya, melalui buku berjudul Rhoma Irama Politik Dakwah Dalam Nada karya Moh. Shofan ini, kita bisa mengetahui peta sosiologis musik dangdut Rhoma Irama dan Soneta Group, serta menjadi semacam pendahulu sekaligus obat pengantar dari kerinduan di tengah kelangkaan kajian musik dangdut.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Syahuri Arsyi

Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual