Merangkul Kehilangan
Momentum kehilangan selalu menjadi hal yang menyakitkan bagi manusia. Mekanisme mengikhlaskan tidak pernah mengikut saat kita lahir; tidak seperti mekanisme menangis yang bahkan menjadi penanda respon ketika pertama kali kita lahir di dunia. Dan dalam rentang usia manusia, seumur hidup kita, kita mati-matian belajar mekanisme untuk menoleransi rasa sakit sebab kehilangan. Itupun kalau sempat dan tak didahului momentum kehilangan sungguhan.
Mari menghitung bersama saya momentum kehilangan sejak saat kita menyadari bahwa yang begitu itulah yang disebut kehilangan: mainan yang rusak entah bagaimana sebabnya, mainan yang hilang entah kemana, mainan yang dipinjam dan entah kapan baliknya. Di usia, barangkali kurang dari 5 tahun, kita sudah merasakan dukanya kehilangan, tapi belum mengerti bagaimana cara menyikapinya.
Usia kita yang semakin meremaja, lantas kemudian mendewasa, kita masih terus merasakan duka tersebut. Kita seperti sedang menyaksikan diri kita yang lain hampir terjungkal menuju jurang, namun kita tak mampu melakukan apa-apa demi menyelamatkan diri kita sendiri. Momentumnya ada, rasa sakitnya nyata, namun tidak dengan cara mengobatinya.
Bangku-bangku sekolah pun tak pernah menyinggung sedikitnya mengenai pelajaran dan latihan menoleransi rasa duka sebab kehilangan. Padahal, untuk mencapai keseimbangan dan ketahanan hidup yang lebih baik, keterampilan mengelola kedukaan merupakan hal penting yang patut dimiliki bagi manusia untuk mempertahankan hidup dengan kualitas yang memadai. Petakanya, instansi yang konon menjadi rumah bagi sistem pendidikan justru tidak pernah mengkajinya barang sedikit saja.
Elizabeth Kubler-Ross, seorang psikiater yang banyak melakukan penelitian dalam bidang kajian kedukaan, menjelaskan tahapan-tahapan yang perlu manusia lalui untuk mencapai 'mengikhlaskan' sepenuhnya terhadap rasa duka yang terjadi. Dimulai sejak penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, kemudian penerimaan.
Kelima tahap ini menjadi peta dalam memahami kelindan rasa duka pada manusia agar setidaknya kita tahu, meskipun hanya sedikit, mengenai proses yang kita alami. Bukan justru sama sekali tidak tahu, atau tidak ingin tahu, atau bahkan membiarkan rasa duka itu mengalir begitu saja tanpa hilirisasi sama sekali.
Tahapan kedukaan di atas menjadi penting, apalagi ketika suatu saat kita berpikir, “Saya sudah cukup jauh dari momentum rasa duka, tapi kenapa rasanya saya masih belum ikhlas dan pulih.” Sekali lagi, tahapan di atas berfungsi sebagai peta, bukan sebagai mekanisme sistem yang bersifat linier dan konservatif bagi manusia.
Sebaliknya, justru sangat mungkin ketika seseorang sudah berada di fase tawar-menawar. Misalnya ia bisa saja kembali lagi ke fase penolakan, sebab orang tersebut terlalu sering mengandaikan imaji idealnya ke dalam realitanya yang sekarang. Rasa duka sebab kehilangan tak akan pernah 'mendingan' dengan cara 'misal saja' atau 'seandainya saja dulu' dan blablabla lainnya.
Menyikapi kehilangan dengan sebetul-betulnya realita bagaimana kita melihat kehilangan itu terjadi, justru menjadi langkah kecil yang konkret dalam mencapai fase penerimaan dengan efektif. Karena hanya dengan begitu, seseorang akan secara terus-menerus terpapar fakta bahwa kehilangan memang betulan terjadi. Memberi sedikit saja celah pada bias imaji bahwa kehilangan itu fiksi, membuat seseorang tergelincir dari pijakan realitasnya yang selama ini ia sadari.
Saya jadi teringat bagaimana Ki Wagiman, seorang bangkokan (tetua; yang dituakan) penghayat kawruh jiwa di Salatiga itu melatih seseorang yang datang kepadanya untuk melaporkan bahwa, ia masih bersedih setelah dua tahun istrinya meninggal. Ki Wagiman meminta agar ia mengumpulkan semua foto figura, foto album, dan foto-foto lainnya yang menampakkan wajah mendiang istrinya itu, lantas disembunyikan ke kolong kasur.
Pasca dua minggu pertemuan itu terjadi, seseorang tersebut datang lagi dan berterima kasih bukan main karena akhirnya ia merasa lebih ringan, rela sepenuh sungguh, sekaligus telah mengikhlaskan kepergian istrinya selama-lamanya.
Signifikansi cerita di atas bukan terletak pada bagaimana kita memosisikan napak tilas kenangan dari sesuatu yang telah hilang itu. Namun terletak pada bagaimana kita mampu sadar secara penuh dan konsisten bahwa realitas baru sudah terbentuk. Silakan saja menyimpan foto mantan, atau menimang barang-barang seseorang yang telah meninggalkan kita lebih dahulu dari dunia yang fana ini, asalkan kita mampu menyadari penuh bahwa realitasnya adalah 'saat ini dan begini adanya.'
Dengan kata lain, kita akan lebih mampu menoleransi rasa duka sebab kehilangan dengan cara memahami sekaligus menyadari bahwa kita memang kehilangan betulan. Sungguh tidak perlu 'seandainya'; tidak perlu menyelam dalam imaji ideal kita; tidak perlu lagi kompromi-kompromi lainnya. Kehilangan adalah kehilangan itu sendiri.
Sebagai bentuk refleksi dan hasil endapan esensi pengalaman-pengalaman yang telah saya lalui sedekat ini, kini saya berada di tahap keyakinan yang paripurna bahwa, rasa duka karena kehilangan selalu dimulai dalam hitungan mundur sejak saya memutuskan untuk merasa memiliki.
Hidup saya menjadi lebih adaptif dengan memahami bahwa kehilangan itu akan dan pasti terjadi atau memang betulan sudah terjadi. Sehingga saya lebih berfokus pada hal-hal yang masih saya miliki, bukan pada hal-hal yang telah sirna dan di luar kendali.
Bukankah memang begitu, hidup kita berlangsung? Apapun dan bagaimana pun silakan saja menjadi batu sandungan di sepanjang jalan kehidupan, namun tetap berjalan selalu menjadi tujuan manusia berkembang.
Category : buletin
SHARE THIS POST