Mentadaburi Ayat Maulid Nabi Saw. Bersama Fakhruddin ar-Razi

slider
22 September 2023
|
2200

Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Dhiya’uddin ibn Husain ibn Hasan ibn Ali al-Quraisyi al-Bakri al-Thabaristani atau yang lebih dikenal dengan Fakhruddin ar-Razi dilahirkan di kota Rayy, Iran, bertepatan pada Ramadhan 544 H. Ia merupakan salah satu tokoh muslim yang sangat berperngaruh pada era klasik. Fokus utamanya adalah sebagai seorang teolog beraliran Asy’ariyyah dan mufasir Al-Qur’an.

Fakhruddin ar-Razi memiliki karya monumental mengenai tafsir yang berjudul Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Keghaiban). Kitab tafsirnya tersebut dikenal sangat filosofis dan banyak menjadi rujukan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa ar-Razi memiliki keluwasan dalam berbagai bidang keilmuan.

Kitab Mafatih al-Ghaib juga memiliki nama lain yaitu Tafsir al-Kabir. Banyak ahli tafsir menyatkan bahwa corak penafsiran yang dilakukan oleh ar-Razi bersifat tahlili (analisis). Corak tersebut terlihat ketika ar-Razi melakukan penafsiran atas suatu ayat yang sifatnya kauniah, pendekatan yang ia lakukan cenderung mengarah kepada argumen-argumen mutakallim dan filosof. Sedangkan apabila ia menafsirkan ayat-ayat ahkam, pendekatan yang ia lakukan menyesuaikan dengan argumen para imam madzhab.[1]

Tafsir ar-Razi terhadap Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 128-129

Bulan Rabi’ul Awwal merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam. Pada bulan ini umat Islam kembali diingatkan dengan suatu peristiwa yang luar biasa, yaitu kelahiran Sang Kekasih Agung Rasulullah Muhammad Saw.

Peringatan Maulid Nabi mengingat pula pada visi beliau yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam, mengantarkan umat manusia dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (keselamatan), hingga menggapai kebahagiaan di akhirat kelak. Hal itulah kiranya yang menggerakan hati umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Saw dengan banyak shalawat sebagai luapan rasa cinta kepada Nabi Saw dan rasa syukur kepada Allah yang telah mengirimkan utusan-Nya.

Terlepas dari perbedaan atas boleh tidaknya merayakan hari kelahiran Rasulullah, mari kita sedikit merenungkan sosok beliau melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang sering mewarnai perayaan maulid Nabi Saw bersama Fakhruddin ar-Razi. Di antara ayat-ayat tersebut adalah Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 128-129 yang berbunyi:

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيم 

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berasa berat olehnya penderitaanmu, ia sangat menginginkan keselamatan bagimu, amat jelas belas kasihan dan kasih sayang nya terhadap orang-orang mukmin. Dan jika mereka berpaling dari keimanannya, maka katakanlah (wahai Muhammad): ‘Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain-Nya, hanya kepada-Nya lah aku bertawakal dan Dialah pemilik Arsy yang agung’.”

Kita mengetahui bahwa dua ayat tersebut sering dilantunkan ketika pembacaan maulid berlangsung. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya bila kita memahami makna-makna yang terkandung pada ayat tersebur bersama ar-Razi.

Pada ayat 128, ar-Razi menyatakan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu dibahas terkait ayat ini. Pertama, bahwa Rasulullah Saw merupakan seorang sosok yang sama seperti kita, yakni manusia biasa. Namun beliau merupakan seorang yang memiliki posisi khusus di sisi Allah.

Ar-Razi mengandaikan bahwa beliau bagaikan seorang dokter yang mengasihani pasiennya dan seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Seorang dokter pastilah memiliki rasa tanggung jawab yang besar demi kesembuhan pasiennya. Begitu juga seorang ayah, anaknya pasti selalu menjadi prioritasnya dalam berbagai hal.

Bayangkan ketika seorang anak diserang penyakit, kepedulian sang ayah begitu juga sang dokter yang diminta untuk mengusahakan kesembuhan anak tersebut merupakan bukti kasih sayang yang besar. Hal tersebutlah yang dilakukan Rasulullah Saw kepada umatnya.[2]

Kedua, dalam ayat 128 ada lima sifat yang terkandung dalam diri Rasulullah Saw. (1) Kalimat “min anfusikum” dapat diartikan bahwa Rasulullah Saw berasal dari kalangan manusia pada umumnya, namun beliau diberi keistimewaan lewat wahyu yang diturunkan kepadanya.

Lalu “min anfusikum” yang dapat dibaca “min anfasikum”. Hal ini dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw berasal dari keluarga yang terbaik dan nasabnya terjaga, bahkan dalam riwayat salah salah satu kakeknya yang bernama Adnan merupakan pemelihara Tauhid dan sangat menentang kesyirikan.

(2) Kalimat “a’zizun alaihi ma a’nittum” dapat dipahami bahwa Rasulullah merupakan sosok yang selalu sedia dalam menampung penderitaan umatnya. Penderitaan merupakan suatu hal yang sangat memberatkan. Bila seseorang dapat berjuang dari hal-hal yang ia derita, tentu terbatas dan sulit. Dengan ini biasanya menimbulkan kecenderungan seseorang untuk bersikap keras kepala dan tentunya membahayakan. Oleh karena itu, Rasulullah hadir dengan kasih sayangnya terhadap umatnya. Dengan demikian, kita dapat merenungi kasih sayang Rasulullah sehingga penderitaan yang kita jalani dengan keras kepala pun dapat mereda.

(3) Kalimat “harisun a’laikum” dapat dipahami bahwa Rasulullah merupakan sosok yang selalu siap untuk mengarahkan umatnya menuju kebaikan dunia maupun akhirat. Hal itu terbukti dengan peninggalan terbesarnya, yakni Al-Qur’an dan hadis. Bahkan hingga di akhirat sekalipun, beliau mendapatkan keistimewaan dari Allah untuk memberikan syafaat kepada umatnya.

(4 dan 5) Kalimat “bil mu’minina roufurrahim” dalam riwayat Ibnu Abbas r.a menyatakan bahwa Rasulullah dinamai Allah sebagai ar-rauf (penuh kasih) dan ar-rahim (penyayang). Kedua nama tersebut dikembalikan kepada permisalan yang ditawarkan oleh ar-Razi di atas, yakni Rasulullah bagaikan seorang dokter yang selalu mengusahakan kesembuhan atas pasiennya dan ayah yang selalu berusaha melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Sifat ar-rauf dan ar-rahim hanya diperuntukan kepada orang-orang mukmin dan tidak berlaku kepada orang-orang munafik, musyrik, bahkan kafir.[3]

Pada ayat 129 dijelaskan bahwa apabila mereka (orang-orang musyrik dan munafik) berpaling dari ajaran Rasulullah, keberpalingan yang terlihat dengan tidak taatnya orang-orang musyrik dan munafik terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang kafir tidak dimasukan dalam katagori ini. Hal ini karena sejak awal orang-orang kafir telah menolak kebenaran Allah dan Rasul-Nya, sehingga perbuatan mereka pun tidak menjadikan Rasulullah bersedih hati.

Sebaliknya jika yang berpaling adalah umat Islam dengan perilaku yang mengarah pada kesyirikan dan kemunafikan, inilah yang menjadi masalah dan penyebab Rasulullah bersedih hati. Karena itu, Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengatakan “Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan melainkan diri-Nya, kepada-Nya lah aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan dari Arsy yang agung.” Arsy di sini dimaknai dengan kekuasaan Allah yang kebesarannya tidak terbatas (hanya Allah yang mengerti maksudnya).[4]

Penting untuk dimengerti bahwa kedua ayat di atas mengajarkan kita akan pentingnya mengenal sosok Rasulullah. Seperti yang disampaikan ar-Razi, Rasulullah merupakan sosok yang sangat menyayangi umatnya. Perhatian tersebut terus berlangsung bahkan hingga di akhirat kelak.

Sampai di sini muncul pertanyaan, apakah kita sebagai umatnya telah merenungkan hal tersebut? Apakah kita sadar bahwa selama ini Rasulullah selalu menyayangi kita bahkan dengannya kita akan sampai pada keridhaan di sisi Allah? Kiranya dua pertanyaan ini cukup untuk menampar kerasnya hati kita agar segera melakukan pembenahan, kembali menyadari luasnya kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya agar memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak.

Allaahumma sholli alaa muhammad.

 

[1] Muhammad Fatih, “Konsep Kererasian Al-Qur’an dalam Tafsir Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi: Perspektif Ilmu Munasabah”, dalam Progressa: Journal of Islamic Religius Instruction, Vol. 6, No. 2, 2022, hlm. 8.

[2] Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 241.

[3] Ibid, hlm. 241-243.

[4] Ibid, hlm. 244.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Ihza Fazrian

Mahasiswa program studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat diskusi forum Balai Sunyi. Minatnya berkutat seputar isu-isu keislaman, filsafat, dan tasawuf.