Mispersepsi Poligami
Beberapa minggu lalu, media sosial digemparkan oleh pengakuan seorang mentor poligami yang disiarkan oleh akun YouTube Narasi, sebuah televisi swasta. Dalam video tersebut, sang mentor memberi gambaran dan kiat-kiat agar seorang laki-laki dewasa bisa berpoligami atau memadu istri pertamanya dengan dua, tiga, dan empat istri sekaligus.
Video tersebut kemudian disambut dengan pro kontra serius dan bahkan membuat banyak orang berang, termasuk perempuan. Karena dianggap sebagai menghina diri banyak perempuan dan juga ajaran Islam yang menjadi dalih dari mentor tersebut.
Poligami menjadi salah satu hal yang dipercaya sebagai salah satu sunah nabi yang masih dilakukan. Poligami selalu dibayangkan sebagai sunah terbaik yang harus diteladani banyak orang, sementara poligami Nabi punya alasan kuat dan konteks tertentu. Tidak asal berpoligami dan selesai begitu saja.
Dalam definisi KBBI, yang dimaksud sebagai sebagai poligami adalah poligini, yaitu ketika seorang laki-laki memiliki banyak istri. Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih, poligami menurut Mursadi Mursalim disebut ta’addud al-zaujat yang berarti banyak istri. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat kalau bisa berlaku adil.
Salah satu syarat laki-laki diperbolehan poligami adalah mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Lantas bagaimanakah berlaku adil ketika seseorang melakukan poligami?
Dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yang artinya, “Dan kamu tidak akan berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Dalam pandangan Kyai Faqih, ayat ini ini sudah sangat tegas dan jelas sekali tertuju pada para laki-laki yang melakukan poligami, bahwa mereka diminta mawas diri tentang kelemahan yang mereka miliki.
Kanjeng Nabi Muhammad melakukan poligami setelah monogami selama 25 tahun. Poligami dilakukan setelah istri pertama, Khadijah meninggal dunia. Alasan ketika Kanjeng Nabi melakukan poligami saat itu sangat logis, membantu para janda dari keterpurukan yang memasuki usia senja. Semua istri nabi adalah seorang janda, kecuali Aisyah.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Perempuan (2018) karya M. Quraish Shihab, dijelaskan dengan gamblang siapa saja istri-istri Kanjeng Nabi yang dinikahi dalam kondisi darurat, seperti Saudah binti Zam’ah ra. Ia adalah perempuan tua yang menjadi istri Kanjeng Nabi dan dinikahi karena suaminya meninggal. Selain itu, ia berisiko bisa murtad saat kembali ke Makkah.
Ummu Salamah dilamar oleh Kanjeng Nabi karena suaminya meninggal dalam peperangan. Ada juga yang dinikahi oleh Kanjeng Nabi yakni Huriyah binti Alharis ra, putri kepala suku dan termasuk salah seseorang yang ditawan pasukan Islam. Harapan menikahi para perempuan ini bertujuan agar kaum perempuan mampu membebaskan tawanan dan setelah dibebaskan, ia akan aman dari para musuh.
Soal Kanjeng Nabi dan mentor poligami memang tidak bisa disamakan begitu saja. Ada hal-hal yang mungkin berbeda, seperti latar belakang serta alasan mengapa poligami dilakukan. Namun yang jelas dalam permasalahan ini adalah, bahwa pelaku poligami ini masih menganggap perempuan sebagai objek seksualnya. Ini terlihat ketika ia menceraikan salah satu istrinya dengan alasan perempuan itu sudah mengalami menopause, dan artinya tidak bisa memiliki anak lagi. Selain dengan alasan menyempurnakan agama, mentor poligami ini ingin memiliki keturunan yang banyak.
Soal istri yang diceraikan karena mengalami menopause membuat saya berpikir bahwa kita masih berada dalam himpitan patriarki yang memandang rendah tubuh perempuan. Perempuan yang mengalami menopause merupakan keadaan perempuan yang tidak lagi mengalami menstruasi secara permanen. Ini disebabkan sistem reproduksinya tidak dapat berfungsi secara maksimal, yang artinya tingkat kehamilan rendah.
Menurut dr. Agung Dewanto, Sp.OG(K), Ph.D menerangkan bahwa, menopause pada perempuan masih memungkinkan untuk memiliki anak, walaupun harus ada proses-proses yang panjang. Dari sini kita belajar bahwa ketidaktahuan dalam kesehatan reproduksi, membuat kita tidak jeli melihat persoalan reproduksi perempuan.
Islam tidak melarang poligami, tetapi juga tidak menganjurkan. Refleksi atas poligami yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi adalah dengan perempuan tua atas dasar ingin menjaga dari mara bahaya waktu itu. Jika melihat hari ini, para pelaku poligami menikahi perempuan yang bahkan lebih cantik daripada istri pertamanya.
Pada 2018, Vice menayangkan video berjudul Heaven and Hell; Indonesia’s Battle Over Polygamy di kanal YouTube-nya. Dalam tayangan tersebut menjelaskan keinginan laki-laki yang mengikuti kopdar untuk berniat poligami, atau ingin mempunyai istri lebih dari satu. Salah satu alasan yang cukup membuat saya kaget adalah ketika salah anggota laki-laki yang menyampaikan keinginan berpoligami untuk menyelamatkan perempuan dari fitnah, karena ia percaya bahwa sumber fitnah terbesar ada pada diri perempuan.
Hal tersebut mengingatkan saya pada ucapan Faqihuddin Abdul Qodir saat launching buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah (2021) bahwa, “Fitnah itu tidak hanya perempuan, tetapi juga harta, anak, keluarga, dan laki-laki. Problemnya, ketika kita hanya memandang perempuan sebagai fitnah belaka tanpa ada akal, budi, rahmah, dan peran sosial.”
Saya rasa persamaan antara tayangan Vice dan Narasi soal poligami tersebut ada pada para pelaku yang sama-sama menyampingkan perasaan perempuan, dan masih saja menganggap bahwa ia menyelamatkan perempuan. Karena itu, bagi para laki-laki berpoligami terebut, tindakannya bisa dinilai mulia.
Selain perempuan menjadi sumber fitnah, “bermain” perempuan ini menjadi alasan kuat mengapa poligami dilakukan. Kata mentor poligami dalam dua video tersebut bahwa, selain untuk menyelamatkan perempuan dari fitnah, juga sebagai cara menyalurkan hawa nafsu yang mendapatkan pahala.
Wallahu’alam.
Category : keislaman
SHARE THIS POST