Merasakan Diri Mencintai Diri
Hakikatnya dalam menjalani hidup, kita senantiasa menerjemahkan sesuatu. Di antara yang manusia terjemahkan adalah rasa. Lebih-kurang begitu kata Pak Fahruddin Faiz dalam diskusi buku Terjemah Rasa: Tentang Aku, Hamba, dan Cinta, pada event Jogja Art+Books Fest 2024, pada 7 Mei 2024, di The Ratan. Diskusi yang mengajak kita untuk belajar mengolah rasa menuju kebahagiaan diri.
Pak Faiz menggunakan term rasa dalam hal ini bukan pada pemaknaan biasa sebagaimana dalam kamus bahasa Indonesia. Rasa sebagai tanggapan indra terhadap rangsangan saraf seperti manis, pahit, masam terhadap indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri terhadap indra perasa. Bukan juga dalam pengertian rasa yang lebih pada dialektika antara lidah sebagai indra perasa secara biologis dengan makanan.
Pemaknaan Pak Faiz lebih pada rasa dalam alam imajinasi orang Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah roso: ini berhubungan dengan kondisi batin manusia. Dalam pengertian kamus bahasa Indonesia lebih dekat dengan makna rasa sebagai tanggapan hati terhadap sesuatu, dan pendapat atau pertimbangan mengenai baik-buruk, salah-benar. Pengertian yang lebih pada dialektika antara batin manusia dengan sesuatu hal.
Jadi, dalam pemaknaan ini yang dimaksud merasakan diri, adalah mengkondisikan tanggapan hati (batin) terhadap aspek kedirian. Berdasarkan teori dari Pak Faiz, olah rasa diri ini tidak lepas dari entitas diri sebagai aku, saya, dan hamba.
Awali dengan Cinta
Cinta adalah sesuatu yang penting dalam roso diri sebagai aku, saya, dan hamba. Tiga rasa diri tersebut haruslah disentuh oleh cinta. Sebagaimana Pak Faiz mengutip pandangan Rumi bahwa, apa saja yang tersentuh cinta pasti akan mulia. Sederhananya, jika ada cinta dalam hidup manusia, maka rasa diri aku, saya, dan hamba miliknya dapat menjadi baik.
Tentu yang dimaksud cinta oleh Pak Faiz (dan Rumi) di sini tidak sebatas pada pengertian cinta romantik pada tataran eros (hasrat), namun juga terkait cinta philia (relasional) dan agape (universal) yang lebih kepada aspek welas asih kepada yang lain; manusia dan alam, termasuk juga adalah cinta untuk diri sendiri. Baik rasa diri kita sebagai aku, saya, maupun hamba, kesemuanya penting diwarnai oleh semangat mencintai diri.
Kekurangan rasa cinta terhadap diri dapat membuat hidup menjadi kering. Oleh karena itu, cinta diperlukan dalam kedirian aku, saya, dan hamba.
Merasa Diri sebagai Aku
Kata Pak Faiz, “Aku itu kenyataan diriku.” Jadi, ini soal kedirian manusia untuk menyadari kenyataan dirinya yang diberi banyak kelebihan oleh Tuhan. Bahwa, manusia itu makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan. Dan, aku manusia, karena itu aku percaya kalau diri ini mulia punya banyak kelebihan. Aku percaya bahwa aku dimuliakan dengan akal sehingga bisa berpikir, dan diberi hati jadi bisa merasa. Serta banyak pula kelebihan lainnya yang ada pada aku sebagai manusia.
Untuk menjadi aku, seseorang harus percaya kalau dirinya itu istimewa. Sebagaimana kata Pak Faiz bahwa ke-aku-an itu berhubungan dengan menegakkan dada. Artinya, aku harus percaya diri.
Ya, meskipun memang untuk bisa percaya diri itu tidak mudah, terkadang diperhadapkan oleh dilema-dilema kekurangan yang malah membuat manusia tidak percaya akan ke-aku-an dirinya. Merasa aku tidak punya kelebihan apa-apa, tidak pintar, tidak pantas, dan tidak-tidak lainnya, sehingga jadi takut mengekspresikan diri. Rasa-rasa kekurangan akan diri yang membuat perkembangan aku menjadi stagnan.
Kondisi rasa diri demikian semakin parah ketika seseorang hanya sibuk melihat sukses orang lain, dan membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain. Alhasil, ke-aku-an dirinya makin lama makin memudar, hingga sampailah pada kondisi seperti yang Pak Faiz katakan, “Orang yang kekurangan aku hidupnya menjadi minder.” Hidup dalam rasa diri yang tidak lagi percaya pada ke-aku-an diri sendiri, padahal ada banyak kelebihan yang Tuhan berikan kepadanya.
Cara menghadapi rasa-rasa yang dapat memudarkan ke-aku-an diri adalah dengan cinta. Mencintai diri sendiri dan jangan membenci keadaan diri. Yakinlah, percalah, aku itu manusia yang diberikan banyak kelebihan oleh Tuhan-ku. Aku punya potensi menjadi pintar, karena aku manusia yang dapat berpikir. Aku punya potensi menjadi baik, karena aku manusia yang punya hati. Aku manusia yang diberikan banyak potensi oleh Tuhan-ku.
Dalam rasa diri ini, aku percaya bila diriku mempunyai banyak kelebihan, karenanya aku mencintai diriku dan berupaya akan memaksimalkan segala potensi menuju versi terbaik diriku.
Merasa Diri sebagai Saya
Rasa diri selanjutnya adalah sebagai saya. Pak Faiz menjelaskan, “Selain aku, manusia itu juga saya.” Saya merupakan kesadaran bahwa dibalik kelebihan-kelebihan aku, ada banyak juga kekurangan dan kelemahan diri. Oleh karena lemah menjadikan manusia butuh yang lain. Jadi, jika ke-aku-an berhubungan dengan menegakkan dada, maka ke-saya-an kesannya merendahkan dada. Ke-saya-an menjadi rem, agar rasa diri yang punya ke-aku-an tidak bablas jatuh dalam lubang kesombongan. Orang yang kekurangan rasa saya dalam diri, rentan menuju alamat kesombongan.
Merasakan diri sebagai saya juga termasuk bagian dari mencintai diri sendiri. Kenapa demikian? Sebab, saya membangun kesadaran bahwa meski dalam ke-aku-an banyak kelebihan, namun ada juga realitas ke-saya-an dalam diri yang penuh kekurangan. Karenanya, tidak perlu saya berlagak menjadi si paling sempurna. Tidak semua hal harus bisa saya kuasai. Saya tidak harus selalu lebih unggul dari orang lain dalam setiap hal. Ada hal-hal yang memang aku kuasai, dan ada juga yang memang bukan bidang saya.
Kesadaran diri sebagai saya membantu manusia untuk tidak membenci diri sendiri akibat kekurangan yang dimiliki. Membuat manusia menerima kenyataan dirinya. Kenapa? Karena memang realitasnya hidup seperti itu, aku punya kelebihan pada banyak hal, namun saya juga punya kekurangan pada hal tertentu. Karena itu meski aku hebat, tetapi saya tidak sombong. Karena sehebat-hebatnya aku, saya masihlah manusia bukan Tuhan yang tanpa celah.
Hal yang penting adalah meski dalam kekurangan diri tetap memastikan langkah dalam jalan hidup yang baik. Langkah itu diambil karena mencintai diri. Selain itu, antara aku dan saya terdapat makna kesadaran antara potensi dan kekurangan diri, sehingga bagi yang mencintai dirinya, kesadaran antara membuat saya tidak sombong dan mendorong aku untuk semakin memperbaiki diri menuju versi terbaik diriku.
Merasakan Diri sebagai Hamba
Kata Pak Faiz, bahwa hamba itu posisi diri sebagai abdi-Nya. Artinya, merasakan diri sebagai hamba identitas yang berhubungan dengan agama. Dalam hal ini selain menjalani hidup di dunia sebagai aku dengan percaya diri dan saya dengan tidak sombong, manusia tidak boleh lupa bahwa dirinya adalah hamba yang beragama.
Penghambaan berarti menjalani hidup berdasarkan petunjuk Tuhan; mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya (sederhananya ajaran agama). Hal ini penting bagi diri manusia. Sebab, jika seseorang kekurangan rasa diri sebagai hamba, maka kacaulah arah hidupnya: karena dirinya menjalani kehidupan dalam ketiadaan petunjuk Tuhan. Oleh karena itu, termasuk mencintai diri adalah dengan menghidupkan rasa hamba, sebab ketiadaan unsur hamba menjadikan diri rentan tersesat dalam liku kehidupan.
Maka, dalam konteks ini, mencintai diri samalah artinya dengan menjalankan agama, serta bagian dari versi terbaik diri manusia adalah menjadi abdi-Nya. Dan jalan asketis (yang berhubungan dengan agama) yang merupakan jalan hamba, bukan sekadar memberi dampak ketenangan sementara atau yang menipu, tetapi jalan kebahagiaan diri yang hakiki.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST