Merawat Kesederhanaan

13 Oktober 2017
|
1043

Kembali menjadi anak-anak mungkinlah menjadi cita-cita hidup setiap orang. Tidak untuk dicapai, melainkan sekadar dipelihara guna terciptanya keseimbangan hidup. Sepele saja. Apabila dibandingkan dengan orang dewasa, maka dapat dikatakan bahwa anak-anak jauh lebih mampu menghindar dan terhindar dari kegemaran berprasangka buruk. Bahkan apabila mereka marah atau berkelahi sekalipun, biasanya tidak akan lebih dari satu hari. Dan setelah itu, mereka akan saling bermaafan dan kembali bermain bersama. ÔÇ£Persetan tangis kemarin sore, sebab hidup adalah detik iniÔÇØ barangkali demikian mereka membenakÔÇödalam bahasa ungkap orang dewasa tentu saja. Alangkah tidak tepat ketika ada orang dewasa berkata dengan sinis ÔÇ£Dasar kekanak-kanakan! Mbok saling memaklumi sajaÔÇØ tatkala melihat orang lain saling melempar murung dalam waktu lama. Dan tidak pula tepat ketika ada orang mengucap, ÔÇ£Maafkan kalau sikapku ini ternyata masih kekanak-kanakanÔÇØ usai menyadari kesalahan yang diperbuat. Pasalnya sederhana, bertikai dalam jangka waktu lama bahkan sampai terjadi perang dan pembunuhan adalah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa, bukan oleh anak-anak. Pada saat anak-anak bermain tembak-tembakan bambu misalnya, mereka pasti tak bermotif untuk melenyapkan nyawa. Selain karena kertas basah yang digunakan sebagai peluru memang tak cukup membahayakan, apalagi sampai mampu menembus daging. Toh tujuan mereka melakukan baku tembak sekadar bermain untuk saling tertawa. Sebatas itu, tiada orang lain merugi atas apa-apa yang mereka lakukan, sebab persepsi anak dalam memandang dunia sangatlah sederhana: bermain. Lebih itu, tidak. Lain halnya dengan konflik dingin yang belakangan sedang melanda Korea Utara dan Amerika Serikat. Agaknya orang-orang dewasa yang mendalangi konflik antar-negara beda paham tersebut terlalu serius dalam memandang hidup. Senjata nuklir pun mereka cipta guna melampiaskan ambisi kekuasaan dan gengsi-gengsi. Sekalipun mereka menganggap hal tersebut hanyalah sebuah permainan politik antar-negara, namun tak bisa dimungkiri bahwa apa yang mereka lakukan telah mengkhawatirkan keselamatan banyak pihak. Perdamaian dunia terancam. Hasrat untuk menciptakan peradabaan ideal melalui kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup (ideologi) yang mereka proklamirkan tinggalah mimpi dan omong kosong. Tentu, konflik antara Korea Utara dan Amerika Serikat hanyalah segelintir konflik, dari sekian banyak persoalan di dunia ini, yang disebabkan oleh kealpaan orang dewasa atas kesederhanaan dalam memandang hidup. Padahal, persaingan apapun apabila dilakukan dengan kerangka berpikir (paradigma) bermain tentu akan sangat menyenangkan. Bahkan pertarungan politik pastilah akan mengasyikan apabila dipandang sebagai sebuah permainan, terlebih jika dilakukan oleh anak-anak. Kalah-menang bukan lagi perkara, kendati kecewa-bahagia boleh-boleh saja sebab pada setiap raga selalu ada rasa. Namun, betapapun kecewa-bahagia datang bertandang, anak-anak tetap tidak akan peduli. Mereka sangat paham bahwa itulah konsekuensi dan dinamika dalam bermain dan sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan secara pribadi, setiap kali melihat anak-anak bermain, sorot polos mata mereka seolah mengisyaratkan sebuah pesan kepada kami: ÔÇ£Tak usah kamu takut kecewa dan jangan pula kejar bahagia, tapi bermainlah dan itu cukupÔÇØ. Sesederhana itu. Pun ketika sekelompok anak bertanding sepak bola di sebuah sore yang hampir Maghrib. Peduli apa mereka dengan papan skor yang menampilkan 10-0. Toh mereka hanya akan menganggap bahwa 10 adalah angka, dan 0 juga angka. Tak penting itu semua, sebab yang penting hanyalah: sore itu mereka bermain bola. Mereka mampu memandang angka sebagai angka, bukan sesuatu yang harus dipikir terlalu dalam. ÔÇ£Besok sore main lagi, ya!ÔÇØ adalah ungkapan yang boleh jadi muncul usai kumandang azan petang mereka dengar. Menyenangkan betul. Betapa sungguh kehidupan anak-anak adalah sebuah kehidupan yang tanpa beban. Sebuah kehidupan yang tanpa ambisi, selain kehendak untuk bermain itu sendiri. Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa iming-iming kedewasaan adalah janji manis yang sanggup membikin air liur mengucur deras. Menjadi dewasa adalah masa depan gemilang yang seolah telah menghipnosis setiap orang untuk menggenggamnya sebagai tujuan hidup. Semua berlomba, dan saling berdesak-desak untuk mencapai standar kedewasaan yang telah ditetapkan. Dengan modal keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa, anak-anak pun mulai merajut definisi kedewasaan mereka. Namun apa daya, warna benang yang digunakan untuk merajut definisi tesebut tidaklah tunggal, sehingga baik warna, corak maupun motif kedewasaan pun mengalami perbedaan-perbedaan. Sekolah dan doktrin-ajaran-pendirian-ideologi yang banyak dikonsumsi lewat beragam buku, kajian, diskusi, khutbah keagamaan, maupun materi di ruang kelas adalah benang-benang kedewasaan yang dimaksud. Tak ayal, benang-benang itulah yang justru berhasil menukar paradigma bermain dengan paradigma baru benama ambisi. Dan hari ini, ketidaksiapan manusia dalam menyapa kompleksitas ambisi kerap menjadi sumber petaka. Setelah dewasa, manusia lantas lebih suka membudi-daya kebencian dan permusuhan hanya karena beda warna kostum yang dipakai. Ah, jangankan warna kostum, beda tokoh superhero idola pun tak jadi soal bagi anak-anak! Kini pelanggengan kebencian dan permusuhan pun terjadi oleh sebab kepikunan masal yang melanda ÔÇÿpoeple zaman nowÔÇÖ. Jika terus-menerus seperti itu, maka sampai kapanpun dunia akan tetap statis sebab tugas kelahiran hanyalah sebatas mereproduksi sejarah kebencian, permusuhan. Konflik antar suami-istri, tetangga rumah, hingga bahkan antar negara tetangga tak lagi bisa dielakan. Padahal, kalau saja jiwa anak-anak masih terpelihara dan justru mendominasi diri, barangkali keadaan umat manusia tidak akan pernah semenjengkelkan sekarang. Menjadi orang dewasa memanglah rumit. Terlalu banyak selubung ambisi yang mereka sembah demi mencapai maqom kedewasaanÔÇôberdasar thariqat dan konsep aqidah masing-masing. Tak seperti anak-anak yang berani memandang hidup sebagai hidup, dan hanya untuk hidup. Bila kerumitan semacam itu tetap dipelihara, maka ingatan mengenai dunia sebagai tempat bersenda gurau dan wahana bermain bagi manusia, lambat-lambat akan terkikis. Kesederhanaan yang pernah kita genggam semasa kanak-anak hanyalah kenangan manis yang tak mungkin lagi digenggam. Kita lantas sibuk mengejar, sehingga lupa bahwa kita sedang hidup. Bahwa kita sedang bernafas. Bahwa kita telah ratusan kali mata berkedip dalam sehari. Bahwa kita belum tertawa. Belum tersenyum. Belum menyapa siapa-siapa, dan beragam ÔÇÿbelumÔÇÖ yang lain. Kendati demikian, tak perlu pula kita mengutuk kedewasaan atas kelalaian tersebut, sebab manusia memang makhluk pelupa dan menjadi dewasa adalah niscaya. Anak-anak pastinya akan tumbuh dewasa, kecuali anak-anak tuna-grahita yang perkembangan usia mentalnya memang terbatas. Hanya saja, menjadi dewasa dengan melupakan ambisi kanak-kanak adalah kecelakaan hidup yang sangat fatal. Membunuh salah satu elemen kebijaksanaan yang diejawantahkan dalam kesederhanaan memandang hidup. Hingga pada akhirnya, sekolah dan doktrin-doktrin ideologi yang diviralkan oleh beragam buku, kajian, diskusi, khutbah keagamaan maupun materi di ruang kelas justru akan sangat dibutuhkan oleh orang dewasa apabila itu semua mampu mengantar ke siapa saja pada titik sadar, bahwa menghidupkan kekanak-kanakan adalah perlu dan merupakan salah satu anak tangga untuk mencapai kebijaksanaan hidup. Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi - 04 Jumat, 13 Oktober 2017/23 Muharram 1439 H

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lintang Sambara