Mimbar Khutbah

20 April 2018
|
1177

Sampai umur sekarang, sampai detik ini, pernahkah kita melaksanakan salat dengan dasar cinta keilahian? Rasa cinta dan rindu kepada Allah? Bukan semata menggugurkan kewajiban, takut dosa dan khawatir masuk neraka? Sampai kapan kita melaksanakan salat tanpa pamrih, tanpa hitung-hitungan. Untuk tahapan paling rendah, kita menunaikan salat hanya karena itu semata kewajiban saja, padahal Allah sama sekali tidak membutuhkan ibadahmu. Bahkan sekalipun seluruh bumi melakukan munkar dan kejahatan nafsu, hal itu tidak akan mengoyak sedikitpun ke-Maha-an Allah. Tahapan selanjutnya ketika kita menunaikan salat dengan begitu rajinnya, tidak pernah terlambat jamaÔÇÖah di masjid dan selalu tepat waktu. Namun, sampai kapan kita melakukan itu semua didasari sebagai jiwa pedagang. Salat jamaÔÇÖah hanya sebatas pahala 27 derajat saja. Jika kita tidak jama'ah, menyesal bukan karena tidak mampu mewujudkan cinta kepada Allah, namun semata karena tidak mendapatkan pahala berlipat itu. Sama halnya, dengan bersedakah namun didasari oleh balasan yang berlipat ganda. Lalu, kapan didasari atas cinta kepada Allah. Orang-orang sufi bilang, Ya Tuhan, sesungguhnya surga itu karuniaMu atau jebakanMu? Jangankan surga yang kau janjikan nanti, surga dunia saja kita sering bolak balik kesemsem tak keruan. Tak bisa lepas. Seringkali kalah. Tertegun. Tertambat batin ini. Lalu bagaimana kita bisa mencintaiMu, merinduiMu dengan bebas sedangkan kaki ini tersangkut pada surga yang fana ini. Maka, bebaskan diri kita dari segala bentuk damba kepada yang lain selain kepada Allah. Termasuk bebaskan dari kepongahan ilmu pengetahuan, kekuasaan dan harta yang kita miliki. Maka jangan sampai kita terpenjara di bumi yang fana ini. Jika kita terperdaya akan dunia ini, ruh kita akan perlahan meredup, tumpul menuju Allah dan akan beringas hasrat duniawi. Teringat doa yang dilantukan oleh Rabiah Al-Adawiyah yang cukup jarang dilantunkan oleh umat Islam dalam doa-doanya:
ÔÇ£Tuhan, andaikan sembah sujudku kepadaMu semata-mata karena aku takut nerakaMu, maka bakarlah aku di nerakaMu. Andaikan sembah sujudku kepadaMu semata-semata mengharapkan surgaMu, maka tutup rapatlah pintu-pintu surgaMu itu dariku. Akan tetapi sembah sujudku karena semata-mata aku merindukan wajahMu, maka mohon jangan sekali-kali palingkan wajah itu karena aku merindukannya.ÔÇØ
Jadi, kapan terakhir kita, setidaknya, melafalkan ÔÇ£Ya Allah, aku cinta, aku rindu padaMuÔÇØ. Padahal dengan pasangan hampir setiap hari. Semoga kita tidak terperdaya syahwat dan nafsu.

*

Mana yang lebih baik, orang yang nggak pernah sakit, nggak pernah lelah dan nggak pernah susah atau orang yang pernah sakit, bisa capek dan sekali-kali hidupnya susah? Kebanyakan dari kita tentu memilih yang kedua. Tidak perlu repot-repot sakit, badan segar terus dan menjalani hidup enak. Padahal, justru akan lebih baik, lebih bernilai orang yang pernah sakit, merasa capek dan susah. Karena dari situ kita bisa mengambil banyak sekali hikmah dan manfaat. Orang yang bisa menikmati dengan serius sehat adalah orang yang pernah sakit. Orang bisa dapat anugrah luar biasa dalam hidup adalah orang yang pernah merasa sumpek dan susah dalam menjalani kehidupan. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa Allah masih sangat dan akan terus peduli kepada kita. Jadi bersyukurlah jika masih merasa sakit, capek dan susah. Seperti halnya pertanyaan, enak mana hujan terus? atau panas terus? atau hujan panas hujan panas tidak tentu? Nantinya akan kelihatan keragaman dan dinamikan akan perubahan lebih enak dan cocok dengan kita. Daripada dihadapkan situasi yang sama dan tidak berubah sama sekali. Dan semua ini membuktikan bahwa kita masih manusia. Sebagaimana manusia dengan ilmu dan segala tempaan hidup yang diberikan oleh Allah, sudah sepastinya harus ada hikmah dan juga kebijaksanaan dalam diri. Jadi apa kebijaksanaan itu, menurut istilah dari seorang bijak dari Timur, ÔÇ£Berpikir yang benar dan bertindak yang benar.ÔÇØ Jadi, kemampuan berpikir dan mencari ilmu sekaligus mampu menjalankan ilmunya. Ilmu iku kelakone kanti laku, sebagaimana pepatah Jawa. Yang mana kelakuan dan tindakan kita menyambung. Sekarang banyak yang ilmunya tinggi-tinggi, perkataan di media semuanya mulia-mulia, namun tidak disertai dengan tindakan sehari-hari. Tidak sedikit pejabat yang bilangnya akan melawan korupsi dengan berkobar-kobar, tapi keesokan harinya sudah dicokok KPK. Jadi, Sudahkah kita menjadi bijaksana dan selalu mampu mengambil hikmah dari segala lini kehidupan?

*

Pelan-pelan kita mulai kehilangan karakter keindonesiaan kita. Dari atas sampai bawah. Kita kerap mengalami dan menghadapi kebingungan-kebingungan dan tidak tahu sebabnya apa. Mungkin karena banjir informasi yang sangat luar biasa. Kita menjadi bingung yang benar yang mana. Duduk persoalan sebenarnya seperti apa.Sehingga kabar palsu pun sangat sulit dihadang. Jika melihat keadaan Indonesia sekarang, teringat hadist Nabi yang ngendiko bahwa diantaranya tanda-tanda akhir zaman yaitu adanya kekacauan semacam ini seperti yang sedang kita hadapi. Yang di dalam hadis tersebut dikatakan bahwa nanti ada peristiwa pembunuhan, yang membunuh tidak tahu kenapa dia membunuh dan yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh. Persis seperti kejadian orang yang dituduh mencuri ampli masjid sampai dibakar. Apa yang dikatakan Nabi Muhammad Saw. adalah salah satu contoh kebingungan kita. Tokoh-tokoh negara dan agama yang kita percaya dan anut saling berbeda arah. Padahal kita jadikan panutan dan bagi masyarakat awam tentu ini membingungkan dan rawan konflik. Kita percaya pada orang-orang jadi pemimpin, namun seringkali yang satu bilang A yang lainnya bilang B. Hari ini bilang apa, nanti sore sudah bilang yang lain. Persis dengan pejabat negara ini. Ini kan membingungkan dan mempengaruhi kita. Karena pemimpin itu adalah cerminan rakyat, cerminan kita. Sebagaimana yang disindir oleh Allah dalam Al Qur'an:
ÔÇ£Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.ÔÇØ (Qs Al AnÔÇÖam: 129).
Dapat dikatakan bahwa ayat ini mengatakan bahwa jenis pemimpin seperti apa yang memimpin kita, itulah cerminan kita. Jadi, ketika bangsa ini dipegang oleh orang-orang rusak, bisa jadi, diri kita sendiri ini juga sedang rusak. Terlebih tahun depan kita akan menghadapi tahun politik. Apapun bisa dilakukan. Keculasan dan yang lainnya. Jadi, mari persiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ayo kita perbaiki diri masing-masing. Mumpung masih belum memasuki bulan suci, mari kita muhasabah lagi dan lagi dan terus. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-29 Jumat, 20 April 2018/04 SyaÔÇÖban 1439 H.

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Shidqi Niam

Santri lawas Ngaji Filsafat, sedang bercita-cita mensejahterakan petani di kampung halaman